Kalian pernah merasa kehilangan?. Hmm...kehilangan benda paling berharga
dalam hidup kalian mungkin-yang kalian sangat sayangi?. Pasti menyesakkan
bukan?. Wiihh, coba saja hitung tiap menit berapa banyak kalian memikirkannya?.
Walaupun yang lain bisa selalu tidur yang lelap,
tetapi kalian lebih memilih terus terjaga meski mata sebenarnya perlu tertutup.
Kalian terus saja memikirkannya padahal otak dan hati kalian perlu tersenyum.
Nah, apalagi kehilangan orang-orang
yang selalu hadir mengganggu pikiranmu. Duh, bak ada buldoser yang menggilas
tubuh. Awalnya kalian amat sangat merasa kehilangan, tetapi seiring bergantinya
waktu justru rasa kehilangan itu semakin tidak disadari hilang begitu saja.
Menguap bersama rangkaian kisah-kisah yang lain.
Tetapi bagaimana jika yang hilang
itu justru suatu saat kembali lagi padamu. Entah berbilang di waktu yang sama
sekali tak terduga di hari yang nanti. Atau hanya berbilang hitungan jam,
bahkan menit dia kembali hadir kepadamu. Membuat kalian terus terjaga lagi
sepanjang malam. Membuat kalian memikirkannya lagi setiap waktu. Berharap yang
hilang tak akan pernah lagi hilang.
“Kalau begitu kehilangan dan keberadaan itu, berbeda-beda tipislah.
Sama-sama bisa membuatmu memikirkannya sepanjang waktu.” Ucap Aki Nana penuh
takzim saat aku berkunjung ke rumahnya.
“Nah Nak bujang, kau pernah melihat bagaimana lautan melindungi terumbu?.
Seperti itulah kau harus menjaga apapun. Ah, apalagi urusan seseorang.”
Aku mengangguk kecil. Wajah nan tua itu selalu penuh semangat jika
memberikan petuah-petuah hebatnya. Jadilah petuah hebat itu merasuki siapapun
yang mendengarnya.
Siang itu, entahlah sudah siang
keberapa sejak bumi ini diciptakan-aku berkunjung ke rumah Aki di
desa sana. Dan entah sudah berapa banyak pula petuah-petuah hebat Aki yang
kudapatkan darinya.
***
Pagi yang cerah ini, seperti biasa
aku kembali mendapat tugas dari ibu, mengantar makanan ke tempat Aki di desa
sana. Semanjak nenek meniggal setahun lalu, Ibu selalu mengirimkan makanan untuk
Aki di akhir pekan. Menyuruhku yang selalu mengantarkannya
“Den, antarkan makanan ini ke kakekmu. Spesial ibu buatakan khusus
untuknya. Makanan kesukaannya, pastilah dia suka”. Seru Ibu menyuruhku.
“Ya bu, sebentar lagi aku berangkat,
taruh saja di meja depan, nanti kuambil.” Sahutku sambil mengulang kalimat Ibu
yang sangat kuhafal dengan mulutku yang komat-kamit mendengus sebal.
“Bu, Dena berangkat.”
“Hati-hati Den..sampaikan salam Ibu
untuk Aki.”
Tanpa menggapi teriakan Ibu, aku
sudah berlari kencang, menuju halte bis di jalan protokol kotaku.
“Biasalah Mang, Cihejo.” Pintaku
pada Mang Among, supir bis langgananku saat baru naik ke bis.
Tak perlu kuucap pun sebenarnya
supir ini sudah paham betul. Hanya modal tampangku yang kusut saja supir itu
sudah tahu tujuanku. Bagaimanalah tidak hafal, jika di hari dan waktu yang sama
aku selalu sengaja naik bis ini.
Sebenarnya butuh waktu kurang lebih satu setengah jam untuk benar-benar
sampai di rumah Aki. Sepuluh menit aku menunggu bis. Lima belas menit yang
lain, digunakan untuk berjalan dari tempat aku turun dari bis menuju ke rumah
Aki. Nah, 65 menit sisanya itulah waktu murni perjalanan menuju rumah Aki.
“Woi Den, apa pula urusan kau tiap
minggu ke Cihejo?. Ah, sampai bosan aku melihat tampang kusut kau.” Tanya Mang Among
memecah keheningan.
“Biasalah Mang, ada titipan dari Ibu
buat Aki di sana.”
“Oh..”. Mang Among hanya menjawab
pendek.
Suasana kembali lenggang, hanya
menyisakan deru mesin mobil.
“Ayo..Cihejo Cihejo naik..kursi
kosong, tempat duduk..!!.” Mang Among kembali bereteriak menawarkan tumpangan
ke orang-orang yang berdiri di tepi jalan. Nah, seperti pada umumnya sebuah bis,
kau pasti akan merasa sedikit sebal bukan jika kendaraan umum yang kau tumpangi
benar-benar penuh sesak, apalagi supirnya yang tetap terus menaiki penumpang
meskipun sudah jelas tak muat lagi ditumpangi orang.
Itulah Mang Among. Perkara menarik penumpang dialah jagonya. Hanya bilang
‘Tempat duduk tersedia’ ke calon penumpang, dia bisa menghipnotis siapapun yang
berdiri di tepian jalan. Membuat para penumpang pikir-pikir ulang lebih baik
naik ini daripada menunggu lama lagi. Itulah trik khas Mang Among.
“Yaelah,
katanya kosong, penipu banget nih si Amang.” Celetuk salah seorang penumpang.
“Woi Amang, sesak sekali nih bis. Berhenti
saja aku Mang”. Salah seorang penumpang lain berkeluh lagi.
“Mang, kalau begini caranya kita
bayar setengahnya saja”. Keluh seorang penumpang lain.
Mang Among mana peduli. Dia tetap cuek
saja. tak menghiraukan, bahkan sengaja sekali dia menginjak gas lebih kencang,
agar suara keluhan penumpang tak terdengar-kalah dengan deru mesin yang bobrok
bin berisik miliknya.
“Bentar ya neng, bentar lagi abang
juga nyampe kok, abang masih di mall nih.”
Celetuk seorang pemuda di sampingku mengangkat telpon genggamnya di tengah
keributan.
“Apa? Ramai?. Ah, biasa neng, mall-nya lagi ramai. Biasalah akhir
pekan. Eneng tunggu aja di rumah, abang lagi beli baju paling bagus buat neng
di mall”. Tambah pemuda itu.
Alamak, apa dia bilang?. Sedang di mall?. Baju paling bagus?. Ih, gombal
sekali. Bukannya pemuda itu baru saja naik dari pasar pakaian loak tadi, dia
bilang di lagi di mall, beli baju paling
bagus sejagad. Kalau saja ada batu disini sudah kusumpal mulutnya dari tadi.
Sebenarnya setengah sebal setengah
senang memang naik bis Mang Among. Sebal, karena keributan-keributan protes itu
yang selalu hadir dan sikap Mang Among yang cueknya bukan main. Senang, karena
musik yang dipilh Mang Among tepat sekali dengan seleraku. Lagu-lagu romantis
klasik. Diputar kencang-kencang pula. Jadilah perjalanan itu tak terasa.
“Yang Cihejo..Cihejo..Ayo siap-siap turun.”
Mang Among berteriak kencang mengingatkan penumpang yang hendak turun. Wih,
teriakannya bagai berbicara menggunakan seribu speaker. Seketika memecah keributan
penumpang yang masih protes.
Nah, sebenarnya ada satu lagi yang
membutku sebal, yaitu saat hendak turun yang susahnya bukan main melewati
desakan penumpang. Ah, apalagi penumpang yang masih kebawa emosi di bis ini.
***
Siang-siang bolong begini, aku
sampai di rumah Aki. Dengan peluh yang keluar bercucuran setelah sebelumnya
melewati hamparan sawah-sawah yang tercecer di kanan-kiri. Sungai-sungai jernih
layaknya rangkaian kabel-kabel di gedung besar, ada dimana-mana. Gunung dan
lembah yang menyisir pemandangan pedesaan. Awan-awan di atas desa yang selalu
tersenyum hangat. Begitu juga pohon-pohon yang terjuntai tingginya ke angkasa.
“Hei..lihatlah siapa yang datang?.
Cucuku yang hebat tiada banding” Sapa Aki saat aku baru saja tiba di rumahnya.
Aku tak menghiraukannya, langsung
saja menyodorkan makanan titipan ibu.
“Ayolah..kau pasti mau menemani Aki makan ini kan?. Kau tahu hambar Nak
bujang? Nah begitulah rasanya kalau makanan selezat ini hanya dinikmati seorang
diri.” Ujar Aki kepadaku.
Begitulah Aki, setiap kali aku
mengantarkan makanan untuknya, dia selalu menawariku untuk makan bersama.
Sebenarnya sih bukan menawarkan, tetapi lebih kepada memaksa. Apa mau dikata,
aku tak bisa menolak wajah tua yang penuh permohonan itu. Jadilah makanan itu
bukan lagi spesial khusus dibuat untuk Aki seorang, tetapi dilahap pula olehku.
“Tapi kau harus tahu nak bujang. Ah,
apalagi urusan seseorang, kadang setiap kehilangan sejatinya adalah keberadaan
yang tak disadari. Hanya soal sedang di lain tempat saja yang sama sekali tidak
kita sadari dia berada. Duhai bujang, jika saja yang hilang itu bisa berharap,
maka mereka akan terus menanggakan harapannya untuk kebaikan kau selalu, entah
lewat apapun dia berharap.” Aki tiba-tiba saja mengeluarakan ucapan sakti
mandragunanya setelah kami selesai makan. Itulah Aki, urusan petuah-petuah
hebat, dialah ahlinya.
“Nah bujang, Kadang kehilangan itu
seperti irama musik. Sesaat musik itu membuat kau terbius kenyamanan. Tetapi
jika lantunan itu terhenti, seolah tak bisa dinikmati lagi. Tumbang dengan
gelombang suara lain. Nah seperti itulah kehilangan, Jika ada seseorang yang akan
membuatmu merasa nyaman, maka kau akan terbius olehnya. Tetapi jika hal itu
lenyap seketika, justru akan membuatmu memikirkannya tak karuan, tetapi seiring
berjalannya waktu, kehilangan itu perlahan akan terlupakan. Bahkan terkadang
digantikan dengan hal-hal yang tak terbayangkan.”
Ruangan itu beberapa saat lenggang, hanya menyisakkan surau gemiricik air
di kolam ikan. Sebenarnya aku kadang tidak paham juga apa yang diucapkan Aki,
tetapi demi menghormatinya dan menjaga kewibawaanku-agar aku tidak disangka
lambat mikir, maka aku akan selalu menganggukan kepala lengkap dengan ekspresi
wajah yang sok paham begitulah yang aku tunjukkan.
“Ya Ki, aku paham. Pamit pulang dulu
Ki.”
“Woi nak bujang, hati-hati. Sampaikan
salam Aki buat Ibu kau di rumah.”
“Baikalah Ki”. Jawabku singkat
sambil melambaikan tangan.
Sudah waktunya aku harus pulang ke
rumah. Lembayung senja menguasai angkasa. Burung walet berkeliaran seperti
ingin menyerbu awan-awan. Matahari mulai tumbang.
Ibu, lihatlah anakmu ini, anak yang baru saja dapat petuah hebat dari
kakeknya. Kali ini tentang kehilangan sesuatu yang amat kita sayangi.
***
Sebenaranya tak kalah hebat
perjalanan pulang ini dibandingkan dengan perjalanan berangkat tadi. Lihatlah,
pemandangan pedesaan tak kalah indahnya. Surya jingga yang hangat terlihat
mulai bersemubunyi di balik bukit-bukit. Meyisakkan sedikit sinar yang
terpancar di sela-sela bukit. Air-air sungai jernih seolah berubah menjadi
orange akibat cahaya senja. Lihatlah pula di dahan pepohonan, burung-burung
berkicauan membuntuk irama musik nan indah.
Aku memasang wajah riang, menegakkan
badan di tepian jalan. Dari hulu desa tampaklah siluet benda kotak yang
perlahan bertambah besar mendekatiku. Tak lama bis tujuan pulang itu akhirnya
datang. Kali ini bukan lagi bis Mang Among, kerana sore hari gini dia sudah
pulang. Nyaman sekali rasanya menikmati suasana pedesaan. Ah, apalagi ditambah
penumpang bis yang tidak terlalu penuh seperti berangkat tadi.
Saking nyamannya, tak terasa
tiba-tiba saja mataku terpejam. Sial, baru saja terpejam, seseorang menepuk
halus bahukku.
“Aa..maaf bisa geser sedikit.”
Ah mengganggu orang tidur saja. Tanpa perlu membuka mata, aku sudah bergeser
mengikuti permintaanya. Kembali aku melanjutkan tidur.
“Woii..Perumahan Kota, Perumahan Kota. Siap-siap turun.” Teriakan supir
bis membangunkanku. Memang itu tempatku turun, tapi bisakah pelan saja
ngomongnya. Mengganggu tidur orang saja.
Gumamku dalam hati.
Baru saja berjalan sepuluh meter, aku merasa lebih enteng sekarang.
Enteng?. Yaelahlah, dompetku
tertinggal di bis. Reflekku bekerja supercepat. Berbalik badan, berlari secepat
kuda berlari. Sial, bis itu sudah tak tampak, hilang di kelokan.
***
Benar juga kata Aki, jika saja yang
hilang itu bisa berharap, dia akan berusaha memberikan kepada kita yang
terbaik. Sekarang lihatlah, seseorang yang duduk di sampingku tadi-yang menepuk
halus bahuku-satu dari dua orang yang mengganggu tidurku, sekarang berharap-harap
cemas. Wanita itu tersadar saat aku turun dengan rasa kaget bercampur sebal dan
buru-buru, menemukan dompetku terjatuh. Sayangnya, dia baru sadar saat aku
sudah berjalan sepuluh meter tadi, sedangkan bis sudah melesat kencang.
“Aa..dompetnya...Wanita itu
memanggil-manggilku.” Sayang, yang dipanggil sudah tak tampak lagi rimbanya.
“Aduh gimana ini? Dompetnya ketinggalan.” Wanita itu cemas.
Nasi sudah menjadi bubur. Bis sudah terlanjur jalan jauh. Mau turun lalu
berbalik arah naik ke tempatku turun? Terus jika sudah dikembalikan bagaimana
dia bisa pulang lagi? Jam sudah larut, mana ada bis lagi yang menaiaki
penumpang melewati jalan ini. Atau mau bilang ke supir untuk berbalik arah
sebentar. Tambah repot saja urusannya. Penumpang lain pastilah tak ada yang
setuju. Atau pilihan ketiga, tetep di bis memutuskan mengembalikannya di lain
waktu. Lagipula siapa tahu di dompet itu ada identitas alamat atau namanya
barangkali. Maka, wanita itu memilih opsi ketiga.
Jadilah aku hanya bisa berdiri termangu. Menatapi jalanan yang bising
oleh kendaran berlalu-lalang.
Sekarang aku baru sadar, petuah-petuah Aki memang benar. Kadang
kehilangan itu membuat seseorang memikirkannya sepanjang waktu. Bagaimana aku
bisa melupakan benda itu. Dompetku berisi uang yang sudah kutabung dari hasil
berjualan koran untuk biaya kuliahku nanti. Hanya satu yang sekiranya aku masih
bisa bersyukur. Untung saja tidak ada kartu-kartu identitas penting yang
kusimpan disana.
Aku hanya bisa pasrah. Berharap kebaikan akan segera datang kepadaku secepat
mungkin. Tak peduli siapapun itu.
***
Detik berganti menit. Menit berganti
dengan jam. Jam merangkaikan hari. Hari kembali dipecah menjadi detik. Tiga
hari sudah aku meratapi nasib kehilangan dompetku. Memikirkannya sepanjang
waktu. Harapanku pun tidak ada yang datang sampai detik ini. Baiklah kuputuskan
untuk kembali ke tempat Aki, pulang di jam yang sama, berharap naik bis yang
sama. Bertanya kepada supir perihal keberadaan dompetku. Jika tak tahu, akan
kulakukan jalan lain. Mencari tahu orang yang duduk di sampingku kala itu.
Kepada siapapun.
“Bu, pagi ini akau akan berkunjung
lagi ke tempat aki.”
“Hei..ngapain lagi kau kesana?. Baru
saja tiga hari lalu kau kesana!”
“Aki mengajakku membantu membersekan
rumahnya.” Jawabku beralasan.
Ibu hanya mengangguk pelan.
Tangannya sibuk memarut kelapa untuk masak nanti. Maka, Secepat penguin emperor
meluncur cepat ke permukaan, aku sudah bergegas meninggalkan rumah. Kali ini
tidak ada rantang makanan yang aku tenteng.
Kali ini berbeda, tak lagi bis Mang Among
yang aku tumpangi. Cukup menunggu lima menit, datanglah bis tujuanku. Kali ini
bis tidak penuh sesak.
Aku duduk di kursi paling depan. Berbeda sekali dengan Mang Among yang
sok akrab denganku. Supir ini pendiam sekali. Hanya teriakan untuk menawari
penumpang saja yang keluar dari mulutnya. Selebihnya, tak ada obrolan
basa-basi. Yang membuat ramai justru para pedagang asongan dan pengamen.
Tak terasa 55 menit perjalanan aku nikmati dengan tertidur. Entah apa
pasalnnya, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendekatiku.
“Aa..maaf..Aa yang waktu itu duduk di sampingku ya?”. Suara halus seorang
wanita membangunkanku.Wanita itu menepuk bahuku halus. Membuatku terbangun.
Kali ini entah apa pasalanya, aku tidak merasa terganggu olehnya. Hanya bingung
saja dengan pertanyaan itu. Berusaha mengingat-ingat.
“Ah iya, tak salah lagi, kaulah orangnya..!.” Tanpa menunggu jawabanku
dia sudah menarik kesimpulan. Senyuman manisnya merekah. Menyibakkan ujung
rambut yang bergelayut di dahinya. Matanya hitam bening, begitu bercahaya.
Wajahnya ramah, bersahabat. Sendu menawan.
“Kau yang tempo lalu kehilangan dompet kan?”.
Ah ya, aku baru sadar. Benar. Aku
telah kehilangan dompet, tapi siapa pula wanita ini?. Apa hubungannya?.
“Aku orang yang kala itu duduk di sampingmu.”
Lanjut wanita itu sambil menyodorkan dompet berhargaku, seperti tahu jawaban
pertanyaan yang ada di benakku.
“Maaf. Aku tidak bisa
mengembalikkannya langsung ketika itu. Bis sudah berjalan jauh. Lantas aku
memutuskan mengembalikannya di lain waktu, mencari tahu alamatmu. Tapi sayang,
sama sekali tidak ada identitas yang kutemukan di dalam dompet ini. Jadilah aku
tiga hari ini membawa dompet ini kemana-mana, berharap bisa ketemu pemiliknya
di bis jalur yang sama. Sungguh beruntung sekali hari ini akhirnya aku
menemukan pemiliknya.”
Hei
dengar, seorang wanita sendu menawan yang sekarang ada di hadapanku justru
menita maaf kepadaku. Sungguh betapa tidak berterima kasihnya aku. Justru aku
yang harus meminta maaf, merepotkannya-membuatnya membawa-bawa dompetku
kemana-mana
“Eh, iya. Bukan. Maksudku iya. Eh,
maksudku, aku yang seharusnya meminta maaf sudah merepotkan. Sungguh aku sangat
berterima kasih.” Aku berusaha mengendalikan kekakuan yang melilit tubuhku.
Wanita itu justru tersenyum sangat ramah. Gigi-gigi putih bersihnya
terlihat. Senyumannya menenangkan sekali, membuatku sulit untuk berucap. Sempat
aku bertatapan dengannya. Membuat percakapan tehenti beberapa saat.
Lihatlah,
pengamen di bis itu pas sekali dengan suasana ini-membawakan lagu klasik paling
romantis yang pernah ada. Gitarnya dipetik dengan merdunya. Suaranya indah
layaknya penyanyi papan atas. Pengamen itu layaknya seorang bujangan tempo
dulu, bernyanyi memainkan gitar di beranda rumah sang pujaan hatinya. Gagah
sekali. Membuat pujaan hati yang diincarnya klepek-klepek
jatuh hati. Seperti burung yang tertembak jatuh.
Sial. Baru saja pertemuan itu
mengembangkan bunga di hati. Dia sudah bersiap-siap turun dari bis. Sama sekali
belum sempat kubertanya alamatnya. Jangankan alamat, nama saja tak sempat
kutanyakan. Hanya satu yang bisa kulakukan saat ini, memperhatikan betul titik
dimana dia turun. Selebihnya, tak ada yang bisa kuingat selain kebaikan
hatinya.
Ibu, lihatlah anakmu yang satu ini.
Baru saja bertemu dengan seorang wanita yang menyenangkan-memekarkan bunga di
hati anakmu ini.
***
Sesampainya di rumah Aki, tak ada
sambutan selamat datang, lihatlah cucuku
yang hebat tiada banding seperti biasanya. Yang ada justru hanya omelan
darinya. Bunga yang baru saja mengembang di hati seketika layu.
“Hei..nak bujang, urusan apa pula
kau kemari?. Kau bilang apa kepada Ibu kau hah?. Membantuku membereskan rumah
yang berantakan?. Kau tidak lihat rumah yang selalu rapi ini?. Bual sekali kau
beralasan nak bujang. Ibu kau tadi telepon, memastikan kau benar kemari.”
Aku tertunduk merasa bersalah telah
berbohong kepada Ibu, walaupun sebanrnya ingin teratawa mendengar kalimat rumah
yang selalu rapi. Bual sekali selalu rapi, lihatlah siapa yang selalu merapikan
rumahnya saat akhir pekan. Aku.
“Sekarang kau mau apa nak bujang
kesini?. Tak ada makanan lezat. Tak ada petuah hebat. Nah, agar kau tidak dosa
berbohong, lebih baik sana beresekan gudang belakang. Alamak berantakan sekali
disana. Nah, kalau begitu tepat sekali bukan alasan kau.” Aki menyeringis penuh
kemenangan.
Aih, hebat sekali triknya. Baiklah
kali ini aku kalah. Menuruti perintahnya. Lagipula ada benarnya juga daripada
aku berbohong pada Ibu.
Hanya selama satu jam saja aku
membereskan gudang itu. Tak begitu sulit dibanding jika nanti berurusan dengan
ibu akibat aku berbohong.
Benar-benar kejutan. Tepat setelah aku selesai membersekan gudang, Aki
membawakan dua piring makanan. Aromanya mengoda selera.
“Hei Nak bujang kemarilah, makanlah ini, sengaja aku buatkan untuk kau
tadi. Ayam goreng sambal hijau lengkap lalapan yang kau suka. Aki persiapkan
porsi besar untuk kau”
Tak perlu meunggu diperintah dua kali, begai roket yang melesat, aku
sudah melahapnya.
“Hei bujang, maukah kau menceritakan urusan sebanrnya kepada orang tua
ini?”. Aki tiba-tiba saja memulai percakapan di tengah melahap makanan lezat.
“Tidak apa-apa Ki. Hanya menengok.”
“Hah? Apa kau bilang, macam orang tua tak bisa apa-apa saja aku ditengok
segala. Tak mungkinlah.”
Aku tak menganggapi. Hanya diam menikmati santapan ayam goreng.
“Baiklah jika tak mau bercerita, akan kulaporkan pada Ibu kau. bilang
bahwa kau telah berbual.”
Aku hampir tersedak. Hampir saja menelan tulang ayam mendengar ancaman
itu. Baiklah, pintar sekali Aki membujukku. Apa boleh buat, terpaksa aku bercerita
kepadanya. Tentang dompetku yang hilang ketika pulang dari kunjungan yang lalu.
Tentang keputusannku balik lagi kesini. Termasuk tentang cerita bertemu gadis
sendu menawan yang menemukan dompetku.
“Aih, apa kubilang nak bujang. Kadang kehilangan bisa tergantikan dengan
hal-hal yang tak terbayangkan. Kau sempat tanya namanya? Siapa? Siapa tahu
gadis itu menjadi pasangan kau?”. Aki menyeringai.
“Uhukk..” Kali ini aku benar-benar tersedak mendengarnya. Tanganku segera
mengambil gelas air yang ada di depanku. Apa Aki bilang? Pasangan?. Aih, tahu
namanya saja tidak. Bagiamana bisa menjadi pasangan.
“Aku tak tahu namanya Ki. Sungguh. Tak sempat aku bertanya.”
“Aduh, malang sekali nasib kau ini. Tak masalah, jika memang jodohnya,
kelak kau akan punya kesempatan lagi.”
“Uhuukk..” Aku tersedak untuk yang kedua kalinya. Melemparkan semburan
air yang baru saja kutenggak lagi ke arah Aki. Tetapi, Aki bagai aktor laga
profesional saja, menghindar tak terlihat.
“Kau perlu tahu satu hal nak
bujang. Hanya soal waktu saja semua akan hilang. Kembali kepada pemilik-Nya.
Ah, aku berharap tak secepat itu terjadi pada kau nak bujang.”
Langit-langit rumah lenggang. Lagi-lagi hanya menyisakkan suara gemericik
air di kolam. Awan senja menguasai langit. Sang mentari bersiap berbagi tugas
dengan rembulan-semakin membarat ditelan bumi. Lihatlah, ternyata Aki hanya
menakut-nakutiku. Bilang tak ada makanan lezatlah, tak ada petuah hebatlah.
Tapi lihatlah, kali ini aku menjadi orang paling beruntung di negeri ini.
***
Akhir pekan kali ini adalah hari
yang paling kutunggu-tunggu. Tak seperti biasanya yang justru adalah hari
paling menyebalkan. Melawan terik matahari. Menyaksikan kesesakan di bis. Kali
ini sungguh berbeda. Setiap malam aku selalu sulit tidur. Berharap akhir pekan
ini bisa bertemu gadis itu. Memikirkan percakapan yang terbaik seperti
misalnya, ‘Boleh aku tahu namanya?’,
‘Dimana tinggal?’, ‘Cuaca hari ini cerah ya, secerah senyummu’. Ah, sampai
tersenyum-senyum sendiri aku memikirkannya.
“Bu, mana titipan makanan buat Aki?.”
Tanyaku penuh semangat.
Badanku sudah sanagat wangi. Memakai pakaian terbaik pula.
“Tumben sekali kau bersemangat
mengantarkan makanan buat Aki. Macam mau lomba estafet saja, penuh semangat.”
Aku tak menanggapi. Ibu langsung
menyosor dengan kalimatnnya lagi.
“Akhir pekan ini, kau tak perlu
mengantarkan makanan lagi kesana. Aki yang akan berkunjung kesini. Dia bilang
akan tinggal dua pekan disini. Bentar lagi dia datang kesini, kau tungguah
diluar.”
Wangi
semerbak yang membungkus tubuhku seolah langsung menguap begitu saja mendengar
kabar ini. Hatiku seakan remuk. Bunga di hati yang hampir mekar seakarang mati.
Dua Pekan. Itu artinya, selama itu pula aku tak
punya kesempatan bertemu dengannya.
Aku berjalan terseok ke beranda
rumah. Pagi ini sayang sekali cuaca tidak bersahabat. Awan hitam mengepung
angkasa. Kilatan petir membentuk perakaran serabut di langit sana. Perlahan
butir air turun. Hanya hitungan detik, hujan deras turun. Membentuk genangan
air di halaman rumah.
Duhai hujan, jika saja engkau diturunkan sebagai tempat mengadu, maka
sunggguh aku akan menumpah ruahkan segala kesedihanku kepadamu. Tetapi tidak
bisa. Hujan tetaplah hujan. Dia menjadi bagian siklus alam yang tak
terbantahkan.
Tak lama seseorang yang
ditunggu-tunggu akhirnya datang. Berlari-lari di tengah derasnya hujan memakai
mantel.
“Hei, lihatlah. Cucuku yang hebat
tiada banding sedang menunggu kakeknya di tengah derasnya hujan.”
Tanganku sudah menjulur ke arahnya.
Bersalaman. Tetap memasang wajah kusut.
“Aih, nak bujang. Macam balita tak
diberi permen saja wajah kau. Alangkah kusutnya?. Bolehkah kau bercerita ke
kakek kau ini?.”
“Tak apa Ki.” Aku tak begitu peduli.
Tanganku sibuk membawa tas-tas bawaannya.
“Ayolah nak bujang. Aih,
jangan-jangan kau masih memikirkan gadis sendu menawan itu. Bermuram durja tak
ada kesempatan bisa bertemu dengannya. Aih, jangan khawatir. Kau nanti siang
ikutlah menemaniku ke pasar induk di desa sana, ada yang perlu kucari.”
Aku kaget bukan main. Tas-tas yang
kutenteng kuletakkan begitu saja di lantai. Apa dia bilang? Pasar induk di
desa?. Hei, bukankah itu satu jalur jika hendak ke tempat Aki. Itu artinya, aku
masih punya kesempatan bertemu dengan gadis itu. Wajahku seketika sumringah,
melamun memikirkan hal-hal yang menyenangkan akan tiba, hingga teriakan
menyeramkan menggema di kupingku.
“Woi nak bujang. Pemuda macam apa
hari gini melamun.Bawalah tas-tasku !”
***
Matahari siang ini seakan membakar
kota kami. Begitu panasnya. Awan-awan tak lagi berani menutup teriknya matahari.
Bis Mang Among melesat bagai desing peluru yang ditembakkan. Siang ini, aku dan
Aki duduk di kursi bagian tengah. Bis seperti biasanya penuh sesak. Mang Among
lagi-lagi memborong penumpang sebanyak-banyaknya. Matanya bagai elang membidik
mangsa, tajam sekali melihat calon-calon penumpang yang bisa dia kelabui.
Sesekali aku curi-curi pandang ke
tepian jalan, berharap gadis itu berhasil dibius Mang Among naik bis ini. Satu
kali bis berhenti, menaiki penumpang, sial aku tak mendapati gadis itu. Dua
kali berhenti, lagi-lagi tak juga aku melihatnya. Baiklah, aku tak akan
menyerah. Tiga kali berhenti, beberapa orang berkumpul di tepi jalan, melambikan
tangannya ke arah bis.
“Aki, lihatlah Ki. Lihat gadis itu.”
Aku menunjuk ke arah gadis itu. Senyumku mengembang.
“Woi..ganggu orang tua tidur saja.”
Aki tak peduli, ingin melanjutkan tidurnya lagi.
“Aki, lihatlah, gadis itu Ki, gadis itu.!.” Seruku. Kali ini sambil
menggoyang-goyang lengan Aki.
“Alamak, apa lagi? Mana gadis sendu menawan yang sering kau ceritakan itu
nak bujang?.” Kali ini Aki menengok-nengok ke luar jendela bis, melihat ke arah
yang aku tunjukkan.
Aki melongo.
“Bukan main. Sungguh bukan main cucuku yang hebat
tiada banding ini.! Kau pantas mendapatkannya nak bujang, kau pantas.” Aki
menanggapi penuh kagum.
Lihatlah, kali ini doaku terkabul. Sebuah kebetulan yang benar-benar
kebetulan yang menyenangkan. Diantara kerumunan orang-orang yang baru saja naik
bis-gadis itu, ya tak salah lagi, gadis itu berjalan tertunduk. Lihatlah, kali
ini dia mengenakan pakaian merah-terlihat anggun, bagai bidadari turun dari
langit. Memakai topi putih yang jika melihatnya saja bagaikan mahkota burung
rangkong, begitu memikat. Rambutnya terurai panjang-sedikit saja terkena angin,
melambai-lambai menawan seperti di film-film percintaan.
Senyumku seketika terlipat, bagai
garam yang dilempar ke laut, bercampur begitu saja. Hei, apa aku tak salah
lihat?. Lihatlah, dia membawa tas koper besar. Duhai rasa penasaran, hendak
kemanakah gadis sendu menawan itu?.
Bis sudah melesat kencang. Gadis itu
berdiri di bagian depan bis. Tak dapat tempat duduk. Tetap menenteng kopernya.
Gadis itu tak melihatku.
“Hei, nak bujang, kau pernah melihat
film-film percintaan bukan? Lihatlah gadis sendu menawan itu tak dapat tempat
duduk bukan?. Aku akan memberimu dua pilihan yang harus kau pilih salah satu.
Petama, kau tetap duduk manis disini, membiarkan gadis itu berdiri menenteng
koper yang beratnya bukan main hingga gadis itu turun. Kedua, kau mendekatinya,
lantas menawarkan tempat duduk padanya, mengorbankan kau yang berdiri menenteng
koper itu hingga gadis itu turun. Nah, kau hanya punya dua pilihan. Mau menjadi
pemuda yang tak tahu malu atau layaknya seorang pemuda tempo dulu yang gagah memikat
pujaan hatinya?. Cepatlah kau putuskan!.”
Aki yang sepertinya tahu betul
situasi ini memberikanku sebuah pilihan yang tepat. Baiklah, tak perlu lama,
aku memilih pilihan kedua. Apapun resikonya.
Aku membelah kerumunan orang-orang yang berdiri, bagai ksatria yang
berjalan di tengah kabut setelah memenangi peperangan. Begitu gagahnya.
Jarakku seakrang tinggal dua langkah
dengannya. Dia menoleh ke arahku. Tersenyum manis kepadaku. Lihatlah pengamen
yang menenteng gitar-yang sempat-sempatnya ngamen di tengah kesesakan
ini-menyanyi begitu merdu. Membawakan lagu paling romantis yang pernah ada.
“Aa..?.” Gadis itu terperanjat
kaget.
“Iya neng. Masih ingat kan?. Cuaca
cerah ya neng, secerah senyum Neng. Hmm..neng bawa apa? Emang Neng mau kemana? Berat
ya? Boleh aku bantu? Neng duduk saja di kursiku.” Tawarku. Dengarlah, aku baru
saja mengucapkan salah satu kalimat yang sudah kusiapkan jauh-jauh hari. Kali
ini aku tak akan kalah membuat gadis itu klepek-kelepek.
Lihatlah, Aku berhasil mencuri trik pemuda tempo dulu memikat pujaan
hatinya.
“Iya Aa. Eneng masih ingat. Makasih
pujiannya. Makasih juga sudah menawarkan. Tapi biarlah aku berdiri saja.
Sebentar lagi juga turun. Aku mau ke terminal kota Aa. Waktu berkunjungku ke
desa ini sudah habis. Dua minggu sudah aku habiskan waktu di desa ini. Sekalian menengok nenekku yang sakit.
Sayang, Aku harus pergi meinggalkan desa ini A, lagipula orang tuaku menyuruhku
segera pulang ke rumah. Desa yang menyenangkan ya!.” Gadis itu tersenyum di
akhir ucapannya.
Apa yang di bilang barusan?. Dia
menolak tawaranku. Apa yang dia bilang barusan?. Termianal kota? Dua minggu?
Menengok neneknya yang sakit? Meninggalkan desa ini?.
Langit-langit bis lenggang seketika.
Mendengarnya membuatku lunglai tak berdaya. Ban-ban bis seakan menggilasku.
Lagu paling romantis yang dibawakan pengamen di bis ini seakan berubah seketika
menjadi lagu-lagu paling melankolis sejagat.
Tak terasa waktu begitu cepat. Gadis
itu turun dari bis.
“Namaku Dina Aa.” Gadis itu menyebutkan namanya sebelum turun, meninggalkanku
yang berdiri termenung menatapnya. Hanya soal waktu saja dia akan pergi
meninggalkanku.
Ibu, dengarlah, gadis itu
menyebutkan namanya. Dina, hampir sama dengan namaku-Dena. Cantik sekali
namanya, secantik orangnya. Tetapi Ibu, lihatlah pula anakmu yang berdiri
termenung. Baru saja bertemu dengan gadis sendu menawan yang membuat bunga di
hati anakmu bermekaran, tiba-tiba langsung ditinggal pergi.
***
Kali ini, tak ada sepatah kata
apapun yang keluar dari mulutku. Disuruh membawakan barang belanjaan karpet
yang besar-besarnya pun, aku tetap diam. Ditraktir makanan ayam goreng lalapan
superpedas pun akau tetap diam. Diajak bergurau tentang cerita lucu pun aku
tetap diam. Diajak berbicara serius tentang gadis sendu menawan itu, aku tetap
diam.
“Aih, sepertinya ada gembok yang
mengunci mulut kau ya nak bujang?. Seharian tak ada kata sedikitpun yang
keluar. Aih, apalagi tertawa.” Celetuk Aki di bis ketika kami hendak kembali
pulang. Wajahnya menunjukan ekspresi sebal kepadaku.
Senja
menjelang petang kami akhirnya pulang ke rumah, setelah menghabiskan siang di
pasar. Senja tak lagi jingga. Cahaya mentari tak sanggup memanajang ke
permukaan tanah, begitu payah sekali menyinari bumi. Tak ada burung apapun yang
berani terbang. Awan hitam mencoreti langit. Sesekali terdengar deru guntur
menghujam bumi.
“Hei nak bujang, seperti tak pernah
mendengar petuahku saja kau. Camkan ini baik-baik nak bujang, kelak semua akan
merasa kehilangan. Hanya soal waktu saja. Tak perlulah kau cemas. Jika memang
gadis itu tepat untukmu, waktu akan mengajari kau cara terbaik untuk menemukannya.
Cepat atau lambat.”
Aku terdiam. Bukan terdiam karena
tak peduli, tapi karena kalimat yang baru diucapkan Aki membuatku tersadar. Ah
iya, benar Aki bilang, kelak semua yang ada di alam kehidupan ini akan kembali
pada Pemilik-Nya. Hanya soal waktu saja, yang ditinggalkannya merasa kehilangan.
Bulir hujan perlahan turun. Membunyikan
deras air yang terhujam ke permukaan bumi. Bis melesat cepat. Kembali melewati
sawah-sawah nan hijau. Sungai-sungai jernih yang mengalir lebih deras karena
hujan. Bukit-bukit pedesaan yang menjulang indah.
Sesekali bis berhenti, menurunkan
penumpang. Kali ini tak ada lagi curi-curi pandang ke bahu jalan sepanjang
perjalanan, berharap gadis sendu menawan itu berdiri. Tak ada lagi akting
menawarkan tempat duduk untuk gadis sendu menawan. Tak ada lagi lagu-lagu
pengamen yang super romantis di bawakan. Semua telah hilang, sama seperti debu
yang terkena siraman hujan.
Bis melewati terminal, dimana gadis
sendu menawan tadi turun. Aku, berharap dia sedang berdiri disitu, membatalkan
kepergiannya. Tapi sayang seribu sayang, harapan itu hanya semacam angan-angan
utopis belaka. Tak ada seorang pun yang berdiri disitu. Bis tetap berjalan.
Hanya saja melambatkan kecepatannya, berharap ada penumpang yang hendak naik
bis, walaupun rela-rela menunggu disaat hujan.
Saat itulah, saat harapan yang
kugenggam erat ingin kuterbangkan. Saat bis hendak menambah
kecepatannya-melanjutkan perjalanan. Saat hujan yang semakin deras mengguyur
bumi. Saat secara kebetulan sesekali kumelirik keluar jendela bis. Seseorang
tengah berlari, meneriaki bis yang kutumpangi-berharap bis itu berhenti.
Lihatlah seseorang itu, seorang wanita yang masih menjajah pikiranku. Orang
yang saat ini kuharapakan kehadirannya sekalipun semenit.
Gadis itu, ya tak salah lagi gadis sendu menawan itu yang sedang beralari
meneraiaki bis. Teriakannnya tak akan pernah terdengar, kalah oleh derasnya
hujan. Tetapi gadis itu tetap berlari membelah hujan. Hanya hitungan detik, bis
akan melesat kembali. Itu artinya, meninggalkan gadis yang tengah berlari dan
berteriak itu. Tetapi mengapa gadis itu ada disini?. Bukannya dia seharusnya
sudah pergi kembali ke tempat tinggalnya?. Ah, aku tak peduli.
Baiklah, kali ini tak ada lagi
pilihan yang ditawarkan Aki, Aki sudah sejak tadi tertidur pulas. Duhai gadis,
lihatlah sebentar lagi akan ada seorang pemuda gagah yang akan menjemputmu di
tengah derasnya hujan. Memberhentikan bis yang kau teriak-teriaki. Tak akan
membiarkanmu basah diguyur hujan lebih lama.
Secepat kilat yang menghujam bumi,
aku sudah berlari ke arah supir. Berteriak menyuruhnya berhenti. Bis seketika
berhenti. Sekedipan mata, aku langsung berlari keluar bis. Membiarkan tubuhku ikut
diguyur hujan yang deras.
Jarakku dengannya hanya tinggal dua
langkah. Lihatlah, gadis itu basah kuyup ditempa hujan. Dia kaget melihatku
yang berdiri di hadapannya. Tetapi dia tetap tersenyum manis melihatku.
Detak jarum seakan berhenti. Semua yang ada di bumi pun ikut berhenti.
Hanya menyisakan aku, gadis di hadapanku, dan derasnya hujan. Seakan dunia
hanya milikku berdua.
“Aa, maafkan aku. Aku tidak jadi
pergi. Orang tuaku sejam lalu menelponku. Mereka bilang, mereka akan tinggal di
desa ini, menyuruhku tetap disini. Mereka bilang, meraka akan menjual rumahnya
disana-kembali ke kampung halamnnya. Mereka bilang, meraka akan bekerja di desa
ini lagi. Ya, desa kelahiranku yang indah menyenangkan.” Gadis itu tesenyum
manis kepadaku, tak peduli meski hujan mengguyur kami berdua.
Aku terdiam. Dengarlah, Gadis itu
bilang dia tidak jadi pergi. Dengarlah, gadis itu akan tetap di desa ini.
“Aa..bolehkah aku tahu namanya?.”
Gadis itu bertanya halus kepadaku. Mengagetkanku yang terdiam tak percaya ini
semua terjadi.
“Dena, ya, namanku Dena.”. Jawabku
dengan gagah.
Lihatlah, gadis itu tersenyum manis
kepadaku. Meskipun langit dikuasai awan gelap, bagiku gadis itu tetap
bercahaya. Aki, petuah hebatmu lagi-lagi benar, terkadang kehilangan yang
memilukkan digantikan dengan hal-hal yang terbayangkan. Aki, petuah hebatmu
lagi-lagi benar, waktu mengajariku cara terbaik untuk menemukannya.
Ibu, lihatlah anakmu yang satu ini.
Sedang berdiri berhadapan degan gadis sendu menawan di bawah derasnya hujan.
Membuat bunga di hati anakmu bermekaran kembali. (redza)
*Catatan:
Aki : Kakek (Sunda)
Aa : Abang/Mas; sebutan
untuk orang (lk)yang lebih tua (Sunda)
-Calm aja bro, cuma imajinasi doang..hehe-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar