My Work

Senyuman Seribu Rembulan

Jika ada hal lain yang lebih hebat daripada cinta, maka itu adalah persahabatan
Benar, seperti langit yang ditinggikan tanpa tiang. Setinggi-tingginya. Membuat takjub. Membawa jiwa siapapun seakan terbang membelah angkasa. Memandang sekitar, lantas nasihat bijak kemudian menjawab, bahwa bumi dihamparkan selebar-lebarnya. Aduhai, lagi-lagi membuat takjub siapa pun yang melihatnya. Melihatnya?. Ya, melihat ke dalam relung hati terdalam. Membawa jiwa ini melewati penelusuran panjang ke dalam sepasang mata hati.
            Maka, Bagi siapapun yang mampu melihatnya, tiang-tiang langit seolah telah menjelma menjadi jiwa-jiwa yang diajarkan untuk tetap kokoh menjalani lika-liku hidup. Kembali membuat takjub, membawa jiwa dan raga ini terhempas ke atas, melayang menembus awan. Lantas memandangnya ke bawah bahwa bumi memang dihamparkan seluas-luasnya. Luas. Ya, luas sekali, seperti luasnya semesta ini. Maka, bagi siapapun tidak ada yang mampu melihatnya secara keseluruhan isinya dalam satu saputan pandangan mata.
Pandangan yang seperti kembali membuka mata hati. Menjelajahi segala memori kenangan masa lalu. Merasakan segala hal yang pernah terjadi. Mengingat segala hal yang pernah tercipta. Tentang cinta, cita-cita, dan harapan. Mewarnai sebuah perjalanan panjang.
            Maka, malam itu, saat cahaya rembulan menyibak gumpalan awan malam, seorang laki-laki berbilang lima puluh tahun terduduk melemah di samping sebuah pusara yang merekam segalanya. Raut wajahnya terang, seperti ada pantulan seribu rembulan yang tersenyum kepadanya. Tetapi matanya memerah, sembab, menahan tangis kenangan. Pipinya basah oleh bulir-bulir air mata yang perlahan menetesinya.
Maka, malam itu pula di kaki langit malam yang bertaburkan bintang-gemintang, lelaki ini melihat semuanya kembali. Saat sinar lampu menawarkan kehangatan suasana, saat cahaya rembulan di langit hitam sana berbagi ketenangan. Bulan yang selalu menerangi kegelapan malam, bintang yang selalu menghiasi pertunjukan langit malam. Mulutnya terkunci. Tidak sanggup mengeluarkan kata apapun. Namun, mata hatinya tetap terbuka. Selebar-lebarnya. Hanya isak tangis yang mampu dikeluarkannya. Lantas apakah air mata itu hanya karena alasan kisah puluhan tahun silam menyisakan sepotong kenangan yang berarti baginya?. Tidak. Tidak hanya itu. Bahkan beribu alasan bisa melengkapinya. Tentang arti pesan-pesan kehidupan yang terikat selamanya. Tentang saksi kehidupan yang tidak akan pernah berbohong kepadanya.
***
“Hai kawan..siapa namamu?.” Seseorang menyapa Roy dari belakang dengan ramah.
 “Eh.i...iya..hmm..sa..saya Roy, salam kenal.. ”.
“Oh ya, Roy..Nama yang bagus. Perkenalkan, aku Aldo.”
Tanpa menunggu kalimat itu selesai diucapkan, tangannya sudah sedari tadi dijulurkan kepada Roy. Memintanya bersalaman.
“Ayo Roy..siap-siap ke aula, ganti pakaiannya yang rapi. Ada penyambuatan santri baru dari kepala asrama.”
Baru saja salaman itu dilepaskan, tangannya sudah menepuk bahu Roy. Lantas, layaknya seorang juru parkir memerintahkan pengemudi mobil untuk mundur.
“Eh..i..iya..baik. Duluan saja, aku mau siap-siap dulu”.
“Baiklah..!.” Aldo terseyum simpul. Lantas berlalu meninggalkan Roy.
Maka, saat itu, saat tubuhnya berbalik arah meninggalkan Roy.  Saat itu juga justru Roy hanya bingugn, menatap kosong punggung kawannya itu saat dia beranjak pergi. Entah apa yang hendak dimaksudkan langit kepada Roy, Hati Roy seakan merasa tentram berada di tempat ini. Walaupun seakan ada pertarungan dalam hatinya. Pertarungan meluluhlantahkan kegelisahan. Ya, kegelisahan. Bagaiamanalah kegelisahan itu tidak berkecimuk di hatinya. Roy, bukankah selama ini dia adalah anak yang bebas. Melakukan sesuatu sesuka hatinya. Selama baginya itu adalah hal yang benar, maka seperti tidak ada orang yang bisa menghalanginya. Sekalipun badai-badai bersatu padu menghalanginya. Sedangkan di tempat ini, aduhai macan berada dalam kandang, penuh pengawasan.
Roy, bahkan tidak menyadarinya bahwa perkenalan itulah yang justru membangunkan hati kecil Roy. Maka, Roy bahkan tidak akan pernah menyadarinya, bahwa perkenalan itu justru adalah sebuah perpisahan yang tidak pernah diinginkannya.
***
Sore itu, di jemuaran atas asrama, Roy tak biasanya sedang asyik bercengkrama dengan kawannya, Aldo.  Maka, sore ini adalah momen yang tepat untuk memaknai kehidupan yang sesungguhnya dari kebijakan-kebijakan alam.
Aduhai indah sekali pemandangannya. Awan jingga bertaburan di kehampaan langit biru. Satu-dua ekor burng pipit memberanikan diri mendarat di tanah. Di atas sana, pertunjukan kawanan burung kowak di panggung langit berhasil menyihir Roy dan Aldo hingga mulut-mulut kecilnya tenganga. Burung-burung itu bak lukisan yang mencoreti angkasa. Sang raja dari kawanan kowak itu sigap memberikan komando kepada pasukannya yang lain. Dia tampak gagah terbang paling muka. Sekali ia berbelok, maka berbeloklah semuanya. Jika ia menukik, maka semuanya pun ikut menukik. Laksana panah yang akan dihembuskan ke jantung. Terlihat amat mendebarkan.
Sesekali burung-burung itu melesit ke puncak pohon-pohon angsana. Tetapi ketika dia kembali mengepakkan sayapnya untuk terbang ke angkasa kembali, terangkatlah senyum orang-orang yang berharap sang raja kowak itu hinggap di depan matanya. Dan dialah sang raja kowak. Hebat sekali menampilkan pertunjukan yang tiada banding di langit senja.
“Roy, Bolehkah aku bertanya kepadamu?.” Aldo tiba-tiba saja memecah keheningan.
 “Apa yang tidak boleh untuk kau kawan..hehe..!.” Sahut Roy dengan senyum yang ramah.
“Roy, Kau memang bukan orang-orang yang terbiasa hidup dengan penuh peraturan bukan?. Kau memang orang yang bebas. Kau tidak ingin diatur seenaknya bukan?. Kau tahu Roy, aku justru mengetahui ini ketika pertama kali kita berkenalan di depan kamar kita. Wajahmu Roy, guratan dahimu, Suaramu yang terbata-bata. Kau cemas Roy, kau khawatir, kau takut Roy. Kau ingat..?. Ah ya, tentu saja kau ingat Roy.”. Aldo tiba-tiba saja mengagetkan Roi.
Lenggang. Sempurna lenggang. Seperti ada yang jahil menekan tombol off sebuah suara. Roy kaget bukan kepalang dengan pertanyaan itu. Bagaimana Aldo tahu urusan ini?. Bukankah Roy selama ini berusaha menyembunyikannya?. Bukankah Roy selama ini berusaha membuatnya nyaman berada di lingkungan asrama?. Ya Tuhan. Roy terdiam. Raut wajahnya penuh dengan tanda tanya.
            “Bahkan, aku pun tahu Roy, apa yang kau pikirkan sesaat seteleh aku meniggalkanmu saat perkenalan itu. Kau yang semula takut, entah bagaimana datangnya penjelasan itu kau akhirnya merasa tentram bukan?. Hingga pada akhirnya kemudian aku tahu saat kau datang sangat terlambat memasuki aula itu. Kau datang ketika hampir usai penyambutan itu. Pakaianmu seadanya. Rapi?. Tidak. Bukankah sebelumnya aku sudah mengingatkanmu?. Bukankah pengumuman sudah jelas saat daftar ulang santri baru, lengkap dengan jam, tempat dan pakaian yang harus kau kenakan?. Bukankah sore itu pengumuman di speaker asrama berulang kali mengingatkan?”.
            Aldo menyeringai. Roy sekarang tidak mampu berkata-apa apa. Pikirannya semakin dihantui beribu pertanyaan. Bingung.
            “Ah..sudahlah Roy..Kau justru tertidur saat penyambutan itu. Padahal, kau hanya hadir 30 menit sebelum acara itu benar-benar usai. Bagaimana mugkin kau menyempatkan waktu untuk tidur dalam waktu yang sesingkat itu Roy?. Bagimana mungkin ku tertidur dalam acara yang seharusnya dipenuhi oleh perasaan gembira disambut sebagai santri baru kau justru malah tertidur.?”Aldo terdiam sejenak, menarik napas. Hitungan detik tetap melanjutkan kalimatnya.
“Tidakkah kau perhatikan Roy, saat penyambutan itu selesai, wajah-wajah kami tersenyum riang. Ah ya, bagaimana kau memperhatikan, kau kan sedang menikmati tidurmu?. hehe..”.
Aldo terkekeh. Lantas menatap wajah Roy dengan tajam. Tetapi, yang ditatap justru bermuka merah, seperti gunung api yang hendak mengeluarkan isinya. Roy mendengus sebal.
“CUKUP...!!. jangan kau teruskan..!!”. Roy berteriak. Tangannya sudah sedari tadi mengepal. Maka, saat melemparkan teriakan itu, tangannya sudah diayunkan ke arah Aldo. Aldo untungnya tahu apa yang hendak dilakukan Roy. Saat pukulan itu terayun, Aldo dengan tepat menghindar segesit mungkin, seperti aktor laga.
“Eiittss...tunggu Roy, kau perlu tahu Roy..!! Ada sesuatu yang aku pikikran darimu ketika itu Roy..!!. Kau anak yang hebat Roy..!!.”
Roy yang sudah siap dengan kepalan tangan berikutnya terdiam kembali demi mendengar kalimat tadi. Hebat?. Apanya yang hebat?. Bukankah dari tadi Aldo justru mengolok-ngoloknya?. Tetapi, entah apa maksud langit ketika itu, Roy justru terdiam. Hatinya yang semula marah tiba-tiba saja tenang. Roy sekarang terduduk membisu. Seperti ada sebuah maksud lain dari kalimat tadi yang harus dia dengar.
“Kau tahu Roy..saat yang lain sudah beranjak pergi dari aula, di ruang itu-yang kau sadari hanya menyisakkan kau. Tetapi, jika kau tahu, pada saat itu pula aku sedang mengamatimu dari balik jendela yang terbuka hingga kau benar-benar meninggalkan ruangan itu”.
Aldo teridam sejenak. Tatapan matanya semakin serius. Tubuhnya sekarang terduduk bersama Roy.
“Aku tahu persis Roy, saat kau terbangun dan kau begitu paniknya melihat seisi ruangan hanya tinggal kau seorang diri. Maka, saat kau hendak berlari melangkahkan kakimu keluar, kau menemukan sebuah gulungan kertas yang tejatuh di depan kursimu bukan?. Kau penasaran bukan?. Lantas kau membukanya. Bukankah begitu?”.
Hei..dasar pemalas..bangun dasar pecundang...!!. Tak tahu malu. Mau jadi apa kau nanti?. Mau jadi gelandangan?. Pengemis?. Mau jadi orang yang teraniaya?. Kau disini bukan diajar untuk menjadi seperti itu bodoh..!!. Dasar anak tak tahu diuntung...Pergi saja sana dari sini..!! hehe..” Aldo mengulang kalimat yang ada di kertas itu dengan sempurna. Lengkpa dengan mimik wajah yang sesuai.
“Oh ya, yang aku tahu, setelah kau membacanya, wajahmu terlihat begitu marah. Kau seperti menyumpahi seseorang”.
Aldo sangat bijak menyampaikan kalimat demi kalimatnya. Sementara Roy, hanya tertunduk. Diam seribu bahasa. Mulutnya seperti dikunci oleh kunci-kunci kebingungan. Bagaiamana dia tahu urusan rahasia ini.
***
“Ah ya, aku ingat. Saat itu adzan maghrib sudah berkumandang dari tadi. Kau lantas berlari meninggalkan aula itu. Tetapi, aku tidak melihatmu membuang kertas itu. Bukankah kau setelah membacanya tadi justru kau sangat marah Roy?. Tetapi mengapa kertas itu kau justru kau masukan ke dalam sakumu...?”. Aldo melenguh sejenak. Roy bingung ingin menjawab apa.
 “Baiklah tak usah kau pedulikan masalah itu Roy..!!." Aldo tetap saja melanjutkan, walaupun sejatinya itu adalah salah satu pertanda akan ditutpnya percakaapan ini.
"Oh ya Roy, setelah kau keluar dari ruangan itu, kau segera menuju masjid bukan?. Bukankah semua teman-teman yang lain sudah dari tadi berkumpul di masjid?. Kau tahu Roy?. Pertemuan pertama di aula itu, sesungguhnya hari itu adalah hari pengikraran segala peraturan di asrama ini. Ajaib bin hebat Roy..!!. Baru saja peraturan itu disahkan beberapa menit yang lalu, kau sudah melanggarnya. Kau datang terlambat ke masjid. Kau berhak mendapatkan hukuman itu Roy. Kau berhak mendapatkan pukulan rotan di telapak kakimu Roy”.
Matahari senja semakin membarat, kicauan burung-burung semakin melemah. Satu-dua kelelawar mulai bermunculan. Aldo yang sedari tadi tak henti-hentinya berucap semakin lama semakin terdengar bijaksana. Sementara Roy sudah pasrah-tidak bisa melakukan apa-apa selain mendengar semua rahasia yang selama ini disembunyikannya terbongkar. Oleh sahabat baiknya pula.
“Roy, Jika saja kau tahu, setelah kau keluar dari aula itu, aku justru masuk kembali ke dalam aula, mengecek tempat kau duduk tadi. Aku hanya ingin memastikan bahwa kertas itu benar seperti dugaanku, kau tidak membuangnya kembali. Bahkan, kau menyimpannya rapat-rapat bukan?. Dan tepat seratus persen, kau saja telat datang ke masjid, apalagi aku”.
“Oh ya Roy..seandainya kau perhatikan. Aku pun mendapatkan hukuman yang sama denganmu Roy. Bahkan lebih parah. Bagaimana tidak, Aku datang saat yang lain selesai shalat. Selain pukulan rotan, aku pun mendapatkan hukuman untuk membersihkan seluruh asrama. Hei bagaimana mungkin seorang anak kecil seumuran kita itu disuruh untuk membersihkan seisi asrama-sendiri dan hari pertama pula. Jika kau tahu Roy, Aku sama denganmu. Mengutuk semua perturan yang ada. Aku tidak kuat dengan hukuman ini Roy. Aku tidak kuat dengan aturan ini. Tetapi kau selama ini memberikan penjelasan yang rapi kepadaku Roy ”.
            Aldo lagi-lagi menarik napas panjang. Roy sekarang justru menatap lamat-lamat wajah Aldo. Roy penasaran. Penjelasan?. Penjelasan macam apa pula. Roy tidak pernah menasihati Aldo sekalipun, apalagi menggurinya. Selama ini Roy sangat menghargai teman dekatnya itu. Baginya, Aldo adalah sahabatnya yang paling bijaksana, cukup dewasa menyelesaikan beragam masalah. Baginya, Aldo justru adalah penjelas kehidupannya. Selama ini Aldo justru menjadi teman berceritanya. Bagaimana mungkin Roy justru menjadi penjelas atas kehidupannya?.
***

        Kawan, jika saja manusia mampu menduga-duga apa yang akan terjadi di waktu yang akan datang, maka manusia justru semakin mudah mempersiapkannya. Memilih-milih orang-orang yang akan mempengaruhi kehidupannya. Berusaha melakukan hal-hal yang tidak merugikannya. Menghindari hal-hal yang dapat merusaknya. Tetapi mengapa semua itu justru tidak pernah kita dapatkan seperti yang dirasakan oleh kebanyakan orang. Mengapa kehidupan ini penuh dengan misteri yang sulit dipecahkan?. Mengapa hidup ini justru penuh dengan lika-liku yang bermuculan?. Mengapa hidup ini selalu dirahasiakan?. Lantas, apakah dengan begitu kau lantas menyalahkan Tuhan tentang skenario yang dirahasiakannya. Bukankah dengan kita tahu rahasianya kita mampu mempersiapkannya dengan baik. Tetapi mengapa justru Tuhan membuatnya menjadi serba rahasia yang hebat. Tak seorangpun mengehatuinya. Bukankah Tuhan adalah Maha Perencana yang tiada banding, bukankah Tuhan Maha Kuasa atas seluruh isi langit dan bumi, bukankah Tuhan Maha Pengatur segala kehidupan.
            Itulah tabiat manusia. Seringkali menyalahkan segala hal-hal yang tidak dikethuinya dengan pasti. Itulah manusia yang seringkali hanya ingin merasakan kehidupan yang nyaman. Itulah manusia yang seringkali meyumpahi segala kejadian yang menyakitkan tanpa bercermin terhadap dirinya. Itulah manusia yang seringkali tidak mengambil pelajaran berharga dari kebijakan-kebijakan hidup. Maka, terkadang pertanyaan-pertanyaan yang selalu hadir dalam benakmu pun hadir dalam penjelasan yang tidak engkau kira sebelumnya. Lewat bencana yang menimpamu hingga kau mempu memaknainya. Lewat hukum-hukum alam yang membuka nuranimu. Lewat orang-orang dekat yang ada di sekitamu hingga mengetuk hati kecilmu. Maka benar, selalu ada maksud lain dari setiap kejadian. Ya, penjelasan itu selalu hadir dalam bentuk yang berbeda-beda.
            Dua jam sudah lelaki tua itu terduduk di samping pusara yang menjadi kenangan hidupnya. Suara jangkirk membusai di sekitanya, bersahut-sahutan membentuk irama nan indah. Memecah keheningan malam. Langit malam terkepung oleh bintang-bintang yang bertaburan. Kicauan burung hantu menggema suasana. Sementara air mata lelaki tua itu tiada habis-habisnya keluar. Sama seperti dua jam yang lalu, tak ada sepatah kata apapun yang diucapkannya. Tetapi pikiran dan hatinyalah yang saat ini berbicara. Menjelaskan bermacam-macam penjelasan kepadanya.
***
            “Ilaa jami’a tullab..hayya isti’daadan lita’alamu fil fasl..!.”(1) Speaker asrama berbunyi keras. Menggetakran seisi asrama.
Ustaz-ustaz sudah memperingatkan untuk bersiap-siap belajar malam bersama di kelas. Mengagetkan anak-anak yang sedang basyik bercengkrama di kamar. Satu-dua orang mengeluh, ‘ah belajar lagi’. Satu-dua orang tidak peduli, tetap melanjutkan obrolannya. Satu-dua orang bagai pasukan yang taat terdahap insturksi komandannya segera bersiap-siap sesegera mungkin. Satu-dua orang malah justru menirukan suara yang keluar dari speaker sambil mulut-mulutnya komat-kamit memperlihatkan ekspersi wajahnya yang sangat sebal dengan suara di speaker itu.
Barulah saat ustaz-ustaz berpatroli-mengelilingi setiap kamar, anak-anak segera bergegas siap-siap untuk belajar. Bagai pencuri yang terkejut aksinya diketahui orang. Anak-anak yang sedari tadi berleha-leha tidak mendengarkan instruksi di speaker asrama itu kalang kabut. Panik. Harus segera keluar kamar dalam hitungan tertentu saat suara ustaz berteriak-teriak menghitungnya.
            Roy justru sedari tadi sudah bergegas menuju kelasnya sebelum instruksi di spekaer itu menggaung seisi asrama. Sementara Aldo, justru ikut dalam golongan anak-anak yang justru asyik melanjutkan obrolannya. Tidak peduli walaupun sepaker asrama menderu-deru berulang kali. Tetapi saat itulah penjelasan datang kepada Aldo. Penjelasan itulah yang membuka rahasia yang selama ini Roy tutup-tutupi.
            Saat Aldo dan teman-teman yang lain terbirit-birit berlari ke kelasnya masing-masing, merasa ketakutan jika tidak segera keluar dalam hitungan yang sudah diteriaki ustaz untuk segera belajar malam. Entah lagi-lagi langit seperti bermaksud sesuatu kepada Aldo. Aldo keluar paling akhir dari kamarnya. Saat detik-detik terkhir hitungan itu mencapai batasnya, Aldo justru terhenti langkahnya karena menemukan sebuah gulungan kertas yang tergeletak begitu saja di depan alamari Roy. Seperti ada paku yang terparti di kaki dan lantainya. Aldo merasa ada sesuatu yang ganjil dengan kertas itu. Seperti kertas yang ia kenali sebelumnya.
            Aldo tidak keluar-keluar kamar hingga teriakan hitungan itu selesai batasnya. Pintu-pintu kelas sudah resmi ditutup. Tidak boleh ada seorangpun yang masuk. Jika ada satu saja yang ketahuan mencoba masuk saat pintu-pintu itu sudah ditutup, atau saat ustaz-ustaz yang berpatroli memeriksa setiap sudut kamar-memastikan tidak aada seorangpun yang ada dalam kamar-dan menemukan seseorang yang masih berada di dalam kamar, maka siap-siap saja hukuman sudah menyambutnya di depan mata.
            Saat-saaat mendebarkan itu terjadi. Ustaz-ustaz mulai berpatroli ke setiap sudut kamar. Berburu anak-anak yang tidak patuh dengan aturan main di asrama. Bagai detektif memecahkan masalah. Sedetail mungkin tak ada yang terlewat dalam satu saputan mata. Mata-matanya bagaikan elang membidik mangsanya. Tajam. Setajam pisau yang baru saja diasah.
            Tetapi Aldo justru tidak mau kalah dengan detektif-detektif itu. Saat ustaz-ustaz mulai berkeliling, bagai tikus melarikan diri dari mangsanya, Aldo langsung saja keluar tanpa sepengetahuan para detektif itu menuju kamar mandi terdekat. Sempurna. Ustaz-ustaz sama sekali tak tahu-menahu keberadaan Aldo. Malam ini sepertinya mereka tidak dapat menemukan mangsa.
            Aldo memanfaatkan kesempatan ini. Rasa penasaran yang membuncah dalam hati Aldo tidak lagi dapat dibendung. Perlahan demi perlahan kertas itu dibukannya. Walaupun tangannya gemetaran. Gugup. Antara penasaran dengan kertas yang sepertinya tidak asing lagi baginya dengan persembunyiannya dari detektif-detektif itu.
Sayang seribu kali sayang, persembunyiannya justru mengundang detektif-detektif itu menggunakan ketajaman indranya. Saat para ustaz sudah berbalik melanjutkan tugas berikutnya, saat itulah persembunyian Aldo terbongkar sudah. Aldo tercengang dengan isi tulisan itu. Kekagetannya membuat gayung kamar mandi jatuh ke lantai. Suaranya terdengar jelas.
Maka, kecepatan gelombang suara itu secepat kilat langsung mengaktifkan syaraf-syaraf indrawi para ustaz yang berpatoli tadi. Lubang telinga dengan sigap langsung menangkap gelombang itu. Hitungan sepersikan detik gelombang itu menuju pusat pengendali otak. Tanpa menuggu perintah, otak itu sudah bisa memerintahkan oragan tubuh yang lain merespons suara itu. Badannya sekarang sudah berbalik lagi. Matanya dengan tajam melihat ke arah sumber suara. Telinganya sudah siap menjelajah ke arah sumber suara. Kakinya sudah besiap tancap gas menuju sumber suara. Tangan-tangannya melambaikan ke ustaz lain mengajak untuk mengecek ke arah sumber suara. Mulutnya seperti mengeluarkan komat-kamit kecil ‘Aha akhirnya dapat mangsa juga’. 
“Ayoo...ada anak disana. tangkap anak itu, beri dia pelajaran.” Salah seorang ustaz memberi komando kepada ustaz yang lain.
Sementara Aldo, justru sekarang seperti tidak bisa merasakan apa-apa. Tubuhnya kaku. Aldo justru terduduk di lantai kamar mandi. Matanya sembab. Bulir-bulir air mata sudah membasahi pipinya. Isak tangis keluar dari mulutnya. Aldo tidak percaya apa yang baru saja dibacanya. Aldo sama sekali tidak menduga isi kertas itu. Benar. Ternyata kertas itu adalah kertas yang pernah beberapa waktu lalu dibaca Roy saat penyambutan dulu. Kertas yang   dahulu membuat Roy terlihat marah menyumpahi seseorang setelah membacanya.
Bukan kertas itu yang membuatnya terkejut. Tetapi, tulisan dibalik kertas itu. Tulisan yang sepertinya dikenalnya. Tulisan yang tidak perlu berpikir lama untuk mengetahui penulisnya. Benar. Tulisan Roy.
Dasar kawan tak tahu isi hati orang lain. Dasar kawan tak tahu derita anak sebatang kara di tanah perantauan. Tak berguna menjadi kawanku. Kau akan lihat anak sebatang kara ini akan berdiri di puncak kesuksesan di akhir nanti. Jika nanti aku menjadi orang pandai, akan kutemukan siapa yang menulis di balik kertas ini. Maka, di puncak kesuksesan nanti akan kusebut namamu dan aku akan membuatmu malu. Sungguh.
      Sebatang kara?. Kawan tak berguna?. Penulis di balik kertas ini?. Dibuat malu?. Ya Tuhan, apa maksud dari semua ini?. Mengapa urusan sederhana ini menjadi rumit.
            DEERRR....suara pintu seng terdobrak begitu keras.
            “Wooii...apa yang sedang kau lakukan disini..?.” Salah seorang ustaz membentak keras.
         “Maadzaa ta’mal fil hamaam?. Limaadzaa laa ta’lama  fil fasl?.” (2) Belum sempat pertanyaan pertama terjawab, pertanyaan dari ustaz lain sudah terlontarkan. Ya, bagaimana mungkin Aldo bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, meskipun sebenarnya pertanyaan itu tidak butuh jawaban. Tetapi, bukankah Aldo tidak bisa berkata apa-apa lagi setelah membaca tulisan tadi. Seluruh tubuhnya seperti tak bisa digerakkan sama sekali. Terduduk kaku. Terdiam membisu.
            “Ayooo..tarik saja anak itu..bawa dia keluar..Bukannya belajar, malah asyik membaca surat..jangan-jangan surat cinta yang kau baca anak bodoh..hehehe.!!”. Salah seorang ustaz membentak Aldo, menyeringai tawa menusuknya.
            Hukum tetaplah hukum. Peraturan tetaplah peraturan. Kertas yang dibaca Aldo tadi sudah berceceran entah dimana. Salah seorang ustaz yang tadi membentak Aldo, tanpa perlu penjelasan langsung merobeknya, menggeletakkannya begitu saja potongan-potongan kertas itu. Aldo sekarang sudah diseret menuju lapangan tengah, di hadapan para ustaz-usatadz pengeksekusi. Aldo sudah pasrah menerima hukuman apapun. Peraturan tetap saja peraturan. Aldo mengakui kesalahannya walaupun sebenarnya itu adalah hal yang penting untuk membangunkan kesadaran Aldo membuka hati kecilnya.
            “Angkat kaki kirimu..!.” Salah seorang ustaz pengeksekusi memerintahkan Aldo.
            CTAARRR... Suara rotan menempel kulit terdengar cukup kencang. Aldo mengaduh kesakitan. Tetapi apa hendak dikata, Aldo tidak bisa melakukan apa-apa selain menerima hukuman itu.
            “Sekarang angkat kaki kananmu...!.”
            Tanpa menunggu lama, Aldo sudah mengangkatkan kakinya. Lagi-lagi pecutan rotan itu menempel di telapak kaki Aldo. Wajah-wajah para ustaz pengeksekusi sumringah. Seperti puas mendapatkan mangsa untuk dihukum. Sementara Aldo hanya bisa menerima, sekaligus dengan suasana hati yang dirudung berbagai penyesalan.
Anak-anak yang lain, mana mungkin tahu urusan siapa yang kena hukuman ini. Percuma, kelas-kelas mereka jendelanya tidak bisa melihat ke arah  lapangan tengah asrama, tempat Aldo dieksusi. Ditambah lagi dengan pengawasan super ketat dari para ustaz yang menemani mereka agar tetap fokus belajar. Maka, mana mungkin anak-anak lain tahu bahwa malam itu ada seorang kawannya yang sedang kesakitan menerima hukuman atas kesalahannya. Termasuk sahabat dekatnya. Roy.
***
          Awan senja mengungkung langit. Matahari sudah hampir ditelang langit. Hanya hitungan menit. Kelelawar sudah banyak yang terbangun dari peristirahatannya. Murotal menggaung seisi asrama. Terdengar kecipuk air, pertanda anak-anak sudah mandi mempersiapkan diri sholat maghrib berjamaah di masjid. Sementara di atas jemuran  yang terbuka lebar ini, Roy dan Aldo masih saja asyik dengan obrolannya.
            “Bagiamana kau tahu semua urusan ini Aldo...? Bagaiamana Hah?.” Roy terisak ingin tahu.
“Bagaiamana kau tahu urusan kertas-kertas itu Aldo?. Mengapa kau memata-mataiku?. Mengapa?.” Roy berbicara lantang. Kedua tangannya dikibaskan ke arah Aldo. Layaknya seorang pembicara berorasi. Mengangkat kedua tangannya ke atas, menunjukan rasa ingin tahu yang mendalam.
            “Baiklah Roy..apa kau katakan tadi?. Mengapa aku memata-mataimu?. Aduhai Roy, kau itu adalah temanku, teman terbaikku. Itu yang aku rasakan ketika kita pertama kali berkenalan dulu. Mengapa?. Ya, setidaknya kau sama seperti aku, sama-sama ketakutan dengan aturan disini. Lagipula bukankah aku sudah menyampaikannya tadi. Kau adalah penjelas atas hidupku, bagaimana mungkin aku tega membiarkannmu kalah melawan aturan-aturan itu?. Kau memang hebat Roy. Dua tahun sudah kau mengajariku, sekalipun kau tidak menyadarinya. Tetapi aku banyak belajar darimu Roy. Sungguh.”
            Aldo semakin yakin dengan ucapnnya. Smentara Roy semakin dihantui dengan kebingungan.
            “Kau tahu Roy tentang kertas yang kau baca itu-yang setelah kau membacanya kau lantas marah, bersumpah ruah atas penulis di kertas itu. Tidakkah kau perhatikan Roy? Mengapa kertas itu terjatuh begitu saja di kursi yang ada di depanmu?. Tidakkah kau berpikir Roy?. Siapa yang duduk persis di depanmu?. Bukankah dengan begitu kau dengan mudah tahu siapa penulis di kertas itu?. Sederhana bukan?.”
            Roy semakin penasaran. Aldo tetap saja melanjutkan kalimat demi kalimatnya. Bertanya tentang hal-hal yang tidak dilakukan Roy dengan semestinya. Roy baru terpikirkan. Benar. Mengapa dia tak cari tahu saja siapa penulis di kertas itu. Dengan begitu Roy pasti akan tahu pelakunya, tidak perlu lagi menulis sumpah serapah di balik kertas itu.
            “Roy..Akulah orang itu. Akulah orang yang tepat duduk di depanmu. Akulah orang yang menulis di kertas itu. Akulah kawanmu yang paling jahat memaki-makimu di kertas itu. Sungguh. Akulah orangnya”.
            Langit sekan jatuh menimpa Roy. Roy  sama sekali tidak percaya bahwa orang yang ada di hadapannya sekarang adalah orang yang dahulu menulis di kertas yang disumpahinya. Dan orang itu adalah sahabat baiknya sendiri. Aldo.
            “Bagaimana..bagaimana kau melakukan itu Aldo..kau..kau....”. Roy berkata mencekik.
            “Maafkan aku Roy..Sungguh aku tak bermaksud seperti itu..aku..aku..”. Aldo terbata-bata. menahan air yang hendak keluar dari matanya.
            “Aku..aku hanya ingin mengajakmu agar kau jangan putus semangat melewati hari penuh aturan ini. Karena..karena kau dan aku sama Roy..Sama-sama  benci setengah mati dengan aturan disini. Aku hanya ingin kita saling menguatkan menghadapi ini semua. Sungguh”. Aldo berhenti sejenak. Mengambil napas.
            “Kau selama ini menganggapku teman yang bijakasana Roy. Mengaggapku teman yang lebih dewasa meyelesaikan permasalahan hidup. Tidak Roy. Aku justru belajar banyak hal darimu. Ternyata kau lebih hebat. Kau mampu mengalahkan kutukan aturan-aturan itu Roy. Kau melawannya. Kau sempurna melewati dua tahun ini dengan hebat. kau sama sekali tidak pernah melanggar aturan-aturan lagi setelah di hari kau tertidur di penyambutan itu. Sedangkan aku..ah, kau tahu sendiri kehidupanku selama ini. Aku justru menggengam erat ketakutanku akan aturan.” Aldo terus meneruskan kalimat-kalimatnya. Roy sekarang terduduk di hadapannya.
            “Oh ya Roy, kau heran bukan, sekarang kertas itu sudah tidak ada lagi di tanganmu. akulah yang tak sengaja menemukan kertas yang kau simpan itu di depan lemarimu sebelum kita belajar malam. Aku tahu seluruh isinya Roy. Tahu persis kalimat-kalimat yang kau tulis di balik kertas itu. Sayangnya, aku memang tidak beruntung malam itu, hingga para ustaz patroli pun tahu-aku justru bukannya belajar, malah berleha-leha membaca kertas itu. Dan seperti biasanya, lagi-lagi aku kena hukuman termasuk dirobeknya kertas itu. Roy, kau mengajariku lebih dari yang kau kira. ” Aldo terbata-bata. Kedua tangannya memegang pundak Roy yang terduduk di depannya.
              Beberapa menit, tak ada suara apapun yang keluar. Sendi-sendi Roy seakan remuk tak berdaya. Langit seakan runtuh menimpanya.
            “Ya Tuhan, apa yang kau lakukan, kau tahu semua rahasiaku Aldo. Hanya kau seorang yang tahu. Kau yang selama ini aku segani, kau yang selama ini aku hormati, kau yang selama ini aku hargai. Tetapi, mengapa kau melakukan itu semua Aldo?. Maafkan aku yang tidak bisa menjaga emosiku kala itu. Sungguh Aldo, maafkanlah aku.”
            “Tidak Roy. Aku yang justru minta maaf kepadamu.”
Air mata perlahan membasahi pipi Roy. Roy tertunduk tak percaya ini semua terjadi. Ah ya, sekarang Roy tahu, itulah sebabnya mengapa didirnya menjadi penjelas atas kehidupan Aldo selama ini.
Mentari senja perlahan bersembunyi. Di bagian langit yang lain bulatan rembulan muncul perlahan menawarkan ketenangan. Langit yang jingga perlahan menjema menjadi biru pekat pertandan petang berganti malam.
“Roy, terima kasih atas semuanya. Suatu saat nanti, kita pasti akan melihat betapa hebatnya kehidupan ini. Betapa indahnya kehidupan diluar sana. Betapa kuatnya kehidupan ini. Suatu saat nanti, kita akan melihat hal yang jauh lebih hebat. Kita pasti akan menemukan orang-orang hebat diluar sana. Sungguh kita akan memiliki semua kesempatan itu. Kita harus percaya kawan, semua bisa saja bermula dari ini, saat ini, disini. Maka, sebelum kita terlambat. Sebelum kita akan melihat cahaya keindahan diluar sana. Ada hal yang lebih penting yang harus kita lakukan. Perjuangan. Karena dengan itulah janji kehidupan yang lebih baik akan menjemput kita. Bukankah begitu kawan?”.
Aldo tersenyum sekarang. Roy pun demikian. Suasana manjadi lebih santai. Adzan maghrib sudah berkumndang. Wahai kawan, jika kau melihatnya dari ketinggian seribu meter dari atas sana, maka dua anak ini seperti titik yang memendarkan cahaya. Cahaya kebahagiaan.
***
            Esok paginya, seperti tidak ada yang penah terjadi sebelumnya. Aldo dan Roy melupakan hal-hal yang lalu. Hari itu adalah hari libur. Aldo yang genap berusia empat belas tahun itu sedang asyik membersihkan sepeda onthel miliknya. Tangannya bergerak segesit mungkin. Menyelinap di sela-sela gerigi. Matanya tajam melihat segala noda yang mengotori sepeda miliknya. Seember air di samping kananya disiramnya. Maka secepat kilat, sepeda tua kesayanggnya bersih kembali. Senyum simpul Aldo mengembang.
            “Hei..ayo bergegas, siapkan sepeda kalian. Kita akan jalan-jalan..!!. Aldo berteriak ke arah Roy dan teman lain yang masih berleha-leha di kamar. Tetapi mendengar seruan itu, raga mereka seakan tertarik keluar. Membawanya segera menyiapkan sepeda masing-masing. Aldo tentu saja dalam urusan ini menjadi komandan perjalanan.
            “Ayo..jalan..!!”. Aldo memberi komando. Sepedanya berada di posisi paling depan.
            Lantas sepersekian detik, saat pedal mulai dikayuh-jika matamu yang bangun tidur sekalipun melihat ini, kayuhan sepeda Aldo macam komet yang melaju kencang di angkasa. Bagai rudal berkecapatan tinggi. Membelah jalanan di depannya.
            Aldo mangatur sana-mengatur sini. Mengatur posisi sepeda teman-teman yang lain. Agar nyaman dipandang mata, itu katanya saat ditanya alasannya mengatur posisi sepeda. Nah kawan, jika engkau melihat rombongan ini seperti kawanan angsa yang sedang terbang membentuk formasi huruf ‘V’. Kendaraan lain yang ada di depannya seakan menyingkir. Memberi jalan kepada kawanan ini. Barulah sampai pada tikungan pertama. Sang komandan tanpa memberikan instruksi membelok. Para prajurit lain pun semuanya membelok mengikutinya. Seakan ada isyarat tersembunyi dari sang komando untuk berbelok.
            Entah mengapa hebat nian Aldo tahu urusan atur-mengatur posisi sepeda ini. Ah, apakah dia paham tentang teori ini. Bahwa kecepetan bergerak dalam formasi ini setidaknya menaikkan efisiensi paling tidak 71% dibandingkan dengan bergerak sendiri-sendiri.
            Sepuluh menit berjalan. Para prajurit sepeda ini pun tidak menyadarinya. Seakan jiwa dan raganya terbius dengan keasyikan megayuh sepeda di pagi hari. Maka, tibalah mereka di sebuah perempatan jalan yang cukup besar. Bukan. Bukan cukup besar sepertinya. Bahkan memang perempatan inilah yang terbesar dan teramai di kota ini. Orang-orang berlalu lalang kesana-kemari dengan kendaraan pribadinya.
            Kawanan sepeda ini tiba-tiba berhenti. Sang komandan Aldo menghentikan kayuhan pedalnya. Dia ternyata sedang hormat kepada sang jendral jalanan. Jendral yang mengatur gerak-gerik siapapun di jalanan. Lampu merah. Sang jendral menginstruksikan kepada sang komandan agar berhenti sejenak dengan isyarat lampu merahnya. Instruksi itupun berlaku untuk para prajurit sepeda ini.
Sang Jendral mengisyaratkan dengan angka-angka yang berjalan mundur. Enam puluh detik. Tiga puluh detik. Sepuluh detik. Lima detik. Dua detik. Satu detik. Akhrinya sang jendral menarik isntruksinya. Raut wajahnya berubah menjadi kuning. Tetapi itu tidak lama. Amat terlihatlah raut wajah yang segar dan ramah. Sang jendral lampu merah pun berubah menjadi hijau. Wajah-wajah pengguna jalan yang lain terlihat sumringah.
            Secepat kilat, sang komandan Aldo memimpin pasukannya agar melaju kembali. Tetapi semangatnya yang menggebu-gebu membuat pasukannya kewalahan untuk menyamai kecepatannya. Dia berada cukup jauh di depan. Formasinya untuk membentuk huruf ‘V’ kembali kurang sempurna, karena satu titik ujung telah mendahului di depan mereka dua puluh meter kurang lebih. Semua mata terfokus mengawasi jalanan. Memastikan kanan-kiri kosong tidak ada hambatan.
            Sialnya, ternyata akurasi itu belum tepat. Sebuah bis kota melaju dengan kecepatan tinggi dari arah kiri. Melawan instruksi sang jendral lampu merah. Kecepatannya bagaikan busur panah yang baru ditembakkan oleh seorang ahli pemanah. Sepersekian detik bus itu menghantam pemimpin perjalanan mereka. Aldo. Suaranya bagaikan guntur yang menghujam bumi. Seketika itu pulalah sepeda onthel miliknya terlempar cukup jauh. Bus itupun sontak menghentikkan lajunya. Berhenti tepat di tengah-tengah perempatan. Sang sopir yang dengan gugup setengah mati bergegas turun dari bisnya. Orang-orang menghardiknya. Beberapa polisi lalu lintas lantas langsung melerai. Kendaraan lain pun ikut menghentikkan lajunya. Menengok ke arah kerumunan. Sekedar ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Orang-orang bergegas berkerumun mengangkat tubuh Aldo. Darah bercucuran bak air bah yang tumpah di jalanan. Mereka hanya bisa bersitatap satu sama lain. Panik, takut, bingung, sedih, semua bercampur menjadi satu. Aldo tidak sadarkan diri. Terbaring lemah. Mereka saling memanggil-manggil namanya. Mencoba menyadarkannya. Tetapi hal itu seperti sia-sia. Tidak ada respons sedikitpun.
            Orang-orang semua panik. Seorang pemuda terlihat menelpon dengan telepon genggamnya. Dari intonasi suaranya dia seperti  sedang memanggil pertolongan. Entahlah. Mana sempat memperhatikannya. Barangkali dia sedang menelpon ambulan. Hanya beberapa detik. Pemuda itu segera menutup teleponnya. Lantas kembali ikut mengerumuni Aldo. Orang-orang seperti koloni piranha yang sedang berebut makanan. Tetapi bukan. Bukan makanan yang dikerumuni, Hal ini lebih penting. Jauh lebih penting. Sebuah nyawa. Ya, nyawa seseorang. Seseorang yang sangat Roy kenal perangainya. Seseorang yang sangat Roy segani, seseorang yang menjadikan Roy sebagai penjelas atas hidupnya.
            “Minggir..minggir..ada apa ini?”. Sahut seorang polisi. Ah, polisi aneh, tak perlu tanya seharusnya sudah tahu urusan besar ini.
“Hei, tanggungjawab kau supir sialan..!!”. Salah seorang pemuda berteriak kepada supir bis itu. Tangannya menarik kerah baju supir itu. Mengancamnya.
“Cepat panggil ambulan..!! Cepat..!! Ayo Cepat..!!”. Teriak seorang bapak tua sedang memerintah. Walaupun sebenarnya dia tidak tahu ingin memerintah siapa.
            “Hei..Aldo...!! Aldo..!! Innalillahi..!!.” Roy kaget bukan main melihat apa yang ada di depannya sekarang.
            Ah, semua benar-benar seperti tidak terkendali kondisinya, Saling memerintah satu sama lain. Saling bingung. Menangis. Takut. Saling mengucap. Saling memaki. Aduhai, semua tabiat orang-orang rasanya terlontarkan semua akibat kejadian ini.
            Apapun pasalnya, entahlah secepat kilat sebuah mobil ambulan datang dari kejauhan menghampiri kami semua. Dering sirine yang berirama menggetarkan hati kami semua. Hanya hitungan detik, ambulan itu tiba. Dua petugas ambulan secepat kilat berhamburan keluar. Lantas mereka sesegera mungkin mengangkat tubuh Aldo dibantu dengan beberapa orang, termasuk Roy dan teman-temannya. Pintu ambulan terbuka. Sang sopir masuk kembali ke dalam mobil. Seorang pemuda yang menelpon tadi memanggil Roy, memerintahkan agar Roy ikut bersamanya. Maka, tanpa pandang bulu, Roy tiba-tiba saja sudah berada di dalam ambulan. Tepat saat pintu ambulan ditutup. Ada sesuatu yang menyesakkan di dada Roy.
            Secepat kilat ambulan melaju dengan cepat. Sangat cepat. Sirine kembali dinyalakan. Ketegangan merasuk ke dalam mobil ambulan.
“ Ayolah..Sudah..jangan menangis..!. Semua akan baik-baik saja”. Pemuda itu berkata lirih kepada Roy.
Baik-baik bagaimana?. Tubuh kawannya ini berlumuran penuh darah. Tetapi apa yang bisa Roy lakukan. Hanya memandangi wajah seorang sahabat terbaiknya. Air mata sudah membasahi seluruh pipi Roy.
            “Mas..”. Roy terisak.
“Aku..aku takut..aku takut jika terlambat mas...” Roy tertunduk. Menyeka air matanya. Lantas menatap Aldo dengan penuh kehampaan.
 
***
            Hanya hitungan menit,  ambulan itu tiba di sebuah rumah sakit terdekat. Pintu ambulan terbuka. Supir bergegas membuka pintu belakang. Tiga orang perawat bergegas menarik tandu darurat stretcher ke belakang pintu mobil ambulan.
Kereta tandu itu melesat kencang melewati koridor-koridor rumah sakit. Tiga perawat itu berlarian secepat mungkin. Roy dan pemuda tadi kewalahan mengikuti gerak larinya
“Aldo...bertahanlah..bangunlah Aldo...aku mohon..!”. Suara Roy semakin parau memangil-manggil namanya.
Lagi-lagi tidak ada respon sedikitpun. Kaki dan tangan Roy gemetar, seperti kehilangan titik bertumpunya. Siapa pula yang tidak takut, cemas, melihat seorang sahabat dekatnya berlumuran darah tak sadarkan diri. Tetapi ketegaran ini, ketegaran inilah yang menguatkan Roy menerima apapun yang akan terjadi.
“Dok, aku mohon selamatkanlah dia”. Roy memohon kepada dokter setibanya di kamar ICU.
            Tak sepatah kata apapun keluar dari mulut dokter itu. Dia hanya fokus pada pasiennya. Gerakannya sangat gesit.
            “Mohon keluarlah nak, semua akan baik-baik saja.” Dokter itu malah meyuruh Roy keluar.
Alamak, bagaimanalah Roy harus keluar. Bagaimana mungkin seorang dokter tega memerintahkan Roy meninggalkan seorang sabahabatnya, dalam kondisi kritis pula.
“Ayo dek kita keluar..kita hanya mengganggu pekerjaan dokter. Biarlah mereka yang menanganinya. Semua akan baik-baik saja.” Pemuda itu tersenyum ramah, membujuk Roy agar segera keluar.
Entah atas alasan apa, luluhlah Roy yang semula bersikukuh tidak ingin keluar. Tetapi senyum ramah pemuda itu seperti memeberikan penjelasan bererti kepada Roy. Walaupun penjelasan itu sempat bertengkar dengan hasrat Roy.
“Sabar dek, berdoa saja semoga akan baik-baik saja.” Pemuda itu mencoba menenangkan Roy diluar ruangan.
“Duduklah..tenanglah..!.” Pemuda itu dengan tenang lagi-lagi membujuk Roy.
            Bagaiamanalah urusan ini bisa tenang, justru dengan duduk manis disini Roy semakin memikrimkannuya. Bulir kristal air tetap saja mengalir di matanya. Merekahlah sudah, bergelayut di pelupuk mata Roy. Perlahan bulir air itu menggelinding. Membentuk parit di pipi. Membentuk gurat kemilau di lesung. Tetas air itu terdiam sejenak di dagu. Menumpuk menjadi satu. Membesar. Dalam hitungan yang singkat, bulir itu terhujam perlahan ke lantai. Dan sempurna bulir air ini mengaduk-ngaduk hati Roy. Seolah Roy merasakan sakit yang diderita Aldo.
Entahlah, seperti ada ikatan persahabatan yang erat diantara mereka. Mungkin inilah kekuatan persahabatan. Melebihi hal-hal di luar ambang batas logika. Saat salah seorang merasakan sesuatu, seolah yang lain ikut merasakannya.
Dari balik jendela Roy mengintip Aldo. Tak kuat Roy melihat itu semua. Darah terus bercucuran. Dilapisi perban berapa banyak pun tetap menembusnya. Dokter-dokter itu terlihat tegang. Garis hijau di elektrokardiograf itu tak karuan lagi geraknya. Kadang naik-turun, kadangpula mendatar. Seperti tidak ada harapan lagi. Mata Aldo tertutup, tetapi entah ada keajaiban apa wajahnya terlihat damai, tenang.
            “Ya Tuhan..selamatkanlah kawanku. Kali ini saja. Aku mohon.”
***
Wahai kawan, di kehidupan ini, sejatinya memang terkadang ada hal-hal yang terjadi-yang tidak bisa dinalar dengan akal sehat pada umumnya. Seperti ikatan persahabatan ini.
Maka, saat kejadian yang mendebarkan itu tiba. Sempurna ikatan ini menjadi kuat. Semua teman-teman pasukan rombongan bersepeda tadi, dengan kecepatan dan waktu yang tidak bisa dinalar logika-tak dinyana telah tiba di rumah sakit ini. Padahal, paling tidak dengan mengendarai kendaraan bermotor saja dengan kecepatan 50 km/jam akan menghabiskan waktu 30 menit lamanya.  Apalagi dengan sepeda-sepeda tua bin butut milik mereka. Tetapi bagi mereka waktu yang dibutuhkan hanya cukup lima belas menit saja. Sepertinya sepeda-sepeda itu melesat bagai pesawat tempur F-16. Menderu membelah senyap. Menerabas aturan-aturan indah lalu lintas. Perfetto(3). Sampailah mereka di rumah sakit ini.
Sepeda-sepeda itu menerobos saja masuk ke dalam parkiran. Berhenti mengayuh pedal. Turun. Meletakkan begitu saja sepeda-sepeda itu di sembarang tempat dan pergi begitu saja. Tidak peduli sepedanya dikunci atau tidak.
“Hoii...sepeda parkir di sebelah sini, disana parkir mobil.” Petugas parkir meneriakinya untuk parkir dengan rapi.
Tak peduli, sekalipun banyak papan bertuliskan kendaraan harap dikunci. Sekalipun ada papan bertuliskan parkir mobil. Sekalipun ada papan bertuliskan agar parkir dengan rapi. Tetapi bagi mereka, urusan kemanan dan estetika kerapian parkir bukanlah yang diutamakan sekarang. Bagi mereka keselamatan temannyalah yang utama.
Tanpa sepatah kata apapun yang keluar dari mulut mereka, mereka terus berlari. instingnya sudah tajam untuk urusan ini pastilah ICU tempatnya. Bagian informasi, ah bodo amat, tak peduli. Orang-orang terlihat bingung menatap mereka. Bahkan para pasien yang sakit pun seolah melupakan sakitnya sejenak demi melihat kepanikan mereka berlarian.
“Aldo..mana Aldo Roy..Bagaimana keadannya?.” Toni, salah seorang teman Roy bertanya penuh ingin tahu tepat sesampainya mereka di depan ruang ICU.
Tanpa perlu dijawab, mereka langsung saja menyerbu pintu masuk ruang. tetapi tindakan itu langsung dicegah Roy.
“Biarlah Toni, semua akan baik-baik saja.” Roy tersenyum hangat, walaupun bekas tangisannya masih terlihat.
Roy pasrah menerima apapun keputusan langit. Dia berhasil menenangkan teman lainnya dengan senyuman itu. Senyuman kehangatan, layaknya seribu rembulan tersenyum. Mereka sekarang tertunduk pasrah. Apa yang mereka bisa lakukan selain berdoa keselamatan kepada Yang Kuasa?.
“Maaf nak. Teman kalian sudah tertidur tenang..!. Masuklah jika kalian ingin melihatnya.” Dokter itu berkata lirih beberapa menit kemudian setelah membukakan pintu ruang.
Tertidur tenang. Semua orang tahu itu bahasa halus yang digunakan untuk menyampaikan seseorang yang sudah kembali ke pemilik-Nya. Dan dokter itu sempurna mengatakannya dengan tutur kata yang sehalus mungkin. Itu artinya, Aldo sudah tiada.
Wahai kawan, sungguh kalian akan sangat terpukul hatinya saat mengetahui sesorang yang selama ini menjadi sahabatmu, tiba-tiba saja telah tiada.
Maka, saat yang lain masuk ruang untuk melihat Roy yang sudah tiada itu, Roy justru orang yang paling akhir memasuki ruangan itu. Roy hanya ingin menyampaikan ucapan terima kasihnya kepada pemuda yang tadi mengantarnya itu. Tetapi pemuda itu justru sudah tidak terlihat lagi batang hidungya, entah dimana. Orang-orang di sekitarnya pun tidak melihatnya. Roy lagi-lagi bingung. Entahlah barangkali ini adalah bagian dari pertolongan-Mu Ya Robb.
Tiada seorangpun yang bisa mengira semua kejadian ini terjadi.
***
Seorang laki-laki tua itu tetap saja tertunduk dalam-dalam di samping pusara kawannya. Hatinya selesai sudah berbicara. Ingatan tentang masa lalunya telah menjadi bagian dari perjalanan hidupnya. Ingatan itu terperangkap dalam satu ikatan hati. Sesuatu yang tidak akan pernah terhapus dalam ingatannya.
Malam itu, langit menjadi saksi atas perjalanan hidupnya. Barangkali Tuhan memberkati hidup Roy dengan pertemuan dan pertemanan yang hebat. Tidak mudah memang menciptakan persahabatan yang indah, sama tidak mudahnya seperti mencari koin di tengah samudra.
Maka, jika ada hal lain yang lebih hebat dari cinta, maka itu adalah persahabatan. Itulah persahabatan yang memang terkadang harus diuji dengan kehilangan. Itulah masa lalu yang mengajarkan kita pelajaran berharga atas kehidupan. Dari kejauhan semua kenangan masa silam itu tampak serba indah dan elok, puitis sekali, sedangkan ketika dijalani, tidak ada sesuatu yang istimewa dirasakan, tidak ada kesan yang mendalam. Semakin lama orang berpisah dengannya, semakin mengecil dan menciut pula gambaran yang tersisa bersamaan dengan bergantinya musim, bertukarnya tahun.
Orang tak lagi mungkin mengetahui masa lampaunya secara utuh. Yang dikumpulkan adalah fragmen-fragmen yang berserakan kemudian disusun dalam sebuah bangunan yang kelihatan utuh dengan alur logika yang cermat.
Masa lalu, tetaplah masa lalu. Bisa saja menganggap semua ini tak pernah terjadi dan berusaha melupakannya. Tapi tidak mudah membuang bayang-bayangan kelabu yang dicatat sejarah di masa lalu, sama tidak mudahnya bagi laki-laki tua itu melupakan persahabatan masa silamnya. Itulah masa lalu yang terkadang membuatmu rindu.
Walau kadang setiap merindu, seseorang berusaha menegarkan hati dengan merapal mantra semoga, dan berharap mantra itu mustajab mengembalikkan yang pergi. Tetapi itu hanya semacam doa, yang memeluk kehampaan. Tapi biarlah, sesekali waktu perlu mengajari cara tercepat meninggalkan masa silam, meski terkadang kita tidak yakin memori itu akan hilang begitu saja di hadapan kita.
Itulah sang waktu yang terkadang kejam-tidak ada kompromi darinya. Sesuatu yang telah terjadi, tidak akan pernah terulang kembali. Dia terus berjalan, memulai sesuatu yang baru, mengakhiri sesuatu yang telah terjadi. Menikam siapa saja yang tidak mempergunakannya dengan sebaiknya. Tetapi, menerbangkan siapa saja yang mengindahkannya. Itulah sang waktu yang mengajari laki-laki tua itu pelajaran berharga dalam hidupnya.
Langit malam terlihat indah di atas sana. Betaburan bintang gemintang yang membentuk formasinya. Maka, di malam itu, di bawah naungan cahaya rembulan. Sang purnama seakan menjadi bunga. Bunga kenangan yang indah atas perjalanan hidup Roy. Sinarnya seolah memantulkan memori ingatan puluhan tahun silam. Indah. Seindah senyuman seribu rembulan. (redza)


Note:
(1) (Arab) : Kepada seluruh siswa, Ayo bersiap unutk belajar malam di kelas..!
(2) (Arab) : Apa yang kau lakukan di kamar mandi?. Mengapa kau tidak belajar di kelas?.
(3) (Italia) : Sempurna


Cerita ini hanya fiktif belaka. Mohon maaf apabila ada kesamaan nama, latar, dan alur cerita.

Potret Kata Designed by Templateism | MyBloggerLab Copyright © 2014

Gambar tema oleh richcano. Diberdayakan oleh Blogger.