“Jika ada hal lain yang lebih hebat daripada cinta, maka itu adalah persahabatan”
Benar,
seperti langit yang ditinggikan tanpa tiang. Setinggi-tingginya. Membuat
takjub. Membawa jiwa siapapun seakan terbang membelah angkasa. Memandang
sekitar, lantas nasihat bijak kemudian menjawab, bahwa bumi dihamparkan selebar-lebarnya.
Aduhai, lagi-lagi membuat takjub siapa pun yang melihatnya. Melihatnya?. Ya, melihat
ke dalam relung hati terdalam. Membawa jiwa ini melewati penelusuran panjang ke
dalam sepasang mata hati.
Maka, Bagi siapapun yang mampu
melihatnya, tiang-tiang langit seolah telah menjelma menjadi jiwa-jiwa yang
diajarkan untuk tetap kokoh menjalani lika-liku hidup. Kembali membuat takjub,
membawa jiwa dan raga ini terhempas ke atas, melayang menembus awan. Lantas
memandangnya ke bawah bahwa bumi memang dihamparkan seluas-luasnya. Luas. Ya,
luas sekali, seperti luasnya semesta ini. Maka, bagi siapapun tidak ada yang
mampu melihatnya secara keseluruhan isinya dalam satu saputan pandangan mata.
Pandangan
yang seperti kembali membuka mata hati. Menjelajahi segala memori kenangan masa
lalu. Merasakan segala hal yang pernah terjadi. Mengingat segala hal yang
pernah tercipta. Tentang cinta, cita-cita, dan harapan. Mewarnai sebuah perjalanan
panjang.
Maka, malam itu, saat cahaya
rembulan menyibak gumpalan awan malam, seorang laki-laki berbilang lima puluh
tahun terduduk melemah di samping sebuah pusara yang merekam segalanya. Raut
wajahnya terang, seperti ada pantulan seribu rembulan yang tersenyum kepadanya.
Tetapi matanya memerah, sembab, menahan tangis kenangan. Pipinya basah oleh
bulir-bulir air mata yang perlahan menetesinya.
Maka,
malam itu pula di kaki langit malam yang bertaburkan bintang-gemintang, lelaki
ini melihat semuanya kembali. Saat sinar lampu menawarkan kehangatan suasana,
saat cahaya rembulan di langit hitam sana berbagi ketenangan. Bulan yang selalu
menerangi kegelapan malam, bintang yang selalu menghiasi pertunjukan langit
malam. Mulutnya terkunci. Tidak sanggup mengeluarkan kata apapun. Namun, mata
hatinya tetap terbuka. Selebar-lebarnya. Hanya isak tangis yang mampu
dikeluarkannya. Lantas apakah air mata itu hanya karena alasan kisah puluhan
tahun silam menyisakan sepotong kenangan yang berarti baginya?. Tidak. Tidak
hanya itu. Bahkan beribu alasan bisa melengkapinya. Tentang arti pesan-pesan kehidupan
yang terikat selamanya. Tentang saksi kehidupan yang tidak akan pernah
berbohong kepadanya.
***
“Hai
kawan..siapa namamu?.” Seseorang menyapa Roy dari belakang dengan ramah.
“Eh.i...iya..hmm..sa..saya Roy, salam kenal..
”.
“Oh
ya, Roy..Nama yang bagus. Perkenalkan, aku Aldo.”
Tanpa
menunggu kalimat itu selesai diucapkan, tangannya sudah sedari tadi dijulurkan
kepada Roy. Memintanya bersalaman.
“Ayo
Roy..siap-siap ke aula, ganti pakaiannya yang rapi. Ada penyambuatan santri
baru dari kepala asrama.”
Baru
saja salaman itu dilepaskan, tangannya sudah menepuk bahu Roy. Lantas, layaknya
seorang juru parkir memerintahkan pengemudi mobil untuk mundur.
“Eh..i..iya..baik.
Duluan saja, aku mau siap-siap dulu”.
“Baiklah..!.”
Aldo terseyum simpul. Lantas berlalu meninggalkan Roy.
Maka,
saat itu, saat tubuhnya berbalik arah meninggalkan Roy. Saat itu juga justru Roy hanya bingugn,
menatap kosong punggung kawannya itu saat dia beranjak pergi. Entah apa yang hendak dimaksudkan langit kepada Roy, Hati
Roy seakan merasa tentram berada di tempat ini. Walaupun seakan ada pertarungan
dalam hatinya. Pertarungan meluluhlantahkan kegelisahan. Ya, kegelisahan.
Bagaiamanalah kegelisahan itu tidak berkecimuk di hatinya. Roy, bukankah selama
ini dia adalah anak yang bebas. Melakukan
sesuatu sesuka hatinya. Selama baginya itu adalah hal yang benar, maka seperti tidak
ada orang yang bisa menghalanginya. Sekalipun badai-badai bersatu padu
menghalanginya. Sedangkan di tempat ini, aduhai macan berada dalam kandang,
penuh pengawasan.
Roy,
bahkan tidak menyadarinya bahwa perkenalan itulah yang justru membangunkan hati kecil Roy. Maka, Roy bahkan
tidak akan pernah menyadarinya, bahwa perkenalan itu justru adalah sebuah perpisahan yang tidak pernah
diinginkannya.
***
Sore
itu, di jemuaran atas asrama, Roy tak biasanya sedang asyik bercengkrama dengan
kawannya, Aldo. Maka, sore ini adalah
momen yang tepat untuk memaknai kehidupan
yang sesungguhnya dari kebijakan-kebijakan alam.
Aduhai
indah sekali pemandangannya. Awan jingga bertaburan di kehampaan langit biru. Satu-dua
ekor burng pipit memberanikan diri mendarat di tanah. Di atas sana, pertunjukan
kawanan burung kowak di panggung langit berhasil menyihir Roy dan Aldo hingga
mulut-mulut kecilnya tenganga. Burung-burung itu bak lukisan yang mencoreti
angkasa. Sang raja dari kawanan kowak itu sigap memberikan komando kepada pasukannya
yang lain. Dia tampak gagah terbang paling muka. Sekali ia berbelok, maka
berbeloklah semuanya. Jika ia menukik, maka semuanya pun ikut menukik. Laksana
panah yang akan dihembuskan ke jantung. Terlihat amat mendebarkan.
Sesekali
burung-burung itu melesit ke puncak pohon-pohon angsana. Tetapi ketika dia
kembali mengepakkan sayapnya untuk terbang ke angkasa kembali, terangkatlah
senyum orang-orang yang berharap sang raja kowak itu hinggap di depan
matanya. Dan dialah sang raja kowak. Hebat sekali menampilkan
pertunjukan yang tiada banding di langit senja.
“Roy,
Bolehkah aku bertanya kepadamu?.” Aldo tiba-tiba saja memecah keheningan.
“Apa yang tidak boleh untuk kau
kawan..hehe..!.” Sahut Roy dengan senyum yang ramah.
“Roy,
Kau memang bukan orang-orang yang terbiasa hidup dengan penuh peraturan bukan?.
Kau memang orang yang bebas. Kau tidak ingin diatur seenaknya bukan?. Kau tahu
Roy, aku justru mengetahui ini ketika pertama kali kita berkenalan di depan
kamar kita. Wajahmu Roy, guratan dahimu, Suaramu yang terbata-bata. Kau cemas
Roy, kau khawatir, kau takut Roy. Kau ingat..?. Ah ya, tentu saja kau ingat
Roy.”. Aldo tiba-tiba saja mengagetkan Roi.
Lenggang.
Sempurna lenggang. Seperti ada yang jahil menekan tombol off sebuah suara. Roy kaget bukan kepalang dengan pertanyaan itu. Bagaimana
Aldo tahu urusan ini?. Bukankah Roy selama ini berusaha menyembunyikannya?.
Bukankah Roy selama ini berusaha membuatnya nyaman berada di lingkungan
asrama?. Ya Tuhan. Roy terdiam. Raut wajahnya penuh dengan tanda tanya.
“Bahkan, aku pun tahu Roy, apa yang
kau pikirkan sesaat seteleh aku meniggalkanmu saat perkenalan itu. Kau yang
semula takut, entah bagaimana datangnya penjelasan itu kau akhirnya merasa
tentram bukan?. Hingga pada akhirnya kemudian aku tahu saat kau datang sangat terlambat
memasuki aula itu. Kau datang ketika hampir usai penyambutan itu. Pakaianmu
seadanya. Rapi?. Tidak. Bukankah sebelumnya aku sudah mengingatkanmu?. Bukankah
pengumuman sudah jelas saat daftar ulang santri baru, lengkap dengan jam,
tempat dan pakaian yang harus kau kenakan?. Bukankah sore itu pengumuman di speaker asrama berulang kali
mengingatkan?”.
Aldo menyeringai. Roy sekarang tidak
mampu berkata-apa apa. Pikirannya semakin dihantui beribu pertanyaan. Bingung.
“Ah..sudahlah Roy..Kau justru
tertidur saat penyambutan itu. Padahal, kau hanya hadir 30 menit sebelum acara
itu benar-benar usai. Bagaimana mugkin kau menyempatkan waktu untuk tidur dalam
waktu yang sesingkat itu Roy?. Bagimana mungkin ku tertidur dalam acara yang
seharusnya dipenuhi oleh perasaan gembira disambut sebagai santri baru kau
justru malah tertidur.?”Aldo terdiam sejenak, menarik napas. Hitungan detik tetap melanjutkan kalimatnya.
“Tidakkah
kau perhatikan Roy, saat penyambutan itu selesai, wajah-wajah kami tersenyum
riang. Ah ya, bagaimana kau memperhatikan, kau kan sedang menikmati tidurmu?.
hehe..”.
Aldo
terkekeh. Lantas menatap wajah Roy dengan tajam. Tetapi, yang ditatap justru
bermuka merah, seperti gunung api yang hendak mengeluarkan isinya. Roy mendengus
sebal.
“CUKUP...!!.
jangan kau teruskan..!!”. Roy berteriak. Tangannya sudah sedari tadi mengepal.
Maka, saat melemparkan teriakan itu, tangannya sudah diayunkan ke arah Aldo. Aldo
untungnya tahu apa yang hendak dilakukan Roy. Saat pukulan itu terayun, Aldo
dengan tepat menghindar segesit mungkin, seperti aktor laga.
“Eiittss...tunggu
Roy, kau perlu tahu Roy..!! Ada sesuatu yang aku pikikran darimu ketika itu Roy..!!.
Kau anak yang hebat Roy..!!.”
Roy
yang sudah siap dengan kepalan tangan berikutnya terdiam kembali demi mendengar
kalimat tadi. Hebat?. Apanya yang hebat?. Bukankah dari tadi Aldo
justru mengolok-ngoloknya?. Tetapi, entah apa maksud langit ketika itu, Roy
justru terdiam. Hatinya yang semula marah tiba-tiba saja tenang. Roy sekarang
terduduk membisu. Seperti ada sebuah maksud
lain dari kalimat tadi yang harus dia dengar.
“Kau
tahu Roy..saat yang lain sudah beranjak pergi dari aula, di ruang itu-yang kau
sadari hanya menyisakkan kau. Tetapi, jika kau tahu, pada saat itu pula aku sedang
mengamatimu dari balik jendela yang terbuka hingga kau benar-benar meninggalkan
ruangan itu”.
Aldo
teridam sejenak. Tatapan matanya semakin serius. Tubuhnya sekarang terduduk
bersama Roy.
“Aku
tahu persis Roy, saat kau terbangun dan kau begitu paniknya melihat seisi
ruangan hanya tinggal kau seorang diri. Maka, saat kau hendak berlari
melangkahkan kakimu keluar, kau menemukan sebuah gulungan kertas yang tejatuh
di depan kursimu bukan?. Kau penasaran bukan?. Lantas kau membukanya. Bukankah
begitu?”.
“Hei..dasar pemalas..bangun dasar
pecundang...!!. Tak tahu malu. Mau jadi apa kau nanti?. Mau jadi gelandangan?.
Pengemis?. Mau jadi orang yang teraniaya?. Kau disini bukan diajar untuk
menjadi seperti itu bodoh..!!. Dasar anak tak tahu diuntung...Pergi saja sana
dari sini..!! hehe..” Aldo
mengulang kalimat yang ada di kertas itu dengan sempurna. Lengkpa dengan mimik
wajah yang sesuai.
“Oh
ya, yang aku tahu, setelah kau membacanya, wajahmu terlihat begitu marah. Kau
seperti menyumpahi seseorang”.
Aldo
sangat bijak menyampaikan kalimat demi kalimatnya. Sementara Roy, hanya tertunduk.
Diam seribu bahasa. Mulutnya seperti dikunci oleh kunci-kunci kebingungan. Bagaiamana dia tahu urusan rahasia ini.
***
“Ah
ya, aku ingat. Saat itu adzan maghrib sudah berkumandang dari tadi. Kau lantas
berlari meninggalkan aula itu. Tetapi, aku tidak melihatmu membuang kertas itu.
Bukankah kau setelah membacanya tadi justru kau sangat marah Roy?. Tetapi
mengapa kertas itu kau justru kau masukan ke dalam sakumu...?”. Aldo melenguh
sejenak. Roy bingung ingin menjawab apa.
“Baiklah tak usah kau pedulikan masalah itu
Roy..!!." Aldo tetap saja melanjutkan, walaupun sejatinya itu adalah salah satu pertanda akan ditutpnya percakaapan ini.
"Oh ya Roy, setelah kau keluar dari ruangan itu, kau segera menuju masjid bukan?. Bukankah semua teman-teman yang lain sudah dari tadi berkumpul di masjid?. Kau tahu Roy?. Pertemuan pertama di aula itu, sesungguhnya hari itu adalah hari pengikraran segala peraturan di asrama ini. Ajaib bin hebat Roy..!!. Baru saja peraturan itu disahkan beberapa menit yang lalu, kau sudah melanggarnya. Kau datang terlambat ke masjid. Kau berhak mendapatkan hukuman itu Roy. Kau berhak mendapatkan pukulan rotan di telapak kakimu Roy”.
"Oh ya Roy, setelah kau keluar dari ruangan itu, kau segera menuju masjid bukan?. Bukankah semua teman-teman yang lain sudah dari tadi berkumpul di masjid?. Kau tahu Roy?. Pertemuan pertama di aula itu, sesungguhnya hari itu adalah hari pengikraran segala peraturan di asrama ini. Ajaib bin hebat Roy..!!. Baru saja peraturan itu disahkan beberapa menit yang lalu, kau sudah melanggarnya. Kau datang terlambat ke masjid. Kau berhak mendapatkan hukuman itu Roy. Kau berhak mendapatkan pukulan rotan di telapak kakimu Roy”.
Matahari
senja semakin membarat, kicauan burung-burung semakin melemah. Satu-dua
kelelawar mulai bermunculan. Aldo yang sedari tadi tak henti-hentinya berucap
semakin lama semakin terdengar bijaksana. Sementara Roy sudah pasrah-tidak bisa
melakukan apa-apa selain mendengar semua rahasia yang selama ini
disembunyikannya terbongkar. Oleh sahabat baiknya pula.
“Roy,
Jika saja kau tahu, setelah kau keluar dari aula itu, aku justru masuk kembali
ke dalam aula, mengecek tempat kau duduk tadi. Aku hanya ingin memastikan bahwa
kertas itu benar seperti dugaanku, kau tidak membuangnya kembali. Bahkan, kau
menyimpannya rapat-rapat bukan?. Dan tepat seratus persen, kau saja telat
datang ke masjid, apalagi aku”.
“Oh
ya Roy..seandainya kau perhatikan. Aku pun mendapatkan hukuman yang sama
denganmu Roy. Bahkan lebih parah. Bagaimana tidak, Aku datang saat yang lain
selesai shalat. Selain pukulan rotan, aku pun mendapatkan hukuman untuk
membersihkan seluruh asrama. Hei bagaimana mungkin seorang anak kecil seumuran
kita itu disuruh untuk membersihkan seisi asrama-sendiri dan hari pertama pula.
Jika kau tahu Roy, Aku sama denganmu. Mengutuk semua perturan yang ada. Aku
tidak kuat dengan hukuman ini Roy. Aku tidak kuat dengan aturan ini. Tetapi kau
selama ini memberikan penjelasan yang rapi kepadaku Roy ”.
Aldo lagi-lagi menarik napas
panjang. Roy sekarang justru menatap lamat-lamat wajah Aldo. Roy penasaran. Penjelasan?. Penjelasan macam apa pula.
Roy tidak pernah menasihati Aldo sekalipun, apalagi menggurinya. Selama ini Roy
sangat menghargai teman dekatnya itu. Baginya, Aldo adalah sahabatnya yang
paling bijaksana, cukup dewasa menyelesaikan beragam masalah. Baginya, Aldo
justru adalah penjelas kehidupannya.
Selama ini Aldo justru menjadi teman berceritanya. Bagaimana mungkin Roy justru
menjadi penjelas atas kehidupannya?.
***
Kawan,
jika saja manusia mampu menduga-duga apa yang akan terjadi di waktu yang akan
datang, maka manusia justru semakin mudah mempersiapkannya. Memilih-milih
orang-orang yang akan mempengaruhi kehidupannya. Berusaha melakukan hal-hal
yang tidak merugikannya. Menghindari hal-hal yang dapat merusaknya. Tetapi
mengapa semua itu justru tidak pernah kita dapatkan seperti yang dirasakan oleh
kebanyakan orang. Mengapa kehidupan ini penuh dengan misteri yang sulit
dipecahkan?. Mengapa hidup ini justru penuh dengan lika-liku yang bermuculan?.
Mengapa hidup ini selalu dirahasiakan?. Lantas, apakah dengan begitu kau lantas
menyalahkan Tuhan tentang skenario yang dirahasiakannya. Bukankah dengan kita
tahu rahasianya kita mampu mempersiapkannya dengan baik. Tetapi mengapa justru
Tuhan membuatnya menjadi serba rahasia yang hebat. Tak seorangpun
mengehatuinya. Bukankah Tuhan adalah Maha Perencana yang tiada banding,
bukankah Tuhan Maha Kuasa atas seluruh isi langit dan bumi, bukankah Tuhan Maha
Pengatur segala kehidupan.
Itulah tabiat manusia. Seringkali
menyalahkan segala hal-hal yang tidak dikethuinya dengan pasti. Itulah manusia
yang seringkali hanya ingin merasakan kehidupan yang nyaman. Itulah manusia
yang seringkali meyumpahi segala kejadian yang menyakitkan tanpa bercermin
terhadap dirinya. Itulah manusia yang seringkali tidak mengambil pelajaran
berharga dari kebijakan-kebijakan hidup. Maka, terkadang pertanyaan-pertanyaan
yang selalu hadir dalam benakmu pun hadir dalam penjelasan yang tidak engkau
kira sebelumnya. Lewat bencana yang menimpamu hingga kau mempu memaknainya.
Lewat hukum-hukum alam yang membuka nuranimu. Lewat orang-orang dekat yang ada
di sekitamu hingga mengetuk hati kecilmu. Maka benar, selalu ada maksud lain
dari setiap kejadian. Ya, penjelasan itu selalu hadir dalam bentuk yang
berbeda-beda.
Dua jam sudah lelaki tua itu
terduduk di samping pusara yang menjadi kenangan hidupnya. Suara jangkirk
membusai di sekitanya, bersahut-sahutan membentuk irama nan indah. Memecah
keheningan malam. Langit malam terkepung oleh bintang-bintang yang bertaburan.
Kicauan burung hantu menggema suasana. Sementara air mata lelaki tua itu tiada
habis-habisnya keluar. Sama seperti dua jam yang lalu, tak ada sepatah kata
apapun yang diucapkannya. Tetapi pikiran dan hatinyalah yang saat ini
berbicara. Menjelaskan bermacam-macam penjelasan kepadanya.
***
“Ilaa
jami’a tullab..hayya isti’daadan lita’alamu fil fasl..!.”(1) Speaker asrama berbunyi keras.
Menggetakran seisi asrama.
Ustaz-ustaz
sudah memperingatkan untuk bersiap-siap belajar malam bersama di kelas. Mengagetkan
anak-anak yang sedang basyik bercengkrama di kamar. Satu-dua orang mengeluh, ‘ah belajar lagi’. Satu-dua orang tidak
peduli, tetap melanjutkan obrolannya. Satu-dua orang bagai pasukan yang taat
terdahap insturksi komandannya segera bersiap-siap sesegera mungkin. Satu-dua
orang malah justru menirukan suara yang keluar dari speaker sambil
mulut-mulutnya komat-kamit memperlihatkan ekspersi wajahnya yang sangat sebal
dengan suara di speaker itu.
Barulah
saat ustaz-ustaz berpatroli-mengelilingi setiap kamar, anak-anak segera
bergegas siap-siap untuk belajar. Bagai pencuri yang terkejut aksinya diketahui
orang. Anak-anak yang sedari tadi berleha-leha tidak mendengarkan instruksi di
speaker asrama itu kalang kabut. Panik. Harus segera keluar kamar dalam
hitungan tertentu saat suara ustaz berteriak-teriak menghitungnya.
Roy justru sedari tadi sudah
bergegas menuju kelasnya sebelum instruksi di spekaer itu menggaung seisi
asrama. Sementara Aldo, justru ikut dalam golongan anak-anak yang justru asyik
melanjutkan obrolannya. Tidak peduli walaupun sepaker asrama menderu-deru
berulang kali. Tetapi saat itulah penjelasan
datang kepada Aldo. Penjelasan itulah
yang membuka rahasia yang selama ini Roy tutup-tutupi.
Saat Aldo dan teman-teman yang lain
terbirit-birit berlari ke kelasnya masing-masing, merasa ketakutan jika tidak
segera keluar dalam hitungan yang sudah diteriaki ustaz untuk segera belajar
malam. Entah lagi-lagi langit seperti bermaksud sesuatu kepada Aldo. Aldo
keluar paling akhir dari kamarnya. Saat detik-detik terkhir hitungan itu
mencapai batasnya, Aldo justru terhenti langkahnya karena menemukan sebuah
gulungan kertas yang tergeletak begitu saja di depan alamari Roy. Seperti ada
paku yang terparti di kaki dan lantainya. Aldo merasa ada sesuatu yang ganjil
dengan kertas itu. Seperti kertas yang ia
kenali sebelumnya.
Aldo tidak keluar-keluar kamar hingga
teriakan hitungan itu selesai batasnya. Pintu-pintu kelas sudah resmi ditutup.
Tidak boleh ada seorangpun yang masuk. Jika ada satu saja yang ketahuan mencoba
masuk saat pintu-pintu itu sudah ditutup, atau saat ustaz-ustaz yang berpatroli
memeriksa setiap sudut kamar-memastikan tidak aada seorangpun yang ada dalam
kamar-dan menemukan seseorang yang masih berada di dalam kamar, maka siap-siap
saja hukuman sudah menyambutnya di depan mata.
Saat-saaat mendebarkan itu terjadi. Ustaz-ustaz
mulai berpatroli ke setiap sudut kamar. Berburu
anak-anak yang tidak patuh dengan aturan main di asrama. Bagai detektif
memecahkan masalah. Sedetail mungkin tak ada yang terlewat dalam satu saputan
mata. Mata-matanya bagaikan elang membidik mangsanya. Tajam. Setajam pisau yang
baru saja diasah.
Tetapi Aldo justru tidak mau kalah
dengan detektif-detektif itu. Saat ustaz-ustaz
mulai berkeliling, bagai tikus melarikan diri dari mangsanya, Aldo langsung saja
keluar tanpa sepengetahuan para detektif itu
menuju kamar mandi terdekat. Sempurna. Ustaz-ustaz sama sekali tak tahu-menahu
keberadaan Aldo. Malam ini sepertinya mereka tidak dapat menemukan mangsa.
Aldo memanfaatkan kesempatan ini.
Rasa penasaran yang membuncah dalam hati Aldo tidak lagi dapat dibendung.
Perlahan demi perlahan kertas itu dibukannya. Walaupun tangannya gemetaran.
Gugup. Antara penasaran dengan kertas yang sepertinya tidak asing lagi baginya
dengan persembunyiannya dari detektif-detektif
itu.
Sayang
seribu kali sayang, persembunyiannya justru mengundang detektif-detektif itu menggunakan ketajaman indranya. Saat para ustaz
sudah berbalik melanjutkan tugas berikutnya, saat itulah persembunyian Aldo
terbongkar sudah. Aldo tercengang dengan isi tulisan itu. Kekagetannya
membuat gayung kamar mandi jatuh ke lantai. Suaranya terdengar jelas.
Maka,
kecepatan gelombang suara itu secepat kilat langsung mengaktifkan syaraf-syaraf
indrawi para ustaz yang berpatoli tadi. Lubang telinga dengan sigap langsung
menangkap gelombang itu. Hitungan sepersikan detik gelombang itu menuju pusat
pengendali otak. Tanpa menuggu perintah, otak itu sudah bisa memerintahkan
oragan tubuh yang lain merespons suara itu. Badannya sekarang sudah berbalik
lagi. Matanya dengan tajam melihat ke arah sumber suara. Telinganya sudah siap
menjelajah ke arah sumber suara. Kakinya sudah besiap tancap gas menuju sumber
suara. Tangan-tangannya melambaikan ke ustaz lain mengajak untuk mengecek ke
arah sumber suara. Mulutnya seperti mengeluarkan komat-kamit kecil ‘Aha akhirnya dapat mangsa juga’.
“Ayoo...ada
anak disana. tangkap anak itu, beri dia pelajaran.” Salah seorang ustaz memberi
komando kepada ustaz yang lain.
Sementara
Aldo, justru sekarang seperti tidak bisa merasakan apa-apa. Tubuhnya kaku. Aldo
justru terduduk di lantai kamar mandi. Matanya sembab. Bulir-bulir air mata
sudah membasahi pipinya. Isak tangis keluar dari mulutnya. Aldo tidak percaya
apa yang baru saja dibacanya. Aldo sama sekali tidak menduga isi kertas itu.
Benar. Ternyata kertas itu adalah kertas yang pernah beberapa waktu lalu dibaca
Roy saat penyambutan dulu. Kertas yang dahulu
membuat Roy terlihat marah menyumpahi seseorang setelah membacanya.
Bukan
kertas itu yang membuatnya terkejut. Tetapi, tulisan dibalik kertas itu.
Tulisan yang sepertinya dikenalnya. Tulisan yang tidak perlu berpikir lama
untuk mengetahui penulisnya. Benar. Tulisan Roy.
Dasar kawan tak tahu isi hati orang lain.
Dasar kawan tak tahu derita anak sebatang kara di tanah perantauan. Tak berguna
menjadi kawanku. Kau akan lihat anak sebatang kara ini akan berdiri di puncak
kesuksesan di akhir nanti. Jika nanti aku menjadi orang pandai, akan kutemukan
siapa yang menulis di balik kertas ini. Maka, di puncak kesuksesan nanti akan
kusebut namamu dan aku akan membuatmu malu. Sungguh.
Sebatang kara?. Kawan tak berguna?. Penulis di balik kertas ini?.
Dibuat malu?. Ya Tuhan, apa maksud dari semua ini?. Mengapa urusan sederhana
ini menjadi rumit.
DEERRR....suara
pintu seng terdobrak begitu keras.
“Wooii...apa
yang sedang kau lakukan disini..?.” Salah seorang ustaz membentak keras.
“Maadzaa ta’mal fil hamaam?. Limaadzaa laa
ta’lama fil fasl?.” (2) Belum sempat pertanyaan pertama terjawab,
pertanyaan dari ustaz lain sudah terlontarkan. Ya, bagaimana mungkin Aldo bisa
menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, meskipun sebenarnya pertanyaan itu tidak
butuh jawaban. Tetapi, bukankah Aldo tidak bisa berkata apa-apa lagi setelah
membaca tulisan tadi. Seluruh tubuhnya seperti tak bisa digerakkan sama sekali.
Terduduk kaku. Terdiam membisu.
“Ayooo..tarik
saja anak itu..bawa dia keluar..Bukannya belajar, malah asyik membaca
surat..jangan-jangan surat cinta yang kau baca anak bodoh..hehehe.!!”. Salah
seorang ustaz membentak Aldo, menyeringai tawa menusuknya.
Hukum
tetaplah hukum. Peraturan tetaplah peraturan. Kertas yang dibaca Aldo tadi
sudah berceceran entah dimana. Salah seorang ustaz yang tadi membentak Aldo,
tanpa perlu penjelasan langsung merobeknya, menggeletakkannya begitu saja
potongan-potongan kertas itu. Aldo sekarang sudah diseret menuju lapangan
tengah, di hadapan para ustaz-usatadz pengeksekusi. Aldo sudah pasrah menerima
hukuman apapun. Peraturan tetap saja peraturan. Aldo mengakui kesalahannya
walaupun sebenarnya itu adalah hal yang penting untuk membangunkan kesadaran Aldo
membuka hati kecilnya.
“Angkat
kaki kirimu..!.” Salah seorang ustaz pengeksekusi memerintahkan Aldo.
CTAARRR...
Suara rotan menempel kulit terdengar cukup kencang. Aldo mengaduh kesakitan.
Tetapi apa hendak dikata, Aldo tidak bisa melakukan apa-apa selain menerima
hukuman itu.
“Sekarang
angkat kaki kananmu...!.”
Tanpa
menunggu lama, Aldo sudah mengangkatkan kakinya. Lagi-lagi pecutan rotan itu
menempel di telapak kaki Aldo. Wajah-wajah para ustaz pengeksekusi sumringah.
Seperti puas mendapatkan mangsa untuk dihukum. Sementara Aldo hanya bisa menerima,
sekaligus dengan suasana hati yang dirudung berbagai penyesalan.
Anak-anak yang lain, mana mungkin tahu
urusan siapa yang kena hukuman ini. Percuma, kelas-kelas mereka jendelanya
tidak bisa melihat ke arah lapangan
tengah asrama, tempat Aldo dieksusi. Ditambah lagi dengan pengawasan super
ketat dari para ustaz yang menemani mereka agar tetap fokus belajar. Maka, mana
mungkin anak-anak lain tahu bahwa malam itu ada seorang kawannya yang sedang
kesakitan menerima hukuman atas kesalahannya. Termasuk sahabat dekatnya. Roy.
Awan senja mengungkung langit. Matahari
sudah hampir ditelang langit. Hanya hitungan menit. Kelelawar sudah banyak yang
terbangun dari peristirahatannya. Murotal
menggaung seisi asrama. Terdengar kecipuk air, pertanda anak-anak sudah
mandi mempersiapkan diri sholat maghrib berjamaah di masjid. Sementara di atas
jemuran yang terbuka lebar ini, Roy dan Aldo
masih saja asyik dengan obrolannya.
“Bagiamana
kau tahu semua urusan ini Aldo...? Bagaiamana Hah?.” Roy terisak ingin tahu.
“Bagaiamana kau tahu urusan kertas-kertas
itu Aldo?. Mengapa kau memata-mataiku?. Mengapa?.” Roy berbicara lantang. Kedua
tangannya dikibaskan ke arah Aldo. Layaknya seorang pembicara berorasi.
Mengangkat kedua tangannya ke atas, menunjukan rasa ingin tahu yang mendalam.
“Baiklah
Roy..apa kau katakan tadi?. Mengapa aku memata-mataimu?. Aduhai Roy, kau itu
adalah temanku, teman terbaikku. Itu yang aku rasakan ketika kita pertama kali
berkenalan dulu. Mengapa?. Ya, setidaknya kau sama seperti aku, sama-sama ketakutan
dengan aturan disini. Lagipula bukankah aku sudah menyampaikannya tadi. Kau
adalah penjelas atas hidupku,
bagaimana mungkin aku tega membiarkannmu kalah melawan aturan-aturan itu?. Kau
memang hebat Roy. Dua tahun sudah kau mengajariku, sekalipun kau tidak
menyadarinya. Tetapi aku banyak belajar darimu Roy. Sungguh.”
Aldo
semakin yakin dengan ucapnnya. Smentara Roy semakin dihantui dengan
kebingungan.
“Kau
tahu Roy tentang kertas yang kau baca itu-yang setelah kau membacanya kau
lantas marah, bersumpah ruah atas penulis di kertas itu. Tidakkah kau
perhatikan Roy? Mengapa kertas itu terjatuh begitu saja di kursi yang ada di
depanmu?. Tidakkah kau berpikir Roy?. Siapa yang duduk persis di depanmu?.
Bukankah dengan begitu kau dengan mudah tahu siapa penulis di kertas itu?.
Sederhana bukan?.”
Roy semakin penasaran. Aldo tetap
saja melanjutkan kalimat demi kalimatnya. Bertanya tentang hal-hal yang tidak
dilakukan Roy dengan semestinya. Roy baru terpikirkan. Benar. Mengapa dia tak cari
tahu saja siapa penulis di kertas itu. Dengan begitu Roy pasti akan tahu
pelakunya, tidak perlu lagi menulis sumpah serapah di balik kertas itu.
“Roy..Akulah orang itu. Akulah orang
yang tepat duduk di depanmu. Akulah orang yang menulis di kertas itu. Akulah
kawanmu yang paling jahat
memaki-makimu di kertas itu. Sungguh. Akulah orangnya”.
Langit sekan jatuh menimpa Roy.
Roy sama sekali tidak percaya bahwa
orang yang ada di hadapannya sekarang adalah orang yang dahulu menulis di
kertas yang disumpahinya. Dan orang itu adalah sahabat baiknya sendiri. Aldo.
“Bagaimana..bagaimana kau melakukan
itu Aldo..kau..kau....”. Roy berkata mencekik.
“Maafkan aku Roy..Sungguh aku tak
bermaksud seperti itu..aku..aku..”. Aldo terbata-bata. menahan air yang hendak
keluar dari matanya.
“Aku..aku hanya ingin mengajakmu
agar kau jangan putus semangat melewati hari penuh aturan ini. Karena..karena
kau dan aku sama Roy..Sama-sama benci
setengah mati dengan aturan disini. Aku hanya ingin kita saling menguatkan
menghadapi ini semua. Sungguh”. Aldo berhenti sejenak. Mengambil napas.
“Kau selama ini menganggapku teman
yang bijakasana Roy. Mengaggapku teman yang lebih dewasa meyelesaikan
permasalahan hidup. Tidak Roy. Aku justru belajar banyak hal darimu. Ternyata
kau lebih hebat. Kau mampu mengalahkan kutukan aturan-aturan itu Roy. Kau
melawannya. Kau sempurna melewati dua tahun ini dengan hebat. kau sama sekali
tidak pernah melanggar aturan-aturan lagi setelah di hari kau tertidur di
penyambutan itu. Sedangkan aku..ah, kau tahu sendiri kehidupanku selama ini. Aku
justru menggengam erat ketakutanku akan aturan.” Aldo terus meneruskan
kalimat-kalimatnya. Roy sekarang terduduk di hadapannya.
“Oh ya Roy, kau heran bukan,
sekarang kertas itu sudah tidak ada lagi di tanganmu. akulah yang tak sengaja menemukan
kertas yang kau simpan itu di depan lemarimu sebelum kita belajar malam. Aku
tahu seluruh isinya Roy. Tahu persis kalimat-kalimat yang kau tulis di balik
kertas itu. Sayangnya, aku memang tidak beruntung malam itu, hingga para ustaz
patroli pun tahu-aku justru bukannya belajar, malah berleha-leha membaca kertas
itu. Dan seperti biasanya, lagi-lagi aku kena hukuman termasuk dirobeknya
kertas itu. Roy, kau mengajariku lebih dari yang kau kira. ” Aldo terbata-bata.
Kedua tangannya memegang pundak Roy yang terduduk di depannya.
Beberapa menit, tak ada suara apapun yang keluar. Sendi-sendi Roy seakan remuk tak berdaya. Langit seakan runtuh menimpanya.
Beberapa menit, tak ada suara apapun yang keluar. Sendi-sendi Roy seakan remuk tak berdaya. Langit seakan runtuh menimpanya.
“Ya Tuhan, apa yang kau
lakukan, kau tahu semua rahasiaku Aldo. Hanya kau seorang yang tahu. Kau
yang selama ini aku segani, kau yang selama ini aku hormati, kau yang selama ini aku hargai. Tetapi, mengapa kau melakukan itu semua Aldo?. Maafkan aku yang tidak bisa menjaga
emosiku kala itu. Sungguh Aldo, maafkanlah aku.”
“Tidak Roy. Aku yang justru minta
maaf kepadamu.”
Air
mata perlahan membasahi pipi Roy. Roy tertunduk tak percaya ini semua terjadi.
Ah ya, sekarang Roy tahu, itulah sebabnya mengapa didirnya menjadi penjelas atas kehidupan Aldo selama ini.
Mentari
senja perlahan bersembunyi. Di bagian langit yang lain bulatan rembulan muncul
perlahan menawarkan ketenangan. Langit yang jingga perlahan menjema menjadi
biru pekat pertandan petang berganti malam.
“Roy,
terima kasih atas semuanya. Suatu saat nanti, kita pasti akan melihat betapa
hebatnya kehidupan ini. Betapa indahnya kehidupan diluar sana. Betapa kuatnya
kehidupan ini. Suatu saat nanti, kita akan melihat hal yang jauh lebih hebat.
Kita pasti akan menemukan orang-orang hebat diluar sana. Sungguh kita akan
memiliki semua kesempatan itu. Kita harus percaya kawan, semua bisa saja
bermula dari ini, saat ini, disini. Maka, sebelum kita terlambat. Sebelum kita
akan melihat cahaya keindahan diluar sana. Ada hal yang lebih penting yang
harus kita lakukan. Perjuangan. Karena dengan itulah janji kehidupan yang lebih
baik akan menjemput kita. Bukankah begitu kawan?”.
Aldo
tersenyum sekarang. Roy pun demikian. Suasana manjadi lebih santai. Adzan
maghrib sudah berkumndang. Wahai kawan, jika kau melihatnya dari ketinggian
seribu meter dari atas sana, maka dua anak ini seperti titik yang memendarkan cahaya. Cahaya kebahagiaan.
***
Esok paginya, seperti tidak ada yang
penah terjadi sebelumnya. Aldo dan Roy melupakan hal-hal yang lalu. Hari itu
adalah hari libur. Aldo yang genap berusia empat belas tahun itu sedang asyik
membersihkan sepeda onthel miliknya. Tangannya bergerak segesit mungkin.
Menyelinap di sela-sela gerigi. Matanya tajam melihat segala noda yang mengotori
sepeda miliknya. Seember air di samping kananya disiramnya. Maka secepat kilat,
sepeda tua kesayanggnya bersih kembali. Senyum simpul Aldo mengembang.
“Hei..ayo bergegas, siapkan sepeda
kalian. Kita akan jalan-jalan..!!. Aldo berteriak ke arah Roy dan teman lain yang
masih berleha-leha di kamar. Tetapi mendengar seruan itu, raga mereka seakan
tertarik keluar. Membawanya segera menyiapkan sepeda masing-masing. Aldo tentu
saja dalam urusan ini menjadi komandan perjalanan.
“Ayo..jalan..!!”. Aldo memberi
komando. Sepedanya berada di posisi paling depan.
Lantas sepersekian detik, saat pedal
mulai dikayuh-jika matamu yang bangun tidur sekalipun melihat ini, kayuhan sepeda
Aldo macam komet yang melaju kencang di angkasa. Bagai rudal berkecapatan
tinggi. Membelah jalanan di depannya.
Aldo mangatur sana-mengatur sini.
Mengatur posisi sepeda teman-teman yang lain. Agar nyaman dipandang mata, itu katanya saat ditanya alasannya
mengatur posisi sepeda. Nah kawan, jika engkau melihat rombongan ini seperti
kawanan angsa yang sedang terbang membentuk formasi huruf ‘V’. Kendaraan lain
yang ada di depannya seakan menyingkir. Memberi jalan kepada kawanan ini.
Barulah sampai pada tikungan pertama. Sang komandan tanpa memberikan instruksi
membelok. Para prajurit lain pun semuanya membelok mengikutinya. Seakan ada
isyarat tersembunyi dari sang komando untuk berbelok.
Entah mengapa hebat nian Aldo tahu
urusan atur-mengatur posisi sepeda ini. Ah, apakah dia paham tentang teori ini.
Bahwa kecepetan bergerak dalam formasi ini setidaknya menaikkan efisiensi
paling tidak 71% dibandingkan dengan bergerak sendiri-sendiri.
Sepuluh menit berjalan. Para
prajurit sepeda ini pun tidak menyadarinya. Seakan jiwa dan raganya terbius
dengan keasyikan megayuh sepeda di pagi hari. Maka, tibalah mereka di sebuah
perempatan jalan yang cukup besar. Bukan. Bukan cukup besar sepertinya. Bahkan memang
perempatan inilah yang terbesar dan teramai di kota ini. Orang-orang berlalu
lalang kesana-kemari dengan kendaraan pribadinya.
Kawanan sepeda ini tiba-tiba
berhenti. Sang komandan Aldo menghentikan kayuhan pedalnya. Dia ternyata sedang
hormat kepada sang jendral jalanan.
Jendral yang mengatur gerak-gerik siapapun di jalanan. Lampu merah. Sang
jendral menginstruksikan kepada sang komandan agar berhenti sejenak dengan
isyarat lampu merahnya. Instruksi itupun berlaku untuk para prajurit sepeda
ini.
Sang
Jendral mengisyaratkan dengan angka-angka yang berjalan mundur. Enam puluh
detik. Tiga puluh detik. Sepuluh detik. Lima detik. Dua detik. Satu detik. Akhrinya
sang jendral menarik isntruksinya. Raut wajahnya berubah menjadi kuning. Tetapi
itu tidak lama. Amat terlihatlah raut wajah yang segar dan ramah. Sang jendral
lampu merah pun berubah menjadi hijau. Wajah-wajah pengguna jalan yang lain
terlihat sumringah.
Secepat kilat, sang komandan Aldo
memimpin pasukannya agar melaju kembali. Tetapi semangatnya yang menggebu-gebu
membuat pasukannya kewalahan untuk menyamai kecepatannya. Dia berada cukup jauh
di depan. Formasinya untuk membentuk huruf ‘V’ kembali kurang sempurna, karena
satu titik ujung telah mendahului di depan mereka dua puluh meter kurang
lebih. Semua mata terfokus mengawasi jalanan. Memastikan kanan-kiri kosong
tidak ada hambatan.
Sialnya, ternyata akurasi itu belum
tepat. Sebuah bis kota melaju dengan kecepatan tinggi dari arah kiri. Melawan
instruksi sang jendral lampu merah. Kecepatannya bagaikan busur panah yang baru
ditembakkan oleh seorang ahli pemanah. Sepersekian detik bus itu menghantam
pemimpin perjalanan mereka. Aldo. Suaranya bagaikan guntur yang menghujam bumi.
Seketika itu pulalah sepeda onthel miliknya terlempar cukup jauh. Bus itupun
sontak menghentikkan lajunya. Berhenti tepat di tengah-tengah perempatan. Sang
sopir yang dengan gugup setengah mati bergegas turun dari bisnya. Orang-orang
menghardiknya. Beberapa polisi lalu lintas lantas langsung melerai. Kendaraan
lain pun ikut menghentikkan lajunya. Menengok ke arah kerumunan. Sekedar ingin
mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Orang-orang
bergegas berkerumun mengangkat tubuh Aldo. Darah bercucuran bak air bah yang
tumpah di jalanan. Mereka hanya bisa bersitatap satu sama lain. Panik, takut,
bingung, sedih, semua bercampur menjadi satu. Aldo tidak sadarkan diri.
Terbaring lemah. Mereka saling memanggil-manggil namanya. Mencoba
menyadarkannya. Tetapi hal itu seperti sia-sia. Tidak ada respons sedikitpun.
Orang-orang semua panik. Seorang
pemuda terlihat menelpon dengan telepon genggamnya. Dari intonasi suaranya dia
seperti sedang memanggil pertolongan.
Entahlah. Mana sempat memperhatikannya. Barangkali dia sedang menelpon ambulan.
Hanya beberapa detik. Pemuda itu segera menutup teleponnya. Lantas kembali ikut
mengerumuni Aldo. Orang-orang seperti koloni piranha yang sedang berebut
makanan. Tetapi bukan. Bukan makanan yang dikerumuni, Hal ini lebih penting.
Jauh lebih penting. Sebuah nyawa. Ya, nyawa seseorang. Seseorang yang sangat
Roy kenal perangainya. Seseorang yang sangat Roy segani, seseorang yang
menjadikan Roy sebagai penjelas atas
hidupnya.
“Minggir..minggir..ada
apa ini?”. Sahut seorang polisi. Ah, polisi aneh, tak perlu tanya seharusnya
sudah tahu urusan besar ini.
“Hei,
tanggungjawab kau supir sialan..!!”. Salah seorang pemuda berteriak kepada
supir bis itu. Tangannya menarik kerah baju supir itu. Mengancamnya.
“Cepat
panggil ambulan..!! Cepat..!! Ayo Cepat..!!”. Teriak seorang bapak tua sedang
memerintah. Walaupun sebenarnya dia tidak tahu ingin memerintah siapa.
“Hei..Aldo...!! Aldo..!! Innalillahi..!!.” Roy kaget bukan main melihat apa yang ada di depannya sekarang.
Ah, semua benar-benar seperti tidak
terkendali kondisinya, Saling memerintah satu sama lain. Saling bingung. Menangis.
Takut. Saling mengucap. Saling memaki. Aduhai, semua tabiat orang-orang rasanya
terlontarkan semua akibat kejadian ini.
Apapun pasalnya, entahlah secepat
kilat sebuah mobil ambulan datang dari kejauhan menghampiri kami semua. Dering sirine yang berirama menggetarkan hati
kami semua. Hanya hitungan detik, ambulan itu tiba. Dua petugas ambulan secepat
kilat berhamburan keluar. Lantas mereka sesegera mungkin mengangkat tubuh Aldo
dibantu dengan beberapa orang, termasuk Roy dan teman-temannya. Pintu ambulan
terbuka. Sang sopir masuk kembali ke dalam mobil. Seorang pemuda yang menelpon
tadi memanggil Roy, memerintahkan agar Roy ikut bersamanya. Maka, tanpa pandang
bulu, Roy tiba-tiba saja sudah berada di dalam ambulan. Tepat saat pintu
ambulan ditutup. Ada sesuatu yang menyesakkan di dada Roy.
Secepat kilat ambulan melaju dengan
cepat. Sangat cepat. Sirine kembali
dinyalakan. Ketegangan merasuk ke dalam mobil ambulan.
“
Ayolah..Sudah..jangan menangis..!. Semua akan baik-baik saja”. Pemuda itu
berkata lirih kepada Roy.
Baik-baik
bagaimana?. Tubuh kawannya ini berlumuran penuh darah. Tetapi apa yang bisa Roy
lakukan. Hanya memandangi wajah seorang sahabat terbaiknya. Air mata sudah
membasahi seluruh pipi Roy.
“Mas..”. Roy terisak.
“Aku..aku
takut..aku takut jika terlambat mas...”
Roy tertunduk. Menyeka air matanya. Lantas menatap Aldo dengan penuh kehampaan.
***
Hanya hitungan menit, ambulan itu tiba di sebuah rumah sakit
terdekat. Pintu ambulan terbuka. Supir bergegas membuka pintu belakang. Tiga
orang perawat bergegas menarik tandu darurat stretcher ke belakang pintu mobil ambulan.
Kereta
tandu itu melesat kencang melewati koridor-koridor rumah sakit. Tiga perawat
itu berlarian secepat mungkin. Roy dan pemuda tadi kewalahan mengikuti gerak
larinya
“Aldo...bertahanlah..bangunlah
Aldo...aku mohon..!”. Suara Roy semakin parau memangil-manggil namanya.
Lagi-lagi
tidak ada respon sedikitpun. Kaki dan tangan Roy gemetar, seperti kehilangan
titik bertumpunya. Siapa pula yang tidak takut, cemas, melihat seorang sahabat
dekatnya berlumuran darah tak sadarkan diri. Tetapi ketegaran ini, ketegaran
inilah yang menguatkan Roy menerima apapun yang akan terjadi.
“Dok,
aku mohon selamatkanlah dia”. Roy memohon kepada dokter setibanya di kamar ICU.
Tak sepatah kata apapun keluar dari
mulut dokter itu. Dia hanya fokus pada pasiennya. Gerakannya sangat gesit.
“Mohon keluarlah nak, semua akan
baik-baik saja.” Dokter itu malah meyuruh Roy keluar.
Alamak,
bagaimanalah Roy harus keluar. Bagaimana mungkin seorang dokter tega memerintahkan
Roy meninggalkan seorang sabahabatnya, dalam kondisi kritis pula.
“Ayo
dek kita keluar..kita hanya mengganggu pekerjaan dokter. Biarlah mereka yang
menanganinya. Semua akan baik-baik saja.” Pemuda itu tersenyum ramah, membujuk
Roy agar segera keluar.
Entah
atas alasan apa, luluhlah Roy yang semula bersikukuh tidak ingin keluar. Tetapi
senyum ramah pemuda itu seperti memeberikan penjelasan bererti kepada Roy.
Walaupun penjelasan itu sempat bertengkar dengan hasrat Roy.
“Sabar
dek, berdoa saja semoga akan baik-baik saja.” Pemuda itu mencoba menenangkan
Roy diluar ruangan.
“Duduklah..tenanglah..!.”
Pemuda itu dengan tenang lagi-lagi membujuk Roy.
Bagaiamanalah urusan ini bisa
tenang, justru dengan duduk manis disini Roy semakin memikrimkannuya. Bulir
kristal air tetap saja mengalir di matanya. Merekahlah sudah, bergelayut di
pelupuk mata Roy. Perlahan bulir air itu menggelinding. Membentuk parit di
pipi. Membentuk gurat kemilau di lesung. Tetas air itu terdiam sejenak di dagu.
Menumpuk menjadi satu. Membesar. Dalam hitungan yang singkat, bulir itu
terhujam perlahan ke lantai. Dan sempurna bulir air ini mengaduk-ngaduk hati
Roy. Seolah Roy merasakan sakit yang diderita Aldo.
Entahlah,
seperti ada ikatan persahabatan yang erat diantara mereka. Mungkin inilah
kekuatan persahabatan. Melebihi hal-hal di luar ambang batas logika. Saat salah
seorang merasakan sesuatu, seolah yang lain ikut merasakannya.
Dari
balik jendela Roy mengintip Aldo. Tak kuat Roy melihat itu semua. Darah terus
bercucuran. Dilapisi perban berapa banyak pun tetap menembusnya. Dokter-dokter
itu terlihat tegang. Garis hijau di elektrokardiograf itu tak karuan lagi geraknya.
Kadang naik-turun, kadangpula mendatar. Seperti tidak ada harapan lagi. Mata Aldo
tertutup, tetapi entah ada keajaiban apa wajahnya terlihat damai, tenang.
“Ya
Tuhan..selamatkanlah kawanku. Kali ini saja. Aku mohon.”
***
Wahai
kawan, di kehidupan ini, sejatinya memang terkadang ada hal-hal yang
terjadi-yang tidak bisa dinalar dengan akal sehat pada umumnya. Seperti ikatan
persahabatan ini.
Maka,
saat kejadian yang mendebarkan itu tiba. Sempurna ikatan ini menjadi kuat.
Semua teman-teman pasukan rombongan bersepeda tadi, dengan kecepatan dan waktu
yang tidak bisa dinalar logika-tak dinyana telah tiba di rumah sakit ini.
Padahal, paling tidak dengan mengendarai kendaraan bermotor saja dengan
kecepatan 50 km/jam akan menghabiskan waktu 30 menit lamanya. Apalagi dengan sepeda-sepeda tua bin butut milik mereka. Tetapi bagi mereka
waktu yang dibutuhkan hanya cukup lima belas menit saja. Sepertinya
sepeda-sepeda itu melesat bagai pesawat tempur F-16. Menderu membelah senyap.
Menerabas aturan-aturan indah lalu lintas. Perfetto(3).
Sampailah mereka di rumah sakit ini.
Sepeda-sepeda
itu menerobos saja masuk ke dalam parkiran. Berhenti mengayuh pedal. Turun.
Meletakkan begitu saja sepeda-sepeda itu di sembarang tempat dan pergi begitu
saja. Tidak peduli sepedanya dikunci atau tidak.
“Hoii...sepeda
parkir di sebelah sini, disana parkir mobil.” Petugas parkir meneriakinya untuk
parkir dengan rapi.
Tak
peduli, sekalipun banyak papan bertuliskan kendaraan harap dikunci. Sekalipun ada papan
bertuliskan parkir mobil. Sekalipun ada papan bertuliskan agar parkir dengan rapi. Tetapi bagi mereka, urusan kemanan dan estetika
kerapian parkir bukanlah yang diutamakan sekarang. Bagi mereka keselamatan
temannyalah yang utama.
Tanpa
sepatah kata apapun yang keluar dari mulut mereka, mereka terus berlari.
instingnya sudah tajam untuk urusan ini pastilah ICU tempatnya. Bagian
informasi, ah bodo amat, tak peduli.
Orang-orang terlihat bingung menatap mereka. Bahkan para pasien yang sakit pun
seolah melupakan sakitnya sejenak demi melihat kepanikan mereka berlarian.
“Aldo..mana
Aldo Roy..Bagaimana keadannya?.” Toni, salah seorang teman Roy bertanya penuh
ingin tahu tepat sesampainya mereka di depan ruang ICU.
Tanpa
perlu dijawab, mereka langsung saja menyerbu pintu masuk ruang. tetapi tindakan
itu langsung dicegah Roy.
“Biarlah
Toni, semua akan baik-baik saja.” Roy tersenyum hangat, walaupun bekas
tangisannya masih terlihat.
Roy
pasrah menerima apapun keputusan langit. Dia berhasil menenangkan teman lainnya
dengan senyuman itu. Senyuman kehangatan, layaknya seribu rembulan tersenyum.
Mereka sekarang tertunduk pasrah. Apa yang mereka bisa lakukan selain berdoa
keselamatan kepada Yang Kuasa?.
“Maaf
nak. Teman kalian sudah tertidur tenang..!.
Masuklah jika kalian ingin melihatnya.” Dokter itu berkata lirih beberapa
menit kemudian setelah membukakan pintu ruang.
Tertidur tenang.
Semua orang tahu itu bahasa halus yang digunakan untuk menyampaikan seseorang
yang sudah kembali ke pemilik-Nya. Dan dokter itu sempurna mengatakannya dengan
tutur kata yang sehalus mungkin. Itu artinya, Aldo sudah tiada.
Wahai
kawan, sungguh kalian akan sangat terpukul hatinya saat mengetahui sesorang
yang selama ini menjadi sahabatmu, tiba-tiba saja telah tiada.
Maka,
saat yang lain masuk ruang untuk melihat Roy yang sudah tiada itu, Roy justru
orang yang paling akhir memasuki ruangan itu. Roy hanya ingin menyampaikan ucapan
terima kasihnya kepada pemuda yang tadi mengantarnya itu. Tetapi pemuda itu
justru sudah tidak terlihat lagi batang hidungya, entah dimana. Orang-orang di
sekitarnya pun tidak melihatnya. Roy lagi-lagi bingung. Entahlah barangkali ini
adalah bagian dari pertolongan-Mu Ya Robb.
Tiada
seorangpun yang bisa mengira semua kejadian ini terjadi.
Seorang
laki-laki tua itu tetap saja tertunduk dalam-dalam di samping pusara kawannya.
Hatinya selesai sudah berbicara. Ingatan tentang masa lalunya telah menjadi
bagian dari perjalanan hidupnya. Ingatan itu terperangkap dalam satu ikatan
hati. Sesuatu yang tidak akan pernah terhapus dalam ingatannya.
Malam
itu, langit menjadi saksi atas perjalanan hidupnya. Barangkali Tuhan memberkati
hidup Roy dengan pertemuan dan pertemanan yang hebat. Tidak mudah memang
menciptakan persahabatan yang indah, sama tidak mudahnya seperti mencari koin
di tengah samudra.
Maka,
jika ada hal lain yang lebih hebat dari cinta, maka itu adalah persahabatan. Itulah
persahabatan yang memang terkadang harus diuji dengan kehilangan. Itulah masa
lalu yang mengajarkan kita pelajaran berharga atas kehidupan. Dari kejauhan
semua kenangan masa silam itu tampak serba indah dan elok, puitis sekali,
sedangkan ketika dijalani, tidak ada sesuatu yang istimewa dirasakan, tidak ada
kesan yang mendalam. Semakin lama orang berpisah dengannya, semakin mengecil
dan menciut pula gambaran yang tersisa bersamaan dengan bergantinya musim,
bertukarnya tahun.
Orang
tak lagi mungkin mengetahui masa lampaunya secara utuh. Yang dikumpulkan adalah
fragmen-fragmen yang berserakan kemudian disusun dalam sebuah bangunan yang
kelihatan utuh dengan alur logika yang cermat.
Masa
lalu, tetaplah masa lalu. Bisa saja menganggap semua ini tak pernah terjadi dan
berusaha melupakannya. Tapi tidak mudah membuang bayang-bayangan kelabu yang
dicatat sejarah di masa lalu, sama tidak mudahnya bagi laki-laki tua itu
melupakan persahabatan masa silamnya. Itulah masa lalu yang terkadang membuatmu
rindu.
Walau
kadang setiap merindu, seseorang berusaha menegarkan hati dengan merapal mantra
semoga, dan berharap mantra itu mustajab mengembalikkan yang pergi. Tetapi itu
hanya semacam doa, yang memeluk kehampaan. Tapi biarlah, sesekali waktu perlu
mengajari cara tercepat meninggalkan masa silam, meski terkadang kita tidak
yakin memori itu akan hilang begitu saja di hadapan kita.
Itulah
sang waktu yang terkadang kejam-tidak
ada kompromi darinya. Sesuatu yang telah terjadi, tidak akan pernah terulang
kembali. Dia terus berjalan, memulai sesuatu yang baru, mengakhiri sesuatu yang
telah terjadi. Menikam siapa saja yang tidak mempergunakannya dengan sebaiknya.
Tetapi, menerbangkan siapa saja yang mengindahkannya. Itulah sang waktu yang
mengajari laki-laki tua itu pelajaran berharga dalam hidupnya.
Langit
malam terlihat indah di atas sana. Betaburan bintang gemintang yang membentuk
formasinya. Maka, di malam itu, di bawah naungan cahaya rembulan. Sang purnama
seakan menjadi bunga. Bunga kenangan yang indah atas perjalanan hidup Roy. Sinarnya
seolah memantulkan memori ingatan puluhan tahun silam. Indah. Seindah senyuman
seribu rembulan. (redza)
Note:
(1) (Arab) : Kepada
seluruh siswa, Ayo bersiap unutk belajar malam di kelas..!
(2) (Arab) : Apa yang kau lakukan di kamar
mandi?. Mengapa kau tidak belajar di kelas?.
(3) (Italia) : Sempurna
Cerita ini hanya fiktif belaka. Mohon maaf apabila ada kesamaan nama, latar, dan alur cerita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar