My Work

Keluh, Peluh, dan Luluh


           Bilamana dikau suatu saat mengetahui dan atau mengalami apa yang orang di belahan bumi lain bilang sebagai he’e nalu. Maka, kau sungguh akan merasakan bagaimana deburan ombak yang bergulung-gulung itu menghempaskanmu ke tepian. Tapi sang ombak, walaupun dengan gagahnya terus bergerak, dia bagaikan Cahrlie Caplin yang tak banyak bicara, tapi bergerak seperti mesin. Berederu-deru terus menggulung, membawa apa saja yang ada di sekitarnya kembali ke zona pertemuan kehidupan akuatik dan terestrial.
            Juga bilmana dikau suatu saat pernah atau bahkan melihat bagiamana bila batu, pasir, kerikil, semen, dan balok-balok kayu tak segan-segannya dipikul orang-orang yang begitu berjasanya membuat setinggi-tinggi dan semegah-megahnya bangunan, teapi ketika bangunan itu menjulang, tak secuil pun ada penghargaan yang diberikan atas para orang-orang ini.
            Atau bilamana dikau suatu saat melihat atau bahkan menjadi orang-orang yang dalam hidupnya berkarya melalui perpaudan antara kekuatan fisik untuk memperkokoh jiwa dan raganya dengan kekuatan pikiran untuk menyusun strategi yang pas dalam memukul mundur lawan. Dan sekiranya jika itu dikau, kau akan memahami bagaimana pentingnya ketika kau harus memanen energimu kembali, atau macam pula seperti refill cairan di tubuhmu dengan ion-ion yang penting untuk memperkuat jiwa dan ragamu.
Dan tak kalah hebatnya wahai dikau, jikalau kelak dalam perjalanan mengisi waktu dalam hidupmu, kau bahkan sempat menyabet sebutan sebagai Kep dan bahkan sekaligus sebagai engine specialict dalam sebuah ‘kapsul raksasa’ berteknologi layaknya jet tempur yang bergerak dengan lincah di poros-poros maritim.  Dan sungguh, kau akan paham betul bagaimana kapsul raksasa itu-yang dengan sonarnya begitu akurat mendeteksi target atau dengan jamming-nya yang menghalangi sonar-sonar pihak musuh. Dan keduanya sungguh layaknya ‘teknologi alam’ pita suara seekor Mexican Free Tailed­ Bat dalam menggunakan ecolocation-nya. Bahkan, dalam keluasan cakrawalamu tentang teknologi super canggih si kapsul raksasa itu, tak kalah pula dengan kepiawaianmu dalam mengarungi luasnya samudra-demi samudra. Tentang bagiamana dikau memahami rasi bintang gemintang, arah pergerakan angin, pergantian musim, juga rotasi dan revolusi bumi yang berpengaruh terhadap ini dan itunya di bumi, wa bil khusus-nya dalam pengaruhnya terhadap wilayah ‘perairan asin’ di muka bumi.
Duhai kawanku, harap maklum. Jika dikau menjadi salah satu dari itu semua dan menjalaninya dengan penuh kelapangan hati, maka sungguh beban berat seberat beton berton-ton pun mudah sekali dijinjing dan dijunjung tinggi, setingg-tingginya. Kawan, mohon sama-sama kita pahami, dengan segala keikhlasan dan kelapangan hati, udara panas sekalipun seolah-olah hanya menjadi angin yang sepoi-sepoi nan semilir di bawah pohon rindang di tengah hamparan sawah yang luas. Batu-batu besar nan berat yang hendak digotong, aih hanya seperti memakai batu akik yang paling tren sejagat, terlihat gagah lagi pongah. Benar-benar mulia. Amboi nian.
Maka, jangan tanya soal bagaimana peluh itu perlahan menetes dari pori-pori kulit. Jangan tanya pula soal bagaiamana makhluk bejat bernama keluh itu tersingkir dari keharibaan semangat perjuanganmu. Semuanya hanya bertekuk lutut di hadapan perjuanganmu. Tak lebih dan tak kurang, disadari atau tidak sama sekali.
Hei, soal keluh dan peluh makhorijul huruf-nya terdengar beda-beda tipislah, kaya ada manis-manisnya gitu kalau dilafalin dengan penuh kefasihan. Tetapi harap maklum kawan, kedua-duanya beda sekali maknanya, bahkan dalam kamus terakademis sekalipun. Kalaulah keluh menyoal ungkapan tentang kesulitan yang tiada henti-hentinya di umbar sana-sini, maka si peluh itu menyoal tetes demi tetes keringat yang keluar dari pori-pori kulit. Walaupun kedua-duanya berbeda makna, tetapi seperti ada hubungan yang orang akademisi bilang adalah istilah ‘kausalitas’, atau yang orang awam berkasta paling bawah semacam kita ini menyebutnya sebagai sebab-akibat.
Sederhananya, kalaulah keluh tak henti-hentinya diungkapkan, maka peluh juga susah sekali keluar menembus batas epidermis kulit sekalipun. Begitu pula sebaliknya, kalau saja keluh kita perintahkan berhenti dan bekerja dengan penuh keikhlasan dan kelapangan hati, maka tak enggan-engganya makhluk bernama peluh itu keluar dengan derasnya, layakanya debit air kran mengucur. Sekiranya mohon dipahami lagi bahwa peluh yang terkoneksi dengan kata benda bernama keluh itu, adalah tentang peluh perjuangan, peluh yang keluar bersamaan dan atau setelah tapak demi tapak perjuangan dan pengorbanan dilakukan. Jadi bukan soal peluh bagi orang-orang panas-dingin dan atau penyakit-penyakit lain yang ada hubungannya dalam ilmu medis dan yang aku sendiri pun tak memahaminya.
Dan karena aku tak memahaminya, dalam kamus paling sederhana sekali dan yang bisa jadi sama-sama digunakan oleh orang lain yang hanya menyebutkan seceara sederhana pula bahwa  makhluk halus bernama keluh itu tak pantas dan tak perlu hadir dalam romansa perjuangan hidupmu. Karena tak lain dan tak lebih, keluh itu hanya membuat hati semakin rusuh. Karena keluh itu membuat raga semakin menjadi musuh. Karena keluh itu membuat raut wajah semakin lusuh. Karena keluh itu membuat kesulitan semakin mengguguh.
Duhai kawan, tak mudah memang menjalankan sesuatu tanpa keluh. Juga menjalankan susuatu dengan penuh keikhlasan dan kelapangan hati. Bagai menapakkan kaki di atas air. Tetapi bagi kita selaku makhluk paling mulia, hal itu menjadi tantangan yang berat sekali dilalui. Amat berat. Tetapi jika bisa menaklukannya, tak segan-segan Sang Maha Segala-galanya mengangkat derajat kita menjadi orang-orang yang ridho atas segala nikmat yang diberikan-Nya.
Maka, bukan lagi ungkapan-ungakapan keluh yang terucap, tetapi seyum sumringah yang ada di wajah selalu mengecap. Taka da lagi gurat dahi yang terlipat, tetapi lagi-lagi senyum tak mau sekalipun berkhianat.
Dan tersenyumlah kawan. Terseyumlah kepada senja di langit yang merah. Tersenyumlah. Selimutilah langit dengan senyummu yang syahdu dan membuat rindu. Awan-awan biarkanlah berhembus bersama angin. Membuka jalan bagi sang surya untuk menampakkan diri yang terakhir. Lantas, biarlah keluh tenggelam bersamaan dengan tenggelamnya sang surya.
Tentu ini bukan lagi tentang bola bundar raksasa yang nun jauh disana. Bukan pula tetang kabut-kabut putih yang menggelayut di atas sana. Tetapi, tentang bulir-bulir perjuangan yang kemudian akan pecah membentuk butiran-butiran kristal nan elok bernama peluh yang juga akan membuat semua rintangan dan tantangan menjadi luluh.
Maka, jika dikau berada di tengah hutan rimba terluas dan tergelap sekalipun, akan ada beribu-ribu kunang-kunang kecil yang terbang memendarkan cahayanya-membantumu mencari jalan terbaik-yang jikalau kau melihatnya dengan mata telanjang, layaknya cahaya rembulan di langit yang pekat. Sungguh, tak akan terhitung nikmat Sang Pencipta dalam menunjukkan keindahannya.

Juga jikalau otak dan hati manusia macam kita yang bebal ini tak kunjung memahaminya. Maka, pahamilah bahwa di sudut bumi sana, masih ada orang yang tak seberuntung dan sebahagia kita-yang bahkan hingga detik ini saja masih merasa iri dengan hidup kita yang begitu beruntung. Tetapi mengapa kita masih saja tetap memperkuat simpul bernama keluh?. Yuk, mari kita sama-sama belajar melepaskannya hingga semuanya menjadi luluh. [R]

Potret Kata Designed by Templateism | MyBloggerLab Copyright © 2014

Gambar tema oleh richcano. Diberdayakan oleh Blogger.