“Yah,
mana janjinya yah?. Katanya ayah mau beliin Ical sepatu baru kalau Ical juara kelas?.”
Ical. Anak usia sepuluh tahun itu merengek ke ayahnya.
“Ya
nak. Sabar sebentar lagi ya nak. Uangnya belum cukup. Panen ayah kemarin gagal.
Biasalah nak, tak tentu musim ini sekarang.” Sahut Ayahya.
“Ah Ayah..Ical kan malu Yah pake sepatu butut gini ke sekolah. Pokoknya Ical ga
mau tau, besok pokoknya harus punya sepatu baru.” Ical berkata ketus. Ucapannya
bagai sembilu menusuk hati, lantas masuk begitu saja ke dalam rumah.
Angin
malam sepoi-sepoi. Bintang gemintang tumpah ruah di langit nan hitam. Temaram
lampu di teras gubuk itu perlahan
masuk ke dalam hati Ayahnya. Hatinya seketika redup, merasa bersalah tidak bisa
memenuhi janji anaknya.
***
“Nak, ini bekal nasi tempe, bawalah
ini..!!.” Pak Mamat menyodorkan nasi ke anaknya yang mau berangkat ke sekolah.
Namun sayang, Ical justru bersikap
apatis. Sama sekali tidak melihatnya, apalagi menyentuhnya. Berjalan begitus
saja di hadapan ayahnya, tanpa merasa cium tangan pamitan.
“Ayolah nak, bawalah ini..!! Kau
nanti di sekolah kelaparan, tak bisa belajarlah nanti..!.”
Lagi-lagi
Ical tak peduli. Apa hendak dikata, sang Ayah tidak bisa memaksanya. Selama
istrinya meninggal tiga tahun lalu, Pak Mamat-lah yang pontang-panting
mengurusi anak satu-satunya seorang diri. Dini hari sudah bangun, lantas masak,
nyuci, pagi pergi ke sawah, siang pulang memasak untuk anaknya, berangkat lagi
ke pasar, menjual minyak wangi, sore menjelang maghrib pulang ke rumah, selepas
maghrib masak lagi, selepas isya mengajar ngaji di majelis, pulang malam,
tidur. Begitulah aktivitas kesehariannya.
“Ical berangkat..!!.” Hanya itu yang
terlontarkan. Selepasnya dia meringis memunggungi ayahnya. Seperti mendapatkan
ide baru.
Ya
Tuhan, maafkanlah Hamba-Mu yang tidak bisa membuat bahagia anaknya ini. Pak
Mamat bergumam lirih dalam hati
Benar saja. Rencana itu sudah
disusun rapi oleh Ical. Pulang sekolah, saat ayahnya pergi lagi ke pasar,dia
akan mengambil sedikit uang yang
disimpan ayahnya.
“Hati-hati
di jalan Yah..!!.” Ical berseru kencang sat ayahnya hendak pergi lagi ke pasar.
Tampangyna sekarang sumringah. Layaknya atlet-atlet profesional memenangi
kejuaran dunia.
Ical
tahu betul tempat ayahnya menyimpan hartanya. Ada di kotak kaleng hitam samping
kotak kecil merah di dalam laci lemari bajunya. Kuncinya?. Ah, itu lebih mudah.
Ada di atas lemari, di bawah topi jeraminya.
Bagiamanalah
dia tak tahu urusan kecil ini, setiap
malam Ical selalu berharap akan diberi sedikit
tambahan uang saat ayahnya pulang malam, walaupun sebenarnya setiap
pagi-sebelum berangkat sekolah selalu dikasih. Namun sayang, tak pernalah
harapan itu dia dapatkan. Lantas saat ayahnya menaruh uang hasil keringatnya di
kaleng ini. Memasang wajah paling memelasnya abad ini, berilah aku sedikit tambahan uang Yah. Begitulah sepertinya maksud
wajahnya.
“Cihuyy...uang
banyak gini peke umpet-umpetan segala sama anaknya sendiri nih si ayah..!!.
Ical berlonjak kesenangan. Mencium-cium sebagian uang yang diambilnya.
Sempurna.
Ayahnya tak tahu sema sekali kejadian ini.
“Yes, akhir pekan besok mau kubelikan
sepatu baru ah..!”. Ical berlalu begitu saja meninggalkan gubuk reot itu tanpa meninggalkan bekas kejahatan sedikitpun. Semua rapi seperti sedia kala.
Ayahnya
mana tahulah ada kejadian ini. Uang yang disimpannya di lemari kaleng
itu-recehan dan uang kertas bercampur baur macam gado-gado. Maka, tak tahulah
sedikit uangnya saja diambil. Ah, apalagi sempat mengeceknya. Setiap pulang
malam, di bawah lampu ruang yang remang, dengan mata yang mulai terkantuk
kelelahan, mana mungkin sempat memeriksanya. Jadilah, uang itu berpindah tempat
sementara ke pemilik yang lain.
Baiklah,
urusan uang ini tak diketauhinya. Tetapi ada hal yang tak diinginkan justru
terjadi. Pak Mamat, selepas anaknya menagih janjinya-badannya serasa tak enak.
Perutnya tak bernafsu lagi makan banyak, maunya muntah terus. Tubuhnya serasa
dingin, macam ada es di sekelilingnya. Pikirannya tak karuan lagi, setiap malam
bermimpi membelikan anaknya sepatu baru. Pagi hari di pematang sawah melamun
memikirkan sedang membelikan sepatu baru paling bagus, beli di tempat terbaik
pula. Di pasar pun sama. Juga di
majelis, melihat murid-muridnya memakai sandal jepit ke masjid, sandal itu
seakan berubah menjadi sepatu yang baru dibelikan tadi dalam lamunannya. Pun sama ketika memasukan uang ke dalam
kaleng hitam itu, uangnya terlihat seakan menggunung-menerawangnya bisa
membelikan apapun yang diinginkan anaknya.
Hei..kondisi
ini ternyata sama sekali tak diketahui anaknya. Pak Mamat membungkus rapi
kondisi ini. Seolah-olah sama sekali tidak terjadi apa-apa. Memasak, tetap
memasak. Bekerja tetap saja. Di sawah, pasar, majelis. Ah ya, tambah satu lagi
malah, di jalan. Di jalanan lebih tepatnya, menjual kacang rebus. Sore hari,
selepas dari pasar menjual minyak wangi. Dua hari sudah Pak Mamat
pontang-panting mencari rezeki plus
menyembunyikan sakitnya dari anaknya.
***
“Yah, Ical berangakat dulu. Assalamu alaikum.” Teriak Ical sambil
mengangkat tangannya dari halaman rumah tanpa merasa dosa sedikitpun. Tanpa
merasa perlu cium tangan pamitan ke
ayahnya. Tanpa merasa ada hal penting
yang ketinggalan.
“Heii..nak..bekal jajanmu
ketinggalan..!!”. Ayahnya ikut berteriak sesaat setelah kembali masuk ke rumahnya-menyadari
ada barang anaknya yang ketinggalan. Baru saja mengayuh sepedanya sepuluh
meter, teriakan itu menggema ke telinganya. Tajam sekali indra pendengarannya
urusan satu ini.
“Eh
iya yah..uang Ical ketinggalan..hehe...”. Sahut Ical saat kembali lagi ke
rumahnya, seolah wajanya menunjukan ekspresi manusia paling bahagia di dunia
mendapatkan uang ini.
“Belajar
yang benar nak..jangan kau pikrkan hal lain..!!”. Teriak ayahnya. Yang
diteriaki justru sudah melesat kencang dengan sepeda onthelnya lengkap dengan
sepatu lusuh miliknya. Tidak peduli dengan nasihat ayahnya.
Sesaat
Pak Mamat memandang kosong punggung anak kesayangannya. Ya Tuhan, maafkanlah Hamba-Mu yang tidak bisa membuat bahagia anaknya
ini.
Hanya
hitungan setengah dari satu kali putaran jam, Pak Mamat langsung saja mengambil
paculnya, lantas pergi begitu saja menuju sawahnya. Walaupun perasaan menyesal
masih menghantuinya. Walaupun dengan kondisi sakit yang ditahannya. Tetapi,
apalah artinya ini jika tak diperjuangkan demi anak tercintanya.
Matahari
pagi itu seakan tersenyum melihatnya, sementara matahari dan seluruh awan pagi
itu bermuram durja ke anaknya.
***
Baru saja tiga puluh menit
menginjakan kakinya di sawah, Mang Inong, tetangganya berlari tergopoh-gopoh
dari arah kejauhan.
“Mat..Mat..Ical Mat..Ical...!.” Mang
Inong terbata-bata sesampainya di depan Pak Mamat. Wajahnya panik dan
ketakutan.
“Ah, kau ini Nong, tenanglah
dikit..! Kenapa pula dengan anakku..?” Tanya Pak Mamat penuh rasa penasaran.
“Anakmu Mat..anakmu kecelakaaan
tertabrak bis..!!.:” Jawab Mang Inong yang masih dihantui kepanikan, ketakutan,
dan kebingungan.
Ya Tuhan, demi mendengar kabar itu,
organ tubuh dan tulang belulangnya seakan lepas. Sapi-sapi bajak yang ada di
sawah seakan membajak hatinya. Mang Inong yang kebetulan akan pergi ke pasar, melihat
langsung kejadian itu. Kepalanya berlumuran darah, tulang di tangan kananya
terlihat mennjol. Lantas segera memabawa Ical ke rumah sakit kota. Sampailah
dia di rumah sakit. Masih tetap panik, takut, bingung sampai lupa ayahnya tak
tahu kabar ini. Maka, bagai kilat menghujam bumi, melesatlah motor pitung itu
ke sawah ayahnya.
“Dimana anakku sekarang Mang?. Tanya
Pak Mamat. Tanpa merasa perlu dijawab, sekejap tangannya menarik tubuh mang
Inong.
“Kau
ikutlah dengannku. ke..!!. Ah ya, Nyalakan segera motor pitung kau Mang,
segera..!!.” Perintah Pak Mamat ba-bi-bu.
“Di rumah sakit kota Pak..!!”. Jawab
Mang Inong. Seketika itu pula, insting sebagai orang tuanya langsung aktif.
Benar. Rumah sakit kotalah yang paling dekat dengan sini.
Secepat
api melahap kayu, motor pitung itu melaju kencang membelah jalan. Hanya
hitungan menit, sampailah mereka di tujuan.
“Nak,
Ya Tuhan, mengapa kau bisa begini?. Bangun nak, lihat Ayah ada disini..!!.” Pak
Mamat terisak-langsung memeluk anaknya saat tiba di rumah sakit. Wajahnya berusaha
tersenyum hangat, walaupun sebenarnya menahan rasa sedih dan sakit. Mang Inong
hanya berdiri terharu menatap mereka.
“Bangun
Nak..Ayah ada disini...maafkan Ayah nak..!.” Timpal Pak Mamat. Senyum hangatnya
sekarang pudar digantikan dengan bulir-bulir air yang menggenangi matanya. Ya Tuhan, maafkanlah Hamba-Mu yang tidak
bisa membuat bahagia anaknya ini.
Sayang,
Ical tak kunjung sadar. Elktrokardiogram naik-turun-datar, tak karuan. Perban
mengelilingi sebagian tubuhnya. Gips melekat erat di tangan kanannya. Wajahnya
penuh luka. Pak Mamat hanya menatap kosong tubuh anaknya yang tak lagi berdaya
di hadapnnya. Kedua tanganya memegang pundak anaknya. Air matanya terus
mengalir, menetas, membasahi kasur pasien. Basah, sebasah hatinya.
“Mang..tak
apalah kau jika ingin pulang, biar aku yang menemani Ical.” Pak Mamat berkata
lirih. berusaha setegar mungkin.
“Tapi
Mat, bagaimana dengan...”
“Aih..sudahlah.
Tak apa, tak usah kau pikirkan. Biar aku saja. Lagipula tanggungjawabku. Kau
pulanglah sana, Istri dan anak kau menuggu kau di rumah.” Pak Mamat memotong.
Entah tiba-tiba saja ucapan itu keluar. Istri? Anak?. Ya Tuhan, engkau sudah
mengambil istri tercintaku, jangan kau ambil lagi anakku, permata hatiku ini.
“Tapi
Mat..”
“Sudahlah
Mang. Tak apa..!.”. Pak Mamat lagi-lagi memotong ucapannya, berusaha setegar
mungkin.
Tanpa
perlu disuruh lagi, Mang Inong membalikkan badan, ragu-ragu meninggalkannya.
Walaupun sebenarnya Istri dan anaknya sedang tak menunggunya di rumah, mereka
berdua sedang menengok orang tuanya di kampung halaman sana. Mang Inong sangat
paham kesedihan yang menimpa Pak Mamat. Itulah sebabnya, mengapa dia bersikukuh
menemaninya. Paling tidak bisa menghiburnya atau memabantu-bantu dikitlah.
***
“Nak, maafkan Ayah. Ayolah bangun
nak, Ayah ada disini.” Ucap Pak Mamat.
Dua hari sudah Ical berada di rumah
sakit, dua hari itu pulalah ayahnya yang setiap saat menemaninya. Terus mencoba
menyadarkannya. Celaka, Ical tak sadar-sadar. Detak di elektrokardiograf
semakin tak tentu maunya. Berkali-kali Pak Mamat memohon ke dokter agar bisa
membantu menyembuhkannya. Ya Pak, sabar.
Bapak berdoa saja. Kami akan terus berusuha semaksimal mungkin. Itu yang selalu
dokter jawab setiap Pak Mamat memohonnya.
Kabar ini menyebarlah sudah ke
tetangganya. Mereka bertanya-tanya Pak Mamat yang tak tampak batang hidungya
dua hari terakhir. Maka, berduyun-duyun mereka menjenguknya hari ini. Tetapi hanya
Mang Inong-lah yang berkali-kali datang menjenguknya, setiap hari, pagi, siang,
sore, dan malam.
“Ayolah Nak, bangun. Ayah ada
disini. Maafkan Ayah”. Ucap Pak Mamat lirih.
Jarum jam tak henti-hentinya
berdetak sama seperti tangis Pak Mamat yang tak henti-hentinya. Sakitnya pun
sama, tak kunjung baikan. Dia berusaha tetap menyembunyikannya agar tak
seorangpun tahu. Pagi itu, adalah hari ketiga Ical berada di rumah sakit.
Selama tiu pulalah Ical tak menunjukan perkembangannya, tetap tak sadarkan
diri. Mang Inong, seperti biasanya pagi-pagi datang menjenguknya.
“Mang, kau jaga Ical dulu, aku mau
keluar..!.” Pinta Pak Mamat kepada Inong yang baru saja tiba.
“Baiklah..!. Hati-hati..!.” Sahut
mang Inong dengan sigap.
Pak Mamat dengan bergegas langsung
keluar dari rumah sakit, meninggalkan anaknya untuk pertama kalinya selama di
rumah sakit ini. Tak biasanya, seperti ada rencana yang akan dilakukan.
Benar saja, Pak Mamat sekarang sudah
berada di rumahnya kembali. Bagai tikus lari dari kejaran kucing, gesit sekali
masuk ke dalam rumah. Entah tiba-tiba sudah ada di kamarnya. Perlahan lemari
pakaian miliknya dibuka. Kotak kecil merah-yang selama ini sangat dijaganya pun
perlahan dibukanya. Seakan berkilaulah hati begitu membukanya.
“Ya..aku akan menjual cincin
pertunangan ini. Maafkanlah aku istiku, demi buah hati kita tercinta”. Gumamnya
dalam hati.
Maka, sepelemparan batu, terjuallah
cincin itu. Cincin yang menjadi kenangan tak terlupakan bersama istri
tersayangnnya. Walaupun uang yang didapatkan tak seberapa. Paling tidak
cukuplah untuk membeli sepatu baru untuk anaknya dan membantu sedikikit biaya
pengobatan rumah sakit.
Secepat peluru yang ditembakkan
penembak terbaik. Tak perlu lama, selepas menjual cincin itu, Pak Mamat
langsung saja menuju toko sepatu terbaik di kota itu, membeli sepatu terbaik
pula di sana. Dia hanya ingin memberikan yang terbaik kepada anaknya sebagai
bentuk tagihan janjinya. Maka, dia pun meminta sepatu itu dibungkus kertas
kado. Di luarnya tertempel secarik kertas yang ditulis Pak Mamat sendiri.
Untukmu,
ananda Ical tersayang.
Maafkan
Ayah yang tidak bisa membatmu bahagia. Maafkan Ayah yang tidak bisa menepati
janji tepat waktu. Bangunlah Nak, ayah merindukanmu. Bangunlah Nak, ayah selalu
hadir untukmu.
-Ayahmu yang
menyayangimu sepenuh hati-
***
Siang
itu,matahari tak tampak hidungnya. Awan hitam tega sekali mengepung langit.
Perlahan satu-dua rintik air turun. Hanya hitungan detik rintik itu
menggandakan diri menjadi banyak tak terhitung. Di tengah rinik itu, angin
berderu kencang, menusuk siapapun yang melewatinya.
Pak Mamat tetap saja tegar melangkahkan
kakinya di tengah hujan itu. Tak peduli, walaupun badannya basah kuyup. Tak
peduli, tubuh tuanya menggigil kedinginan, ditusuk deru angin. Tak peduli,
walaupun sakit yang dialaminya masih menyelimuti tubuhnya. Tak apalah, apalah
artinya ini jika tidak dilakukan demi anaknya tersayang. Dia akan tetap ikhlas,
seperti hujan yang tak pernah menyalahkan langit.
Ssseettttt...Tiba-tiba saja semua
menjadi gelap.
***
“Pak, Bangun Pak. Ayolah..!. Lihat anakmu
sudah siuman.” Bujuk Mang Inong kepada Pak Mamat yang sekarang terabaring tak
sadarkan diri di ranjang sampaing anaknya.
Sejam lalu, di tengah derasnya
hujan, Pak Mamat terjatuh pingsan di halaman rumah sakit. Sontak, orang-orang
yang melihatnya langsung membawanya ke IGD. Termasuk Mang Inong yang kebetulan lewat hendak menuju
supermarket sejenak.
Dokter
bilang harus dirawat di rumah sakit. Tubuhnya perlu penanganan intensif. Ya
sudah, apa hendak dikata, Mang Inong memintanya dirawat satu ruangan disamping
anaknya. Tetapi melihat kado itu, Mang Inong langsung meletakannya di meja
samping anaknya berbaring.
Beruntunglah,
anaknya sekarang sudah siuman. Mang Inong yang sekarang kepanikan melihat ayah
dan anaknya dirawat di rumah sakit sama-sama tak sadarkan diri, tiba-tiba
dikagetkan oleh suara lirih yang dikenalnya.
“A..a..Ayah,
Ayah dimana..?.” Gumam Ical dengan suara yang serak.
“Ical...syukurlah
kau sudah siuman..!!.” Sahut Mang Inong tanpa menjawab pertanyaan Ical.
“A..ayah
dimana Mang?.” Tanya Ical lagi yang berusaha untuk duduk.
Tetapi
sebelum menunggu jawaban itu dilontarkan Mang Inong, Ical melirik benda yang
ada di meja sampingnya. Lantas mengambilnya,tersentaklah hati Ical membaca
tulisan diluarnya. Perlahan kristal air di matanya keluar.
Hujan
diluar sana semakin deras. Membasahi apapun yang dikenainya. Sama seperti hati
Ical, masih dibasahi dengan penyesalan.
“Di
samping Kau Cal. Sedang tertidur, sakit.” Jawab Mang Inong sambil menunjuk Pak
Mamat yang ada di ranjang sebelah.
Mendengar
itu, Ical berusaha melihatnya. Menolehkan kepalanya meskipun masih terasa
nyeri.
Ical
berusaha turun dari ranjangnnya, melepas selang-selang yang melilit tubuhnya.
Mang Inong berusaha mencegahnya, tetapi Ical semakin berontak, Mang Inong tak
bisa melakukan apap-apa lagi. Seketika terlepaslah segala selang-selang yang
melilit tubuhnya. Beranjaklah Ical ke ranjang Ayahnya dengan terseok-seok. Meskipun
menahan rasa sakit yang dialaminya.
“A..A..Ayah,
maafkan Ical Yah. Maaf. Ical sungguh menyesal telah mencuri uang Ayah.” Ical
terisak. Suaranya serak tertahan penyesalannya. Ical memeluk Ayahnya erat.
Seerat kasih sayang Ayah kepada anaknya.
Ya Tuhan, maafkanlah
Hamba-Mu yang tidak bisa membuat bahagia ayahnya ini.
Wahai
kawan, kalau kalian bisa melihatnya sendiri, kalian akan merasa terharu dengan
pemandangan yang ada di hadapanmu, Membuat kau perlahan menitikkan air mata.
Ya, seperti Mang Inong yang menangis terharu melihatnya. (redza)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar