Siapa
sangka orang ‘miskin’ itu malas?. Aduhai tidakkah kita memperthatikan bagaimana
mereka bekerja. Lihatlah bukankah mereka bekerja begitu kerasnya?. Lihat saja
tukang pikul barang dagangan di pasar, seharian kerja keras, memikul
kesana-kemari, membawa ini itu, bekerja sehari penuh, tapi yang didapatkan
tidak seberapa. Lihatlah bagaimana seorang buruh pekerja kasar bekerja. Bukankah
mereka bekerja seperti membanting tulang mereke sendiri, tenaga mereka peras
sedemikian rupa, otak meraka putar sedemikian rupa. Pun tetap saja sama hasil
yang didapatkan tidak seberapa. Lihatlah bagaimana seorang tukang sampah
bekerja. Bekerja baginya adalah penyambung hidup satu-satunya. Mereka bekerja
sudah barang tentu sangat keras. Dari langit yang masih gelap dan pulang pun
sudah gelap. Dan lagi-lagi tetap saja hasil yang didapatkan tidak bisa
mencukupi kehidupannya.
Lantas
masih sajakah anda menyebut mereka malas?. Masih bisakah anda menyebut mereka tidak
peduli dengan keluarga lah?, tidak peduli dengan kehidupannya lah?. Coba anda
bandingkan dengan orang-orang yang bekerja dengan santai, duduk manis sambil
minum kopi dan nonton TV, tau-tau uang nongol di depan pintu. “Iya za, bener banget. Tapi kan mereka
orang-orang ‘miskin’ tadi kan seagai konsekuensi masa mudanya dulu, salah
mereka sendiri tidak bersungguh-sungguh, maka ya akibatnya seperti itu. Coba mereka
bersungguh-sungguh, ya pasti kan dia juga bisa jadi kaya orang tipe kedua tadi,
kerja santai tetapi rejeki berantai”.
Kawan,
tidakkah engkau belajar dari banyak hal..!!.saya tidak berbicara mengenai hukum
kausalitas (sebab-akibat). Ya, saya mencoba mengingatkan bahwa beljar itu
penting, termasuk beljar membaca keadaaan. Seperti misalnya hal diatas tadi. Seandainya
kita mau belajar dari mereka, maka soal integritas akan tertanam kok dengan
sendirinnya, percaya deh..!!. Lihat saja mereka orang-orang ‘miskin’ tadi. Mereka
bukan hanya pekerja keras, tetapi mereka bekerja melebihi batas. Pengerahan tenaga
dengan rasa lapar yang melilit. Pencurahan pikiran untuk memikirkan kehidupan keluarga
bak air terjun mengalir, tiada henti-hentinya. Sepertinya belum pantas saja
bahwa kita bisa dengan sederhana bilang bahwa miskin karena malas atau kita
bilang dengan enteng bahwa kemiskinan karena bodoh. Bukankah di ‘atas’ sana
orang-orang masih saja terlihat bodoh.
Dengan
embel-embel pembangunan harus dikedepankan sebagai tanda kemajuan bangsa,
mereka akhirnya membagun ini itu, bodoh, sehingga melupakan nilai-nilai
ekologis, bodoh, sehingga mereka melupakan nilai-nilai sosial kemasyarakatan,
bodoh, kerena mereka hanya memikirkan bagaimana negera maju, lantas dirinya
ikut tersohor. Aduhai, pembagunan itu masih saja berkutat pada hal-hal fisik. Pembangunan
tapi mereka yang di ‘bawah’ tidak dibangunkan. Justru dibiarkan tertidur lelap
membiarkan nasib mengantakan hidup mereka pada kesengsaraan, yang
ujung-ujungnya menjemput mereka pada kematian.
“Kalau
kita akan memuliakan bangsa dan nusa, baiklah kita menyempurnakan terlebih
dahulu mereka yang berjuta-juta di desa itu, sebelum mereka belum hidup
sempurna, belumlah kita berhak menamakan diri kita sebagai: Anak Indonesia”. (Dr.
Soetomo)
# Maaf, tulisan ini bukan bermaksud
menyindir mereka yang miskin, apalagi merendahkannya. Bukan sama sekali. Karena
bisa jadi saya pun termasuk bagian dari mereka.
Karawang,
30 Juli 2013
Redza
Dwi Putra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar