Selamat
datang di negeri kebohongan...!!
Negeri
ini hampir semua orang usia remaja hingga dewasa baginya adalah tempat yang
ditunggu-tunggu. Diingin-inginkan. Di tempat ini, konon adalah tempat
berkemajuan, tempat dimana kemajuan bermula. Bukan pada tempatnya, bukan.
Melainkan kepada orang yang ada di dalamnya. Orang yang mengembangkannya. Orang
yang ingin memajukkannya dari keterbelakangan. Waaw...Amboi nian bukan
orang-orang yang ada di dalamnya?. Negeri ini bagaikan pencetak ‘superman’,
tempat yang diharapakan akan melahirkan ‘si super’ setelah keluar dari tempat
ini.
Cukuplah
sudah. Barangkali pujian itu hanya ada dalam angan-angan utopis belaka, bahkan
hanya dalam mimpi. Lihatlah, di negeri ini-kebohongan tidak terlepaskan, bahkan
terlekatkan. Belajar. Ya belajar. tempat ini adalah tempat untuk belajar.
Belajar banyak hal. Hebat nian bukan mendengarnya?. Sampai di sini mungkin
sudah sedikit tahu maksud negeri ini. Ah sudahlah. Bukankah sebelum kita menginjakkan
kaki di tempat ini kita telah berjanji pada diri sendiri. Ya, berjanji untuk
sepenuh hati belajar di tempat ini. Berjanji bahwa selama masih bisa menghirup
udara dan selama kaki masih bisa berdiri sempurna di atas bumi ini tidak ada
kata mundur, bahkan goyah sedikitpun. Walaupun bertubi-tubi cobaan menghadang,
walaupun beribu halangan, tak pernah...ya, tak pernah menghentikkan langkah ini
untuk melangkah selain satu alasan yang mulia. Belajar. itu saja.
Tapi,
lihatlah..lagi-lagi janji kita telah terbohongi dengan janji-janji ‘hebat’ di
tempat ini. Di saat kita harus belajar dihadapkan dengan ‘kehidupan nyata’,
pada akhirnya justru kita hanya diperintah untuk melihat ‘dunia maya’, dunia
yang serba fana. ‘Mereka’ beserta ‘anak buahnya’ telah bertekad dengan lantang
unutk mengemban amanahnya yang sangat mulia. Sebagai ‘penyampai’. Penyampai
informasi kepada kami yang ‘katanya’ akan melahirkan kami sebagai si ‘manusia
superior’ tadi. Hebat bukan?.
Entahlah,
seribu macam kalimat bijak menghiasi benak pikiran kita bahwa ‘di dunia ini
memang tidak ada yang sempurna’ atau apalah dalam bahasa dialektika yang lain.
Aiih...benar, tapi setidaknya ada memang yang mendekati sempurna, hanya ‘mereka-mereka’
segelintir orang yang telah berhasil menguasi si ‘penguasa dirinya’ untuk bisa
menguasai ‘ si penguasa diri’ kami, mereka-mereka yang telah berjuang sepenuh
hati untuk kami. Ya, segelintir orang. Satu banding dua puluh mungkin, atau
bahkan satu banding lima puluh. Dan setidaknya, orang-orang seperti inilah yang
nampaknya bisa engkau rasakan dan rindukan ‘kehadirannya’.
Akan
kuceritakan sedikit saja kepadamu kawan di negeri ini yang konon adalah negeri
yang hebat. Hampir tiap hari nampaknya waktu yang kita pergunakan di negeri
ini. Tiap jam kita lalui di tempat ini. Dengan bangga dan penuh keikhlasan
waktu kita korbankan. Hampir tiap pagi kita melakukan ritual melangkahkan kaki
untuk menuju tempat ini. Dengan hati yang ikhlas untuk satu tujuan mulia.
Belajar. Dan apadaya tangan tak sampai. Segala pengorbanan apapun, waktu,
tenaga, pikiran, bahkan perasaan sekalipun yang kita ikhlasan dan korbankan telah menjelma menjadi
patung-patung tak bernyawa. Pada akhirnya si ‘mereka’ yang tak sanggup
menguasai ‘penguasa diri’ kami hanya sekedar bertemu dengan wajah-wajah polos
kami. Sekali dua kali jika terus berjalan seperti ini, wajah-wajah polos kami
bisa dipastikan akan menjadi wajah yang berubah drastis menjadi suram.
Kami
sangat sayang dengan waktu kami. Sangaaaat sayang. Seperti seorang ibu
menyayangi anaknya. Itulah mengapa bagi seorang pelari sepersekian detik pun
sangat berarti. Seperti halnya kita semua. Sangat berarti. Dan itulah mengapa
kami sangat menyayangimu wahai waktu. Ya, seandainya waktu bisa berbicara kepad
kita. Maka waktu akan berkata lirih kepad kita untuk menggunakkannya sebaik mungkin.
Bukan sekedar hanya untuk menatap wajah-wajah polos kami. Mampir ke negeri
ini-duduk manis beberapa menit tanpa retorika sedikitpun-dan pada akhirnya lantas
mengatakan kepada kami-“silahkan ‘jalan-jalan’
saja di dunia fana, cari tahu sendiri di sana lebih hebat”. Terlalu
sederhana sepertinya. Aahh...Apakah kita harus menghianati mereka yang telah
memberikan kasih sayang abadi kepada kita?. Tidak. Jangan sekali-kali.
Ya,
sudahlah. Ketika dahulu sebalum kita berpindah ke negeri ini-kita memang telah
berjanji akan menembakkan anak panah ini ke arah manapun yang kita suka.
Lantas, kita membiarkan sang anak panah ini terbang tinggi setinggi-tingginya,
sejauh-jauhnya. Terbang tinggi membelah
angkasa, menjulang di langit biru. Dan kita akan membiarkan sang anak panah ini
menancap di suatu tempat tertinggi di bumi ini suatu saat kelak. Biarlah sang
anak panah ini terbang mengelilingi bumi sesuka hati. Lantas kita
membiarkannya. Membiarkannya berkeliling kesana-kemari.
Karena
sebelumnya kita telah yakin dan percaya, suatu saat nanti, selama kita telah
menembakkan anak panah ini dengan keikhlasan dan kesungguhan, maka lihatlah.
Lihatlah sang anak panah ini akan menanacap di suatu tempat tertinggi yang kita
inginkan. Itu saja.
Ikhlas
menerima, itu mungkin rumus sederhana bagi kami untuk menjalaninya semenatara
ini. Ya, sementara ini. kareana kelak engkau akan merubahnya menjadi ‘ikhlas
menerima permanen’.
Satu
hal lagi mungkin. Berjanjilah kepada dirimu sendiri. Jika saat ini engkau tidak
bisa berkuasa untuk mengubah hal-hal yang tidak wajar dan rasional di negeri
ini. Berjanjilah suatu saat kelak ketika engkau bisa berkuasa, maka “ubahlah”
dengan baik dan bijaksana. Ikatkanlah dirimu kepada ‘si penguasa diri’
orang-orang yang akan menggantikannmu kelak. Jangan sampai negeri ini
diselimuti oleh ‘kebohongan’ yang hanya akan membodohi generasi penerus kita. Itu
saja. Ya, itu saja, nothing else.
_redza_
(Surakarta, 21
Mei 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar