Ranah
pendidikan di Indonesia baru-baru ini kembali dikagetkan dalam subyek peserta
didik. Tawuran yang belum lama ini terjadi menandakan adanya kesalahan dalam
pendidikan. Jika hal ini kerap terjadi, maka pendidikan sebagai salah satu
kunci pembangunan bangsa menjadi ternodai.
Kita tidak bisa men-judge terlebih dahulu siapa yang salah
dalam kasus ini. Namun kita perlu mengetahui ada pihak-pihak yang secara tidak
sengaja menjadi subyek munculnya permaslahan ini, yang pada akhirnya menggerkan
dunia pendidikan Indonesia ini.
Ada beberapa elemen penting dari
sumber permasalah ini, diantaranya sebagai berikut. Pertama, kalangan pendidik, dalam hal ini adalah para guru yang
bertugas. Hal ini akan memepengaruhi kualitas para peserta didik terhadap apa
yang diterimanya yang nantinya akan diterapkan dalam kehidupan sehari-harinya.
Mengingat bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang terefleksikan
dalam tiga kategori,yaitu afektif (sikap), kognitif (intelektual), dan psikomotorik
(ketrampilan). Maka, sudah sepantasnya bahwa peran guru tidak hanya sebatas
mengajar tentang materi yang tersurat dalam kurikulum, lebih dari itu guru
dituntut untuk lebih menanamkan nilai dalam pemebelajarannya, sehingga hal-hal
tindak kekerasan (tawuran) tidak akan terjadi jika nilai yang ditanamkan
maskimal.
Kedua,
kalangan peserta didik, dalam hal ini
adalah siswa. Ketika guru sudah menjalankan tugasnya sebagai agen penanam nilai
dan ternyata masih saja siswa terlibat dalam hal kekerasan (tawuran), maka
bukan lagi guru yang disalahkan. Bisa saja hal ini dikarenakan siswa itu
sendiri yang salah dalam pergaulannya. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan
oleh guru dan adalah penanaman nilai berupa ‘pembentengan diri’ agar siswa
tidak salah dalam pergaulannya. Selain itu harus adanya kontrol terhadap
perkembangan sisiwa di luar lingkungan sekolah. Guru harus menjalin kerjasama
dengan orang tua siswa.
Ketiga,
Sistem Pendidikan. Salah satu yang bisa memicu timbulnya kekerasan adalah
kesalahan dalam kurikulum yang diberikan. Misalnya, kurikulum yang diberikan di
intitusi pendidikan terlalu berat sehingga membuat siswa merasa terbebani. Hal
ini akan menyebabkan siswa merasa stress sehingga tidak bisa mengontrol
emosinya. Jalan yang dipilihnya bisa jadi lewat tawuran, narkoba, bahkan seks
bebas. Solusi yang mungkin bisa ditawakan adalah intitusi harus bersikap
selektif dalam pemberian kurikulum kepada peserta didik.
Ketiga hal tadi sekiranya perlu kita
tinjau dan dibenahi untuk menghindari dampak yang tidak diinginkan. Pendidikan
sebagai kunci pembangunan harus terwujud terlebih dahulu dalam karakter kuat
dan cerdas dalam diri siswa itu sendiri. Dari pendidikan membekali anak untuk
manjadi manusia dan warga negara yang baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar