My Work

Melukis Senja

Senja membungkus pantai. Langit mulai gelap, lembayung jingga tenggelam dibawah horizon. Satu-dua burung layang-layang terbang berputar-putar di atas birunya laut. Melenguh menambah senyap suasana. Di atas sebuah bukit di tepian pantai seorang laki-laki paruh baya berdiri mematung. Tatapan matanya hanya menatap ke satu titik. Di bawah sana. Menatap matahari senja yang hendak pergi. Matanya melebar. Takzib terhadab pemandangan yang sangat indah ini.
“Yah...ayah lagi ngapain sih yah?, kok dari tadi ngelamun terus, ayah lagi ngeliatin apa sih..?”. Suara seorang anak laki-laki kecil memecah keheningan.
“Sst....!!”. Seorang laki-laki paruh baya menempelkan jari telunjuknya di depan hidungnya.
“Ah..ayah..apaan sih yah?, pake sst sst-an segala..!!.
“Kemari nak..Ayah ingin memperlihatkan sesuatu..!!”.
Tak banyak bicara, bergerak seperti angin, anak kecil berusia sembilan tahun itu secepat kilat langsung menghambur ke ayahnya.
“Nak coba dehlihat matahari itu. Indah ya?. Bulatan merah itu perlahan-lahan hilang ditelan bumi”.
 “Wooww..!!. Ekspresi takjub keluar dari wajah Izzudin. Matanya melotot. Mulutnya mengaga lebar. Raganya seolah melayang mengikuti ketakjubannya.
“Hei nak, dibalik keindahan itu, ada suatu Dzat Yang Maha Pengatur di atas sana. Dzat yang memberikan keindahan kepada apapun yang diaturnya”.
“Indah ya Yah..!!. Yah Ayah, Zuddin bisa ga ya Yah kalau melihat keindahan ini di tempat lain?”. Anak kecil berambut ikal dan berkulit hitam legam itu bertanya dengan polosnya. Cahaya matahari senja seakan semakin menentramkan mendengar pertanyaan itu. Deru ombak menggulung, saling berlomba-lomba mencapai tepi pantai demi mendengar jawaban yang akan dikeluarkan oleh sang Ayah. Burung camar berkicau membawakan irama yang tertarut, seakan seperti kumpulan pemain orkestra yang mengiringi percakapan ayah dan anak ini.
“Benar nak..Sungguh indah. Dengarkan ayah nak..!!. Ketahuilah Suatu saat nanti keindahan itu Zudin pasti akan menemukannya tidak hanya disini. Suatu saat nanti, Zudin pasti akan menemukan keindahan itu dalam bentuk yang lain. Tempat dan waktu yang jauh lebih hebat dari ini. Bahkan Zudin akan tahu makna dari keindahan itu”.
Izzudin tampak tidak mengerti apa yang baru saja dikatakan ayahnya. Dia hanya bisa mengangguk pelan. Menutupi ketidakpahamannya. Barangkali untuk saat ini dia belum memahaminya, tetapi suatu hari nanti kalimat itu seakan menjadi kenangan yang tak akan pernah terlupakan. Sungguh tak akan pernah.
***
            Tampaklah buku pelajaran Pengetahuan Alam teletak di atas setiap meja siswa. Semua siswa dalam kelas ini sedang sibuk membukanya. Tidak. Bukan membukanya yang tepat. Lebih tepatnya membacanya. Seorang Ibu guru dengan gagahnya berdiri di depan kelas. Berbicara layaknya seorang penceramah. Menjelaskan ini-itu. Memperagakan gerak tubuhnya, menunjuk gambar-gambar orang berpakaian unik yang ada di dinding kelas. Berbicara lagi. Menunjukan siswa membaca bukunya. Berbicara lagi. Menulis di papan tulis hitam di depan kelas. Berbicara lagi. Sudah. Hanya siklus itu yang dilakukannya. Mulut guru itu berkomat-kamit tiada henti. Semua siswa seperti terbius dengan suasana. Konsentrasi penuh mendengar penjelasan guru. Tidak ada yang berucap sedikitpun. Pandangan mata hanya kepada satu titik. Guru.
            Eh tidak, tidak semua siswa memandang pada satu titik. Ada yang ganjal di tengah keseriusan para siswa. Satu orang membuat kacau suasana keseriusan kelas. Izzudin, si bocah yang dicap teman-teman lainnya sebagai anak yang paling acuh itu tengah sibuk membolak-balikan sebuah buku. Tunggu. Itu bukan buku mata pelajaran Pengetahuan Alam.  Bukan. Ada bebarapa buku yang ada di atas mejanya. Dua. Bukan dua. Lebih dari itu. Tiga. Juga bukan. Empat. Ya, ada empat buku yang ada di depannya.
Guru menjelaskan dia hanya sibuk buka buku ini. Baca. Buka buku yang lain. Baca lagi. Tutup buku ini. Baca buku itu. Ah kesibukan ini lantas memeceah konnsentrasi teman-temannya di kelas. Lantas, sang guru pun merasa terganggu dengan kejanggalan ini. Maka, seperti kilat yang menghantam bumi dengan cepatnya. Sebuah kapur papan tulis terlempar ke arah Izzudin.
            “Zuddin..PERHATIKAN..!! Apa yang sedang kamu lakukan..??. Lihat ke depan..!!”. Guru itu berteriak dengan nada yang cukup keras. Menambah keheningan kelas. Bukan karena keheningan keseriusan belajar. Bukan. Keheningan ini karena ketakutan para siswa mendengar teriakan tadi. Lantas guru itu pun segera menghampiri Zuddin. Ingin mengetahui apa yang sebenarnya sedang dilakukan oleh anak berambut ikal itu.
            Maka, dengan kecepatan tangannya, Izuddin berusaha menyembunyikan semua buku-buku yang baru saja dibacanya. Hanya menyisakan buku pelajaran Pengetahuan Alam di atas mejanya tetapi kecepatan itu tidak bisa  mengalahkan kecepatan langkah guru ini. Dia bergerak menghampirinya bagaikan seekor elang yang sudah sigap mencengkram mangsa. Gerak-gerik Izuddin menyembunyikan buku-buku tadi sudah tertatap tajam olehnya.
            Lima detik. Sampailah guru ini di hadapan Zuddin. Zudin terpaku di hadapannya. Membisu. Takut akan dikenai hukuman. Melihat tatapan matanya saja. Oh menakutkan. Maka sempurna sudah ketakutan itu menjalar ke dalam seluruh tubuh Zuddin.
            “Kemarikan buku itu..Ibu ingin melihatnya..!”.
            Perdebatan batin Zudin terjadi sudah. Bingung antara memutuskan dua pilihan. Memberikannya atau tidak. Jika memberikannya, maka tamatlah riwayat buku-buku itu yang tidak akan pernah kembali. Jika tidak memberikannya, ah hukuman pasti didapatkannya.
            “Buku apa Bu..? yang mana?”. Zuddin mencoba menutupi-nutupinya. Tetapi percuma saja. Guru itu tidak mau kalah. Dia bagaikan detektif yang siap mencari masalah di sudut terkecil sekalipun.
Maka, tibalah saat dimana kekuatan itu muncul. Kekuatan yang selama ini dia pendam. Menunggu waktu yang tepat untuk mengeluarkannya. Kekuatan yang mengantarkan dirinya pada kebebasan untuk menyampaikan pendapatnya. Kekuatan yang menjadi penyelesaian atas segala kebimbangan yang bertengkar di hatinya.
            “TIDAK BU..!”. Teriakan itu menggema di dalam ruangan ini. Sontak semua anak terbengong menatapinya. Bagaimana mungkin anak yang selama ini acuh tak acuh justru bersuara dengan begitu lantangnya. Kepada seorang guru pula. Ah, memang benar sesuatu itu tidak semudah bisa ditebak hanya dari satu sisi. Atau barangkali inilah yang dinamakan teori ketidakpastian.
            “Ibu, saya ingin bertanya satu hal”. Itu bukan kalimat tanya yang terlontarkan. Lebih tepatnya pernyataan yang mamaksa untuk dijawabnya. Ya, tanpa memberi kesempatan unutk guru itu mempersilahkannya. Dia langsung bersua kembali.
            “Bu, tempat dimana kita berdiri ini sungguh sangat hebat kekayaannya, Ibu memang paham apa saja kekayaan yang bisa diambil. Sungguh sangat paham. Tetapi bagaimanakah kekayaan itu kita kelola dengan baik, agar anak cucu kita mampu menikmatinya?”.
Hei..pertanyaan itu berbobot sekali. Mustahil bagi siapapun. Anak seusia ini bagaimana mungkin bisa terlontar pertanyaan seperti ini. Tetapi, dia memang mengeluarkannya. Pertanyaan itu, Kalimat itu. Paling tidak pertanyaan seperti ini keluar pada tingkatan sekolah mengengah atas, atau barangkali saat menginjak bangku perkuliahan. Ah, barangkali ini pun bagian dari teori ketidakpastian.
Pada kenyataannya, pertanyaan itu tidak ternyana keluar dari mulut bocah ini. Guru itupun tampak bingung menjawabnya. Bagaimana mungkin dia bisa menjawabnya. Toh, bukankah selama ini dia hanya menghafal inilah-itulah. Apalagi siswa yang lain. Bukankah mereka pun sama, hanya disuruh mendengar-menghafal, mendengar-menghafal, dan mendengar-menghafal. Guru itu berusaha mengalihkan pertanyaan itu. Menutupi kebingungannya.
            “Sudah. Kemarikan buku itu. Perhatikan ke depan. Jangan banyak tanya..!”
            “TIDAK...Jawab dulu pertanyaan saya Bu..!”
            “Izuddin...JANGAN MELAWAN..!”
            Ruangan terasa semakin panas. Siswa lain semakin heran dengan keadaan ini. Satu dua anak saling berbisik. Satu dua anak hanya menonton. Satu dua anak yang lain mencoba menenangkan Izuddin. Selebihnya, anak-anak lain hanya duduk manis acuh tak acuh.
            Bagaimanapun, Izuddin tetap tidak setuju jika guru hanya menjelaskan kekayaan negeri ini dengan kita disuruh mendengarkan penjelasannya-yang entah itupun bisa dipahaminya. Ah itu membuatnya  tidak bisa bertindak secara nyata.
            Muka merah padam yang sempat keluar dari wajah Izuddin makin lama semakin pudar. Ah, sudahlah tidak banyak yang bisa dilakukan oleh anak sekecil ini. Rumus pasrah dengan segala bentuk keterpaksaannya akhirnya keluar. Buku itu diberikannya. Dia siap menerima segala resikonya. Hatinya geram sekali dengan guru yang satu ini. bukankah seorang guru seharusnya menginspirasi anak didiknya untuk bertindak secara nyata. Tidak hanya berkutat pada penjelasan-penjelasan yang membosankan.
***
 Tibalah saatnya, kejengkelan itu sudah saatnya berubah menjadi tindakan yang nyata. Izzudin telah membuktikannya. Waktu yang tiada hentinya selalu berjalan. Tiga bulan setelah kejadian itu, segala kreasi apapun dibuatnya. Mulai dari gelang yang dicoret-coret dengan tulisan ‘Save our earth’, ‘Love our culture’ membuat poster-poster yang ditempel dimana-mana tentang ajakan menjaga kekayaan pada alam negeri ini, Bahkan dia membuat suatu perkumpulan kecil dari beberapa teman-temannya. Dia ajak teman-temannya mengelilingi daerah sekitar kabupatennya. Maka, dari situlah banyak pelajaran yang didapat ketimbang belajar di kelas. Mereka mengenal tentang budaya daerah lain yang berbeda, bahasa yang berbeda, keindahan alam yang beragam, makanan khas yang berbeda-beda, perangai suku yang berbeda-beda.
Semua ternyata tidak hanya dilakukan sekali dua kali. Hingga dia menginjak usia dewasa pun tetap dia lakukan. Seorang anak berambut ikal yang dahulu bersikeras melawan gurunya yang hanya bisa menjelaskannya secara membosankan, seseorang yang dahulu berambut ikal dan berkulit hitam legam, seseorang yang dahulu dikenal sebagai anak yang acuh tak acuh, seseorang yang dahulu sering membaca ‘buku-buku lain’ saat pelajaran berlangsung. Tidak ada seorang pun yang menyangka masa depan telah membawa anak ini menjadi seseorang yang cukup dipandang di negeri yang  indah ini.
Sekarang. Empat puluh tahun kemudiaan.Tidak ada yang mengiranya. Dia telah menjadi bagian dari orang-orang penting di negeri seribu kebhinekaan ini. Seorang pakar lingkungan. Menjadi penasihat lingkungan di mana-mana, guru besar di sekolah-sekolah tinggi. Ditambah lagi, kini di telah diangkat menjadi Menteri Lingkungan Hidup di negeri yang kaya ini. Ah, barangkali lagi-lagi itulah teori ketidakpastian. Tidak bisa diprediksi semudah membalikan telapak tangan.
***
Semburat cahaya senja melukis langit. Beberapa burung layang-layang meliuk-liuk di atas kehampaan langit biru. Deru ombak yang merdu seakan membentuk suatu birama musik instrumental yang menenetramkan, matahari bersiap-siap bersembunyi di bawah horizon-berbagi tugas dengan sang rembulan. Seorang laki-laki berdiri mematung di tepi pantai. Suasana ini persis seperti dahulu Izuddin menanyakan untuk pertama kalinya tentang keindahan kepada ayahnya puluhan tahun silam.
Ternyata benar. Saat dahulu Izuddin diberikan sebuah nasihat  dari ayahnya bahwa suata saat nanti ia akan menemukan keindahan lain, di tempat lain, entah dalam bentuk yang lain pula mungkin saja dahulu dia belum memahaminya, tetapi senja ini-di hari ini-kalimat yang dahulu sempat terucap oleh ayahnya itu benar akan menjadi kenangan yang tak akan pernah terlupakan. Sungguh tak akan pernah.
Karena di senja ini, di tempat dia berdiri saat ini. Dia telah menemukannya. Menemukan jawaban akan makna keindahan itu. Makna mengapa ada banyak perbedaan yang membuat semua itu menjadi indah. Mengapa ada banyak kekayaan yang membuat semua itu menjadi indah. Makna mengapa keindahan itu harus tetap terjaga sampai kapanpun. Semua telah terjawab. Ayah, kalimat dahulu yang engkau pernah engkau ucapkan ternyata benar apa adanya. Terima kasih Ayah. (redza)

Potret Kata Designed by Templateism | MyBloggerLab Copyright © 2014

Gambar tema oleh richcano. Diberdayakan oleh Blogger.