Salah satu icon Malaysia |
Ketika awal masuk
kuliah, aku sempat menuliskan mimpiku untuk bisa pergi ke luar negri. Entah
dalam urusan apapun. Mimpi-mimpi itu kemudian aku tempelkan di dinding kamarku.
Kala itu banyak sekali mimpi-mimpi yang harus kutaklukan selama kuliah, salah
satunya bisa menginjakkan kaki di luar negeri. Aku tak tahu alasanku mengapa
aku menuliskan mimpi itu. Rasa-rasanya ingin saja, taka da alasan apapun selain
keinginan itu sendiri. Lantas, kutiliskan pula target waktu dimana aku harus
meraihnya. Ketika itu, mimpiku untuk bisa ke luar negeri kutargetkan berada
pada tahun ketiga masa perkuliahan.
Waktu semakin berjalan
dan lambat laun satu persatu mimpi-mimpi yang sempat kutulisakan tercapai,
sebagian yang lain pun Tuhan masih menundanya, termasuk mimpiku untuk
menginjakkan kaki di luar negei. Waktu semakin berjalan dan tak terasa tahun
ketiga perkuliahan pun terlewati dan mimpiku untuk bisa pergi ke luar negeri
pun belum sempat tercapai. Ketika itu aku percaya bahwa Tuhan masih menunda, karena
aku percaya yang terbaik buat kita belum tentu itu baik bagi Tuhan, begitupun
sebaliknya. Ketika itu aku percaya bahwa ketika kita memanjatkan do’a, memohon
mimpi-mimpi kepada Tuhan, saat itu pulalah doa dan harapan itu menyelusup ke
Arsy Tuhan untuk Dia setujui atau Dia ganti dengan yang lebih baik. Sama sekali
tidak Dia tolak. Tuhan tak pernah tidur dan Tuhan selalu bertanggungjawab untuk
mengabulkan mimpi-mimpi hamba-Nya yang telah bersusaha sebaik mungkin. Itu
pikirku kala itu.
Tahun keempat mulai
berjalan. Tahun ini, seperti kebanyakan orang adalah masa-masa ‘kritis’.
Masa-masa para mahasiswa akan dilepas ‘label’ kemahasiswaannya. Masa-masa
dimana para mahasiswa harus beradu nasib dengan ‘mahkluk gaib’ bernama
‘skripsi’ . Masa-masa yang kebanyakan orang seharusnya memprioritaskan waktu
dan tenaga untuk segera menyelesaiakan tugas akhir yang masih gentayangan
menhantui kita ini. Namun, kala itu aku tidak berpikiran demikian. Begitu
pongah bin idealisnya aku ketika itu. Aku ingin beda dengan yang lain hingga
aku pun tak peduli dengan teman-temanku yang begitu membuncah semangatnya demi
sebuah aktivitas ‘merukyat’ makhluk bernama skripsi itu.
Bagiku, dengan
berakhirnya tugas akhir itu, maka terlepas pulalah label mahasiswa yang begitu
bangga menyandangnya. Sebagai konsekuensinya, kita harus siap terjun di
masyarakat, bersaing dengan sarjana-sarjana lain. Tetapi bagiku, ketika masa
itu rasanya aku merasa belum siap saja untuk menjadi seorang sarjana, toh masih
ada mimpiku yang belum sempat terwujud selama menjadi mahasiswa. Mimpi besar
yang harus kutaklukan.
Kawan, sungguh mimpiku
ini tidak sederhana itu. Bagiku, hidup itu adalah perjalanan, perjalana
menemukan nasib, mensiasati takdir dan memperelok usaha dan doa. Maka, dengan
perjalanan itu sungguh bagi orang yang berpikir akan banyak sekali hikmah dan
inspirasi yang didapatkan. Itualah alasanku begitu kebelet sekali meraih mimpi
itu. Karena mimpi itu bagiku tidak sederhana sekali. Saat aku berani bermimpi
untuk pergi ke luar negeri, saat itu pulalah aku harus melebihkan usahaku di
atas orang lain, memperbanyak doaku dibandingkan orang lain. Saat yang lain
tertidur, seharusnya mataku terbuka. Saat yang lainnya terduduk, sehurusnya aku
berjalan. Saat yang lainnya berjalan, seharsunya aku berlari. Saat yang lainya
berlari, seharusnya aku mempercepat lariku menjadi jauh lebih cepat dari yang
lain. Saat yang lainnya sibuk mengerjakan tugas akhir, aku malah sibuk
mempersiapkan segala macam persiapan agar aku bisa meraih mimpiku. Saat yang
lainnya sudah merasa plong
menyelesaikan tugas akhirnya, aku justru masih disibukkan dengan mimpi-mimpiku
yang sempat tertunda.
Sungguh saat kita memutuskan
sesuatu, saat itu pulalah ada dua hal yang akan kita terima, yaitu: kesempatan
dan resiko. Kesempatan yaitu saat aku bisa berkesempatan mencoba berbagai
kesempatan yang ada untuk bisa meraih mimpiku, meskipun dalam proses itu
sungguh adalah tahap pemebelajaran bagiku untuk menjadi lebih baik. Resiko
yaitu saat aku menjadi mahasiswa yang terlambat untuk lulus bersama teman-teman
yang lain. Tetapi bagiku, keputusan itu adalah resiko itu sendiri.
Ketika itu bermacam
kesempatan aku coba, mulai dari event
forum ataupun lomba-lomba dan sebagainya . Berkali-kali gagal, tetapi aku tidak
ingin menyerah. Gagal, aku coba lagi. Gagal lagi aku coba lagi. Terus begitu.
Hingga pada titik kegagalan yang entah
berapa kali, perlahan demi perlahan Tuhan semakin menunjukkan jalannya. Tetapi
Tuhan hanya menunjukkan jalan saja, belum sampai mengabulkan mimpi-mimpiku.
Ketika itu aku bisa saja merasa puas dan berhenti karena Tuhan sudah
menunjukkan jalan bagiku. Tetapi aku merasa belum puas, mimpiku masih belum
terwujud dan ketika aku bisa melanjutkan usahaku, barangkali Tuhan akan benar-benar
mengabulkan mimpiku.
*****
Waktu semakin berjalan.
Ketika itu ada sebuah kesempatan datang padaku. Kesempatan itu adalah
kesempatan untukku bisa pergi ke negeri sakura, Jepang. Ketika itu aku
bersyukur bisa lolos suatu event yang
diadakan di negeri sakura itu, lebih tepatnya di Hokkaido. Tetapi yang menjadi
kendala adalah pihak penyelenggara tidak menanggung segala biayanya hingga
terpaksa aku harus berusaha mati-matian mencari dana untuk bisa berangkat ke
negeri itu. Beragam upaya sudah kucoba, mulai dari menugurus visa, rekomendasi,
rencana perjalanan, surat perizinan, mengajukkan proposal sponsor kerjasama ke
perusahaan-persuhaan, pemerintahan, kampus, juga donator-donatur. Tetapi Tuhan
nampaknya belum bisa mewujudkan mimpiku lagi. Hingga menjelang hari
keberangkatan, aku belum bisa mengumpulkan biaya untuk bisa berangkat ke negeri
sakura itu. Mungkin Tuhan masih merahasiakannya untukku.
Hari berganti kembali
dan aku belum boleh menyerah. Gagal lagi, coba lagi. Terus berkali-kali hingga
pada akhirnya, Tuhan mulai menujukkan jalannya lagi. Tetapi Tuhan masih
menunjukkan, belum mewujudkan. Tuhan menujukkan jalan-Nya dengan
dipertemukannya aku dengan seorang kawan yang luar biasa telah menginspirasiku,
dialah Dhany Pangestu. Bersama kawan itu aku berjuang bersama meraih mimpi yang
kebetulan sama: Menginjakkan kaki di luar negeri.
Ketika itu, akhir April
2015 ada sebuah pesan masuk ke emaliku, dan ternyata email itu berisi informasi
bahwa diterimanya karya kami sebagai finalis dalam sebuah event yang diadadakan di negeri Jiran, Malaysia. Lagi-lagi event itu tidak menanggung biaya finalis
yang lolos, itu berarati kami harus benar-benar berjuang habis-habisan lagi
mencari dana untuk berangkat. Beragam usaha telah aku lakukan, bahkan hingga
H-1 aku masih terus mencari dana untuk keberangkatan. Dan Alhamdulillaah sekali
Tuhan memberikan rezeki melalui siapapun dan apapaun kepada kami. Hingga akhirnya
Tuhan telah mengabulkan mimpiku pergi ke luar negeri yang sempat tertunda
hingga satu tahun ini. Sungguh aku sangat bersyukur kala itu bahwa akhirnya
mimpiku untuk bisa menginjakkan kaki di luar negeri sebentar lagi tercapai.
Alhamdulillaah.
Jum’at,
08 Mei 2015
Hari dimana aku
harus memulai perjalan meraih mimpiku itu. Jum’at sore pukul 18.00 WIB seharusunya
pesawat yang aku tumpangi sudah lepas landas, tetapi karena satu dan beberapa
alasan, pesawat terpaksa delay hingga
lebih dari satu jam. Dalam masa menunggu waktu lebih dari satu jam itu,
lagi-lagi aku masih belum percaya pada akhirnya aku bisa pergi juga. Ketika itu
kami berangkat dari Bandara di Solo, dengan transit di Bandara Soekarno-Hatta,
Cengkareng, Tangerang.
Saat menunggu keterlambatan pesawat |
Suasana di Bandara Adi Soemarmo sesaat sebelum keberangkatan |
Tiba
di Bandara Soekarno-Hatta sekitar pukul 21.00 WIB dan masih harus menuggu waktu
transit hingga satu jam lebih hingga tibalah waktu take off pesawat kami selanjutnya, yaitu sekitar pukul 22.00 WIB. Ketika
tiba di Bandara Soekarno-Hatta, kami turun di terminal 3 dan pesawat
selanjutnya yang akan kami tumpangi adalah terminal 1. Setalah keluar dari
terminal, kami langsung menuju sebauh gerbang di terminal 3 untuk melakukan check-in lagi. Petugas gerbang pun
mengizinkan kami masuk setelah melihat tiket kami. Kemudian kami masuk ke dalam
untuk mencari loket check-in pesawat
kami. Sayang, kami tak menemukan loket itu. Lantas kami pun bertanya kepada
petugas disana. Petugas kemudian melihat tiket kami dan petugas memberi tahu
kami jikalu kami salah masuk terminal. Petugas sempat mengoceh sendiri dan
menyalahkan petugas di gerbang tadi. Petugas itu pun menyuruh kami agar
bergegas pergi ke terminal 1 karena jam keberangkatan hanya tinggl sebentar
lagi. Petugas menyarankan kami agar tidak naik shuttle bus karena akan memakan waktu yang cukup lama. Petugas
menyarankan kami untuk mencari taksi sesegera mungkin.
Kami lantas berlari
keluar terminal. Salah seorang bapak-bapak menawari kami tumpangan. Bukan
taksi, hanya sebuah mobil bertarif. Kami pun tak ambil pusing langsung naik
mobil itu, meskipun tarif yang ditawarkan cukup besar dengan jarak yang tidak
terlalu jauh, yaitu dengan tariff 50 ribu. Setelah masuk mobil, aku ceritakan
secara singkat tujuan kami dan alasan kami terburu-buru, sang supir pun
langsung tancap gas dan benar-benar ngebut. Hingga hanya beberapa menit, kami
pun tiba di terminal tujuan dan mengucapkan terima kasih kepada sang supir
super cepat. Kemudian dengan setengah berlari, kami segera melakukan pengecekan
keberangkatan. Beberapa proses sudah kami lewati dan kami sedikit lega.
Setelah cukup lega,
kami bisa berjalan sedikit santai untuk masuk ke gerbang ruang tunggu kami.
Sayang, ketika sudah di depan gerbang ruang tunggu pesawat kami, ada sebuah
kertas bertuliskan bahwa ada pemindahan gerbang untuk pesawat yang akan kami
tumpangi. Sialnya, kami baru mengetahui itu. Lantas, kami pun segera berlari ke
gerbang ruang tunggu yang dipindahkan itu. Ternyata memang belum saatnya kita
santai.
Akhirnya kami pun tiba
di ruang tunggu pesawat kami. Ah, melelahkan sekaligus mengeslakan juga
ternyata. Kami pun segera mencari tempat duduk kosong dan segera kami duduk
disana. Sambil menunggu pesawat, kuhabiskan waktu untuk sekedar sharing dengan kawanku, juga orang-orang
di samping kanan da kiriku. Apa saja yang sekiranya bisa dijadikan bahan
obrolan ringan.
Hingga tiba waktunya
bagai para penumpang naik ke pesawat. Aku dan kawanku duduk satu deretan
bangku. Di sampingku ada seorang bapak-bapak. Saat kutanya tujuanna, beliau pun
tidak tahu akan kemana. Beliau hanya berencana main ke Kuala Lumpur dan belum
punya tempat menginap. Ah, bapak yang berani pikirku. Tak apalah, karena
menurutku terkadang hidup itu perlu berani melakukan ‘kegilaan’ sesekali.
Tak lama berselang
pesawat meninggalkan landasannya hingga tak terasa kami sudah tiba di tujuan
kami: Kuala Lumpur, Malaysia-dengan menempuh waktu perjalanan sekitar 1 jam.
Karena ada perbedaan selisih waktu antara Indonesia dan Malaysia, maka kami
tiba disana sekitar pukul 24.00 waktu setempat. Karena sudah begitu malamnya,
kami langusng saja menuju terminal sentral di pusat kota Kuala Lumpur menggunakan
bus dari bandara. Perjalanan menempuh waktu sekitar 1 jam.
Sabtu,
09 Mei 2015
Akhirnya kami pun tiba
di satasiun sentral sekitar pukul 01.00 waktu setempat. Sungguh diluar
perkiraan. Badan kami begitu lelah sekali rasanya. Ingin sesegera mungkin
isitrahat. Tetapi, kami masih harus berjuang lagi: menemukan lokasi tempat
menginap yang sebelumnya sudah kami pesan. Prosesnya tidak semudah itu. Awalnya
dari pihak penyelenggara berjanji akan menyambut kami dan bersedia mengantar
kami menuju tempat menginap. Namun, karena kami tiba di tempat tujuan begitu
larut sekali, pihak penyelanggara pun tampak enggan untuk menganat kami,
sehingga kami maklumi itu. Toh, esok pagi panitia pasti sudah harus bersiap
menyiapkan acara.
Suasana tengah malam di KL Sentral |
Foto di depan KL Sentral |
Suasana tengah malam di KL Sentral |
Foto di depan KL Sentral |
Suasana tengah malam di KL Sentral |
Dengan kondisi yang
sangat lelah ditambah dengan tidak adanya sinyal untuk menghubungi pihak
panitia untuk mengonfirmasi kedatangan kami, maka kami semakin bingung ke arah
mana lagi kami akan berjalan selanjutnya. Dalam keseampatan itu, aku coba
bertanya kepada semacam polisi disana yang sedang bertugas di posanya. Dengan
bergaya logat melayu kepada mereka, aku katakan maksud dan tujuan kami, tetapi
respon yang mereka berikan nampaknya kurang begitu ramah dan tidak memberikan
solusi yang pas kepada kami, mungkin karena mereka tahu bahwa kita dari
Indonesia. Tak hanya itu, ada seorang laki-laki muda yang sedang asyik
nongkrong di pinggir jalan sambil memainkan gadgetnya. Aku katakan
kepadanya-lagi dengan logat melayu, maksud kami untuk meminjam ponselnya agar
kami bisa mengubungi pihak panitia. Tetapi, lagi-lagi respon yang diberikan
kepada kami kurang nyaman. Dalam bahasa Melayu, dia bilang, “Saya tidak ada
pulsa”. Lantas dia seperti merasa terganggu dan kemudian pergi. Aku pun tidak ingin
memaksanya.
Duhai, kemana lagi kami
harus melangkah. Lelah, pusing, dan bingung bercampur aduk menjadi satu. Tetapi
kami tak tinggal diam. Di sebrang jalan sana, tak jauh dari kami, ada sebuah
minimarket yang tepat di depannya ada sebuah telepon umum. Kamudian kami pergi
ke minimarket itu untuk membeli air mineral. Uang receh yang kami perolah dari
kembalian membeli air mineral itu kami gunakan untuk menelpon pihak panitia.
Pertama memasukan uang koin, kami tidak bisa tersambung. Koin kedua pun sama
gagalnya, tidak tersambung. Ketiga kalinya, akhirnya kami bisa tersambung
dengan salah satu pihak panita. Belum sempat kami menyelesaikan percakapan
kami, sialnya sambungan terputus kembali, dan koin kami sudah habis. Selesai
sudah.
Kami bingung, kami
lelah, juga kami pusing apa yang akan kita lakukan. Tersesat di negeri orang
itu rasanya menyakitkan sekali. Tetapi kami tidak ingin tinggal diam. Kami
memutuskan untuk berjalan beberapa meter hingga akhirnya kami menemukan taksi.
Kami tunjukkan kepadanya alamat penginapan kami dan sopir taksi memberitahukan
tarifnya. Ketika itu, kami tak memikirkan betappun tarifnya, yang penting kami
bisa segera sampai. Kemudian kami naik di taksi itu, dan akhrinya kami bisa
sedikit rehat di kursi mobil taksi itu. Dalam perjalan itu, aku sengaja tidak
ingin tidur, aku sungguh ingin melihat susasan kota itu. Tak boleh aku
sia-siakan. Beberapa menit kemudian, kami terjebak macet. Ah, beginialh mungkin
suasana kota besar di negeri orang, bahkan di waktu larut malam sekalipun
jalanan bisa menjadi macet. Setelah melaju beberapa meter, aku baru tahu
ternyata kawasan itu memang kawasan hiburan malam. Lantas akupun memakluminya.
Karena kesal dengan
kemacetan, pak sopir pun akhirnya memili memotong jalan melewati gang-gang
sempit hingga di sebuah jalan di alamat tempatku menginap pun kami terjebak
macet juga. Pak supir bilang bahwa dirinya tidak bisa melalui jalan ini dan dia
menyarankan kepada kami untuk berjalan saja beberapa meter hingga akhrinya kami
akan menemukan alamat yang dituju. Lantas kamipun menerima sarannya.
Salah satu bangunan di jalanan kota Kuala Lumpur |
Salah satu bangunan di jalanan kota Kuala Lumpur |
Beberapa aturan dalam Taksi yang kutumpangi |
Sungguh betapa
terkejutnya kami kala itu, ternyata yang menjadi penyebab kemacetan jalan tadi
adalah kawasan tempat kami menginap adalah kawasan hiburan malam. Sepanjang
jalan menuju penginapan kami, kanan dan kiri jalan dipenuhi bar-bar, diskotik,
pub-pub, dan orang-orang yang menikmati hiburan malam disana. Aku tak percaya
dengan semua ini. Bagaimana mungkin aku bisa-bisanya menginap di tempat penignapan
di kawasan hiburan malam ini. Sepanjang perjalanan yang kami temukan hanya
tempat-tempat hiburan lengkap dengan orang-orang yang tampak gembira sekali
bercengkrama dengan wanita-wanita berpakaian super seksi, menenggak minuman
keras, dan memakan makanan yang jelas-jelas haram. Aku masih tak percaya.
Sungguh tak percaya. Tetapi bagiku, hidup itu selalu ada hal-hal yang tidak
seperti kita bayangkan. Maka, dengan begitu terpaksanya, kami menginap di
sebauh penginapan di sela-sela gang hiburan malam itu. Serene Hostel namanya,
di kawasang Changkat, Bukit Bintang, Kuala Lumpur, Malaysia.
Suasana tengah malam di kawasan Changkat, Bukit Bintang, Kuala Lumpur |
Salah satu penunjuk jalan kawasan Changkat, Bukit Bintang, Kuala Lumpur |
Salah satu penunjuk jalan kawasan Changkat, Bukit Bintang, Kuala Lumpur |
Begitu sampai di
penginapan, kami langsung segera istirahat, karena jam sudah menunjukkan pukul
03.30 waktu setempat. Itu artinya, kami hanya punya waktu beberapa jam saja sebelum
pagi hari nanti kami pergi ke lokasi perlombaan. Begitu lelah badan dan
pikiranku, tetapi realita ternyata berkata lain. Aku tidak bisa tidur. Entah
mengapa. Mungkin karena pikiranku masih saja tidak percaya aku bisa melakukan
perjalanan ini. Hingga beberapa jam dalam lamunanku di kasur penginapan, aku
segera beranjak juga dari tempat tidurku. Waktu itu sekitar pukul 05.00. Aku
segera pergi ke kamar mandi dan mempersiapkan segala persiapan untuk perlombaan
nanti karena paling tidak aku harus sudah keluar dari penginapan sekitar pukul
06.00. Setelah aku bersiap-siap, akhirnya kami pun berangkat ke lokasi
perlombaan, di Kedubes Indonesia di Malaysia.
Setalah di luar
penginapan, kami lupa bahwa ternyata disini berbeda waktu dengan di Indonesia.
Pukul 06.00 langit masih gelap, jalanan masih sepi. Kami memutuskan untuk
berjalan beberapa meter hingga kami menemukan taksi. Tak lama kemudian kami
menemukan taksi dan kami segera naik saja. Kami bercerita banyak hal dengan
supir taksi dan ternyata supir taksi tersebut juga seperti menunjukkan kebanggaannya
dengan Indonesia. Beliau bercerita-tentu dengan logat melayunya yang
khas-dengan begitu antusias dan penuh kebanggaan. Kala itu, hatiku sedikit
bangga juga ternyata banyak orang luar yang begitu terkagumnya dengan
Indonesia, meskipun banyak anggapan rakyat Malaysia dan Indonesia sering
bermusuhan.
Befoto di depan penginapan, kawasan Changkat, Bukit Bintang, Kuala Lumpur |
Suasana pagi hari di jalanan Changkat, Bukit Bintang, Kuala Lumpur |
Suasana pagi hari di jalanan Changkat, Bukit Bintang, Kuala Lumpur |
Suasana pagi hari di jalanan Changkat, Bukit Bintang, Kuala Lumpur |
Sekitar pukul 07.00
waktu setempat kami tiba di Kedubes. Tetapi
kami memutuskan untuk tidak masuk terlebih dahulu. Kami ingin jalan-jalan
di sekitar kawasan itu. Aku heran, di kota besar semacam Kuala Lumpur ini,
sebuah ibukota negara, jalanannya begitu sepi, tertib, teratur, bersih. Begitu
sepinya jalanan dari kendaraan-kendaraan. Bandingkan dengan Jakarta. Aih, bagai
langit dan bumi aku pikir. Padahal, jika ini di Jakarta, jangankan pukul 07.00,
pukul 05.00 saja jalanan sudah macet, padat, semrawut tak karuan. Ah, aku
berharap suatu saat Indonesia bisa mencontoh Malaysia. Aamiin.
Plang penunjuk jalan di kawasan sekitar Kedubes RI |
Berfoto di trotoar pinggir jalan Kedubes |
Berfoto di depan Kedubes RI |
Suasana pagi di kawasan sekitar Kedubes RI |
Suasana pagi di kawasan sekitar Kedubes RI |
Plang penunjuk jalan di di kawasan sekitar Kedubes RI |
Berfoto di jalanan sekitar KBRI dengan background Petronas Tower |
Suasana pagi di jalanan sekitar KBRI dengan background Petronas Tower |
Suasana pagi di jalanan sekitar KBRI dengan background Petronas Tower |
Berfoto di salah satu trotoar jalan di sekitar kawasan KBRI |
Sekitar pukul 08.00
kami memutuskan untuk kembali ke Kedubes dan masuk ke dalam. Acara dimulai
pukul 09.00 waktu setempat. Sebelum acara dimulai, aku iseng-iseng saja
mengobrol dengan orang-orang di dalam. Ada yang dari Malaysia sendiri, dari
Indonesia sendiri juga banyak, dari Thailand, Filiphina, bahkan dari Namibia
pun hadir disini.
Acara dimulai dan kami,
para finalis mendapatkan sambutan yang luar biasa dari panitia. Kebetulan kami
mendapatkan jatah maju mempresentasikan karya kami di urutan-urutan awal.
Hingga tiba waktu kami untuk maju. Aku sedikit grogi kala itu karena harus
berbicara di hadapan kedubes, para pakar-pakar di Malaysia, juga para
orang-orang dari berbagai negara. Tetapi Alhamdulillah aku bisa mengontrol
emosiku agar tidak grogi.
Presentasi pun dimulai
dan para juri serta para hadirin terpukau dengan cara kami presentasi. Mereka
memberikan respon yang sangat baik terhadap presentasi kami. Mereka menilai
bahwa presntasi kami tidak biasa dan lain dari yang lain. Mungkin bagian ini
yang membuat nilai plus bagi kami. Secara isi karya, karya kami pun tak kalah
inovatifnya dengan lain. Meskipun saingan kami adalah mahasiswa dari S2 bahkan
ada yang S3, tetapi kami tetap percaya diri saja.
Setelah selesai sesi
presentasi kategori lomba kami, yaitu LKTI. Sesi selanjutnya adalah kategori
finalis puisi dan pidato bahasa Indonesia. Yang menarik dari finalis-finalis
dari kategori ini adalah mereka-mereka justru adalah orang-orang dari negeri
lain yang tak disangka-sangka. Ada yang dari Thailand, Vietnam, Yaman, Malaysia,
bahkan Namibia.
Maka saat para finalis maju ke depan menunjukkan karyanya. Betapa terkejutnya kami semua para penonton melihat penampialn mereka. Begitu bangganya mereka berbicara dengan bahasa Indonesia. Terlihat sekali mereka begitu bangga menampilkannya. Raut wajah sumringah mereka, gestur tubuh yang luwes, senyum mereka, ah betapa mereka begitu menikmatinya mempelajari budaya Indonesia. Meskipun sebagian finalis masih ada yang terbata-bata, tetapi kami masih tetap bangga bahwa ternyata orang luar saja begitu bangganya dan ingin belajar tentang kebudayaan Indonesia, maka seharusnya kami yang warga negara Indonesia asli harus jauh lebih bangga. Dan jujur saja, ketika orang-orang asing menampilkan kebolehannya tentang Indonesia, saat itu pula mataku berkaca-kaca, dadaku seakan bergetar dan bergemuruh. Meskipun dalam kondisi yang super cape, mata ini tak henti-hentinya beralih dari penampilan mereka. Sungguh saat itu pula aku merasa bangga menjadi warga negara Indonesia.
*****
Waktu menunjukkan pukul
16.00 dan semua finalis sudah menampilkan karyanya masing-masing. Sudah saatnya
pengumuman juara diumumkan. Hatiku seperti bergetar menunggu pengumuman itu.
Aku penasaran apakah perjalan jauhku akan membawa kebahagiaan selanjutnya
ataukah perjalannku kali ini akan ditunda kebahagiaannya di lain kesempatan?.
Aku semakin gugup. Dan tibalah waktunya pengumuman itu. Pembawa acara maju ke
depan dan membawa secarik kertas berisi para juara kompetisi ini. Satu persatu
kategori lomba diumumkan juaranya hingga tibalah pengumuman kategori lomba yang
aku ikuti. Detak jantungku berdegup lebih kencang. Pengumuman tinggal di depan
mata. Juara I sudah diumumkan dan berhasil diraih oleh kontingen UI dari
Indonesia, Juara II diraih oleh mahasiswa S3 dari Universitas Teknologi Malysia
yang karya-karyanya sudah sampai ke berbagai negera termasuk Swiss, dan Juara
III diraih oleh kami. Ya, kami. Mahasiswa kontingen Universitas Sebelas Maret,
Solo. Mahasiswa yang sebelumnya tidak pernah bermimpi untuk menginjakkan kakinya
di Malaysia, bahkan tak sempat terpikirkan untuk bisa menjuarai salah satu
kompetisi di Malaysia.
Sesi foto bersama para Juara |
Tetapi Tuhan selalu
punya cara tersendiri untuk menunjukkan Kuasa-Nya. Tuhan tak pernah tidur
barang sepersekian detik pun. Tuhan selalu memberikan jalan terbaik bagi
orang-orang yang telah berusaha dan terus memohon kepada-Nya. Juara ini bagiku
adalah kenikmatan juga sebagai ujian. Kenikmatan karena pada akhirnya aku bisa
meraih suatu penghargaan yang cukup bergengsi. Sedangkan ujian, karena juara
ini adalah ujian bagiku, apakah setelah ini aku bisa mencapai mimpi-mimpiku
yang lain-yang jauh lebih hebat dari ini ataukah aku hanya berhenti sampai sini
dan merasa sudah bangga mencapai penghargaan ini hingga aku merasa tak perlu
berusaha lagi. Tetapi bagiku bersyukur adalah yang jauh lebih penting atas
apapun yang kita dapatkan. Karena bersyukur bagiku adalah capaian tertinggi
seorang manusia ketika menjalani proses kehidupan-apapun proses dan
hasilnya-baik ataupun buruk. Semua selalu ada pelajaran yang sengaja
disembunyikan oleh Sang Maha Kuasa agar kita termasuk orang-orang yang
berfikir. Itu saja. Alhamdulillaahi rabbil Aalamiin.
*****
Waktu menunjukkan pukul
17.30 waktu setempat. Kegiatan akhirnya selesai dan sebelum kami keluar gedung
KBRI, kami merayakan rasa syukur kami dengan berfoto dengan panitia, peserta,
juga penonton lain. Kami pun berkenalan ke peserta-peserta lain untuk menambah
jaringan dan silaturhmi. Semoga suatu saat kami bisa bertemu kembali dengan
kondisi yang jauh lebih baik. Setelah selesai foto-foto, panitia menjanjikkna
kami para juara untuk Field Trip malam nanti ke Menara Petronas, kuala lumpur
Malaysia. Kami pun tentu saja menyetujuinya.
Sesi foto bersama dengan pihak panitia dan para peserta |
Sesi foto bersama dengan pihak panitia dan para peserta |
Waktu semakin beranjak
dan waktunya kami meninggalkan gedung KBRI ini. Meskipun waktu menunjukkan
pukul 18.00 waktu setempat, langit masih terang-benderang dan jalanan kota
tidak terlihat ramai seperti di Jakarta. Akhirnya kami pun menyegat taksi dan
pulang ke penginapan kembali.
Saat tiba di penginapan
kami langsung bersiap-siap. Tak lupa pula kami langsung memberi kabar kepada
keluarga masing-masing tentang hasil yang kami peroleh, juga kepada dosen-dosen
kami, dan juga teman-teman kami. Kami baru sempat memberi kabar di penginapan
karena hanya di penginapan kami bisa memperoleh akses internet. Sinyal di HP
kami pun tidak mungkin dipakai, sedangkan saat di KBRI kami tak sempat akses
internet. Maka, kami manfaatkan akses yang ada di penginapan. Setelah siap-siap
kami baru sadar, bagaimana nanti kita akan pergi ke Menara Petronas jika kami
tidak bisa berkomunikasi dengan pihak panitia. Bagaimana teknis
keberangkatannya, bertemu dimana, dan pukul berapa kami harus disana. Semua
butuh komunikasi. Sayangnya, kami tidak memiliki akses itu. Akhrinya pukul
07.30 kami jalan-jalan di kompleks penginapan untuk mencari kartu perdana yang
sekiranya bisa dipakai untuk berkomunikasi. Selang beberapa meter kami pun
menemukannya, harganya adalah 20 RM. Dan akhrinya kami bisa berkomunikasi juga
dengan panitia.
Kami memutuskan untuk
pergi ke lokasi dengan taksi. Sekitar pukul 08.30 kami sampai di Menara
Petronas. Sambil menunggu panitia menjemput di sekitar Menara Petronas kami pun
sempatkan untuk foto-foto sebentar. Panitia akhirnya tiba dan kami diajak makan
di kafe terbuka di sekitar Menara Petronas. Kafe itu luar biasa sekali
pemandangannya. Menara Petronas begitu menjulang di belakang kami. Begitu
indahnya. Tinggi, besar, sekaligus bercahaya. Membuat takjub siapapun.
Sambil makan di kafe, kami
pun berdiskusi santai dengan para panitia. Obrolan kami begitu hangat dan akrab.
Mulai dari membahas hal-hal seputar keagamaan, pendidikan, pemerintahan,
filsafat, hingga prestasi-prestasi. Hingga kamipun tersadar waktu sudah
menunjukkan pukul 11.30 waktu setempat dan kami pun akhirnya selesai. Sebelum
kami pulang, kami sempatkan untuk foto-foto lagi dan pamit kepada para pantia.
Panitia merasa berterimakasih kepada kami semua dan juga merasa ingin bertemu
kembali suatu saat nanti. Sebelum kami pergi, salah seorang panitia menanyakan
kepadaku terkait kepulangan ke Indonesia-nya. Kami memberitahu bahwa kepulangan
kami adalah esok pagi penerbangan pukul 06.00 waktu setempat. Panitia pun
menyarankan agar kami langsung ke bandara malam ini juga dan tidur di bandara.
Kami pun mengikuti sarannya.
Akhirnya dari pihak
panitia membantu kami mencarikan taksi di sekitar lokasi. Tapi sayangnya,
tengah malam begini tidak banyak taksi yang berlalu-lalang. Panitia membantu
kami tidak hanya mencarikan taksi tetapi juga menegoisasi harga. Sambil
menunggu taksi yang lewat, salah saeorang panitia memberitahu kami bahwa di
Malaysia, ketika ada penumpang yang naik taksi namun supir taksi yang tidak
menyalakan argonya, jangan harap besok harinya sang supir bisa bekerja lagi.
Bakalan langsung diberhentikan hari itu juga. Begitu ketat sekali. Dari cerita
itu, aku baru tahu dan selama menggunakan taksi di Malaysia ini, taksi yang
kugunakan tidak pernah menyalaakan argo. Tapi ya sudahlah tak apa. Yang lalu
biarlah berlalu.
Miinggu,
10 Mei 2015
Setelah menuggu kurang
lebih sekitar 30 menit, akhirnya kami dapat taksi. Dan sungguh baik hatinya
para panitia karena salah seorang dari mereka ikut menemani kami menuju
penginapan. Selama perjalanan kami semua bercakap-cakap ringan. Sesekali
menggunakan bahasa melayu meskipun campur aduk dengan bahasa Indonesia. Hingga
sekitar pukul 12.30 kami sampai di penginapan dan begitu bersyukurnya aku
karena biaya taksinya sudah dibayar oleh salah seorang panita tadi. Sungguh
terima kasih banyak.
Suasana di sekitar
penginapan ketika kami tiba seperti biasanya masih sangat ramai karena
pengiapan ini ada di kawasan hiburan malam. Kami pun segera masuk ke penginapan
dan segera kami bergegas menyiapkan segala keperluan pulang ke tanah air. Malam
itu juga kami check-out dari hotel
dan langsung menuju ke terminal sentral Kuala Lumpur.
Kurang lebih sekitar
pukul 01.00 waktu setempat kami mulai perjalanan. Perjalanan ke terminal
sentral kurang lebih 30 menit. Sekitar pukul 01.30 kami tiba di terminal
sentral. Suasana terminal dini hari begitu sangat sepi. Kami pun segera
bergegas ke loket-loket bus. Tapi sayang, loket bus menuju bandara sudah tutup
dan baru akan buka kembali pukul 03.00 waktu setempat. Akhirnya kami pun
duduk-duduk di bangku terminal. Hanya ada satu dua orang di terminal kala itu.
Kawanku, Dhany baru saja duduk beberapa menit sudah pulas tertidur di bangku
terminal. Dan meskipun aku begitu lelah dan ngantuknya setelah satu hari dua
malam tidak tidur, aku berusaha untuk tidak terlelap tidur disini. Pikiranku
kala itu, aku rasa aku tidak boleh melewatkan satu detik pun waktu di sana
untuk sekedar tidur. Aku ingin menghabiskan waktu sebaik mungkin di tempat yang
entah akan kukunjungi lagi atau tidak. Tak peduli meski badan rasanya sudah
tidak bisa komporomi. Aku hanya duduk, menulis sedikit catatan perjalan di buku
catatan hidupku. Karena menurutku, waktu ini adalah waktu yang pas untuk
sekedar menulis hal sepele tentang perjalananku. Hingga selang beberapa jam,
datanglah seseorang laki-laki muda duduk di sebelahku.
Pria itu seperti
kebanyakan perawakan wajah melayu datang menghampiriku dan bertanya tetang jam
buka loket bus kepadaku. Lantas kujawab pertanyaanya. Setelah terjawab aku coba
membuka percakapan dengan pemuda itu. Aku tanyakan nama dia, dia pun menjawab.
Namanya adalah Ajai Tahir. Melihat logatku yang tidak terlihat melayunya, dia
kemudian bertanya tentang asalku, dan aku pun jawab bahwa aku berasal dari Indonesia
dan menceritakan latar belakang kami ke Malaysia. Dia pun kemudian menceritakan
bahwa dia pun sebenarnya adalah WNI, tepatnya asli daerah Madura. Dia
menceritakan kehidupannya bahwa dia bekerja di sebuah perusahaan di Malaysia,
sudah berkeluarga dan tinggal di Malaysia. Dia ingin ke Bandara, ingin
mengantarkan barang ke temannya yang kebetulan ingin pergi ke Indonesia. Ah,
terkadang dunia ini serasa sempit sekali dan terkadang kita menemukan sesuatu
yang tidak terduga-duga. Begitu bahagianya aku bisa bertemu dengan orang
Indonesia disini. Sesuatu yang kebutulan sudah direncanakan oleh Sang Maha
Pemilik Skenario.
Setelah berjam-jam
berbincang-bincang, akhirnya tak terasa jam menujukkan pukul 03.00 waktu
setempat. Bus mulai berdatangan dan loket bus pun sudah terbuka. Aku
membangunkan kawanku yang begitu pulasnya. Setelah bangun aku perkenalkan
kepada Bang Ajai, kenalan baruku. Kami segera masuk ke bus dan bus segera
berangkat.
Dalam perjalanan
lagi-lagi rasanya aku tidak ingin tidur. Ingin rasanya aku menikmati setiap
detik momen-momen berharga selama di negeri orang. Tetapi apa daya, tubuhku
rasanya super lelah sekali, mataku pun rasanya begitu mengantuk sekali.
Setengah perjalanan, akhirnya aku tertidur. Aku terbangun ketika bus sudah tiba
di bandara Kuala Lumpur International Airport (KLIA).
Jam menunjukkan pukul
04.00 waktu setempat. Setibanya di bandara, aku segera cari tempat duduk kosong
dan segera menaruh barang-barangku. Setalah barang-barang ditaruh, kawanku,
Dhany langsung melanjutkan tidurnya di bangku bandara. Lagi-lagi meskipun aku
lelah bin ngantuk, aku tidak ingin tidur. Akhirnya aku hanya duduk-duduk di
bangku bandara untuk sekedar rehat sejenak dan sekeder menulis kembali di buku
catatan kehidupanku. Sesekali aku berjalan-jalan di sekitar tempat kami duduk.
Tak terasa waktu
menunjukkan pukul 05.00. Aku segera pergi ke mushola bandara. Sampai di
mushalla, aku segera ambil air wudhu. Setelah wudhu aku segera menggelar
sajadah. Di mushala ternyata banyak sekali orang-orang yang tidur disana. Ah,
aku tak peduli, mungkin mereka juga sedang dalam perjalan jauh dan ingin
istirahat. Lantas, aku segera shalat
shubuh. Setelah shalat, aku ingin sekedar berbaring di mushala. Baru saja
beberapa menit aku berbaring, ada orang berdiri di depan mushala dan
mengumandangkan adzan. Lagi-lagi aku lupa bahwa ternyata ada perbedaan waktu
dengan di Indonesia. Aku benar-benar khilaf. Aku pun segera berdiri dan
melaksanakan shalat shubuh lagi secara berjama’ah di mushala bandara. Setelah
selesai shalat, di kanan-kiri dan depan-belakangku ternyata banyak orang-orang
dari berbagai negara. Ada yang berwajah Arab Timur Tengah, ada yang berwajah
khas Afrika, ada pula yang berwajah bule-bule, juga tetap ada pula yang
berwajah sama sepertiku, Ras Melayu. Ah, betapa indahnya nikmat Islam ini. Di
sebuah mushala kecil di bandara kami bisa berkumpul untuk melaksanakan
kewajiban sesama muslim, tidak memandang dari manapun asal ras-nya.
Selesai melaksanakan
shalat shubuh, kami pun segera check-in.
Pesawat kami akan lepas landas pukul 06.50 waktu setempat. Tepat pukul 06.50
akhirnya kami lepas landas meninggalkan kota Kuala Lumpur, Malaysia, dan akan
kembali ke negara kami tercinta, Indonesia. Lagi-lagi selama
perjalanan-meskipun begitu lelahnya dan ngantuknya, aku tidak ingin tidur. Aku tidak
ingin menyia-nyiakan perjalan ini hanya dengan menggunakan waktu sedetik pun
untuk tidur. Aku perhatikan dari atas pesawat kota Kuala Lumpur yang begitu
terkenang dalam hidupku. Begitu indah dari atas sini pemandangannya. Langit
begitu cerah, awan-awan begitu putih memesona berserakan di udara. Kuperhatikan
terus kota Kuala Lumpur dari atas, hingga lama-kelamaan terlihat begitu kecil
sekali dan tak terlihat lagi pada akhirnya. Selamat tinggal Kuala Lumpur,
Malaysia. Semoga kita berjodoh untuk bertemu kembali.
Sekitar pukul 09.30
WIB kami tiba di bandara Soekarno-Hatta,
Jakarta. Setelah turun, kami melakukan pemeriksaan macam-macam hingga pada
akhirnya kami bisa masuk ke ruang tunggu pesawat transit ke bandara Solo. Sekitar
pukul 10.30 kami akhirnya masuk ke ruang tunggu. Pesawat kami menuju Solo
berangkat pukul 12.30 WIB. Kami pun terpaksanya menunggu beberapa jam untuk
keberangkatan selanjutnya. Sambil menunggu, kuhabiskan waktu untuk kembali
menulis dan sedikit berbincag-bincang dengan kawanku. Setelah beberapa menit
aku tersadar kalau tasku ternyata tertinggal di pemindai X-Ray ketika
pemeriksaan tadi. Segera aku kembali ke tempat semula dan mengambil tasku. Ah,
begitu teledornya aku. Mungkin karena pikiran dan badan ini sudah begitu lelah.
Aku pun kembali ke tempat tunggu.
Pukul 12.15 WIB kami
disuruh masuk ke pesawat tujuan kami, yaiu Solo. Kami pun masuk. Tepat pukul 12.30
WIB pesawat lepas landas. Lagi-lagi aku pun tidak ingin tidur hingga tak terasa
sudah tiba di bandara Adi Soemarmo, Solo sekitar pukul 13.30 WIB.
Akhirnya kami tiba pula
di tempat asal kami. Tempat segala perjuangan meraih mimpi ini dimulai. Sebelum
meniggalkan bandara, sengaja aku ambil beberapa dokumen foto untuk
kenang-kenangan. Aku sangat bersyukur bisa meraih salah satu mimpiku dan aku sungguh
tidak menyangkanya. Terima kasih dan semoga suatu saat aku bisa memaknai hidup
ini lebih dalam lagi. Juga meraih mimpi-mimpi yang jauh lebih hebat lagi.
Aku percaya bahwa mimpi
itu menyimpan sebauh kekuatan besar. Maka, bermimpilah Kawan, karena bagiku,
mimpi itu adalah sebuah ritus menemukan nasib kehidupan. Juga mimpi itu semacam
do’a termagis yang selalu penuh misteri. Saat kita berani bermimpi, sesaat
kemudian seperti ada kekuatan terakbar yang menyelusup tulang-belulang kita-yang
kemudian akan membakar seluruh tubuh kita hingga menjadikannya semangat yang
membara. Bagi siapapun, keberanian bermimpi adalah sebuah ledakan bigbang bagi
permulaan sebuah cita-cita yang penuh cinta. Tak ada permulaan menggapai yang
lebih hebat dari mengejar cita selain dengan mimpi. Mimpi-mimpi yang kita
renungkan untuk kemudian kita laksanakan adalah tragedi terhebat dalam
keseluruhan perjalanan hidup seseorang. Maka, bermimpilah, Kawan! Karena Tuhan
tahu cara terbaik untuk mengabulkan mimpi-mimpi orang yang terus berusaha tiada
lelah. Percayalah, suatu saat Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu!. Itu saja. [Djak]
Terima kasih kedua orang tuaku, Ayah dan Ibu, atas semua halnya
Terima
kasih kawanku, Dhany Pangestu, atas pengalaman yang sangat luar biasa ini
Terima
Kasih dosen super inspiratif, Puguh Karyanto, atas semua bantuan, dukungan, dan
do’anya
Terima
Kasih program studiku, Pendidikan Biologi, atas bantuan dan dukungannya
Terima
Kasih fakultasku, FKIP, atas bantuan dan dukungannya
Terima
Kasih institusiku, UNS, atas bantuan dan dukungannya
Terima
Kasih teman-temanku, Pendidikan Biologi angkatan 2011 FKIP UNS, atas semua
inspirasinya
*Diadopsi dari buku
catatan perjalan hidupku yang kutulis selama perjalanan.
Solo,
Indonesia, 09 Mei 2016
Kuala
Lumpur, Malaysia, 09 Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar