Hari
Raya selalu menjadi hal yang begitu sakral, terlebih bagi kita yang menjadikan
aspek spiritualitas sebagai pedoman dalam menjalani kehidupannya. Hari raya
menjadi penting karena memiliki nilai-nilai yang tidak bisa tergantikan dengan
hal lain, entah itu karena sejarahnya yang berisi nilai-nilai kemanusiaan
secara horizontal, ataupun nilail-nilai ketuhanan secara vertikal.
Hari
Raya, setiap peringatanya selalu mencirikan kehkhasannya. Dalam Islam misalnya,
Hari Raya Idul Fitri memilki ciri khas karena adanya ritual mudik. Kemudian Hari
Raya Idul Adha yang baru saja kita sambut dengan suka citanya pun memiliki ciri
khas karena adanya ritual-ritual menyembelih hewan qurban. Kekhasan yang
ditampilkan masing-masing memilki nilai-nilai yang bermakna, mulai dari nilai
spiritualitas, nilai sosial, sampai pada nilai kultural.
Idul Adha
tidak hanya sekedar berqurban lantas ibadah dikesampingkan, berqurban tidak
hanya sekedar berkorban, akan tetapi berkorban dengan segenap keikhlasan harta,
jiwa, dan raganya. Seperti yang disampaikan diatas tadi, setiap inchi dari
peringatan Hari Raya selalu memilki makna. Idul Adha setidaknya memiliki dua
nilai dari kekhasannya itu, yaitu nilai kesalehan ritual, nilai kesalehan
sosial, dan nilai kesalehan kontinuitas. Pertama,
kesalehan ritual digambarkan dengan pengorbanan untuk berqurban secara ikhlas, artinya
kita telah melaksanakan perintah Tuhan yang bersifat transedental secar ikhlas.
Kedua, kesalehan sosial digambarkan
dengan mempunyai hubungan yang erat antara qurban dengan dimensi sosial
kemanusiaan yang bersifat universal. Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang
menyebabkan Idul Adha memiliki dimensi sosial kemanusiaan yang universal?.
Ya, bukankah
bentuk solidaritas kemanusiaan ini termanifestasikan secara jelas dalam
pembagian daging qurban?. Lantas sesungguhnya Islam itu mengajarkan umatnya
untuk memiliki rasa kepekaan terhadap masalah-masalah sosial, mengajarkan untuk
bisa saling berbagi atau memberi, saling menyayangi terhadap sesama. Bukan
mengajarkan terhadap kekerasan atapunun kebencaian. Maka tidak heran apabila
Hari Raya Idul Adha ini daging qurban dibagikan terutama kepada orang-orang
yang lebih membutuhkan.
Ketiga, Kesalehan kontinuitas
digambarkan dengan kesalehan ritual dan kesalehan sosial yang bersifat kontinu
(terus-menerus). Artinya, walaupun perayaan Idul Adha sekaligus penyembelihan
hewan qurban memilki rentang waktu (10-13 Dzulhijjah) bukan berarti nilai
ketaatan melasanakan perintah tuhan secara Ikhlas dan kesediaan berbagi dengan
orang lain yang lebih membutuhkan berhenti begitu saja. Harus adanya
keberlangsungan untuk tetap taat menjalankan perintah-Nya kapanpun dan
dimanapun.
Memaknai Idul Adha
Idul
Adha. Itulah hari raya yang mewakili satu diantara dua dari hari raya umat
Islam di seluruh dunia. Idul berari kembali yang berasal dari etimologi bahasa arab
âda-ya’ûdu-awdatan wa ‘îdan,
sedangkan
adha berarti berqurban berasal dari Adha-Yudhî-udhiyatan.
Sedangkan qurban sendiri berasal dari kata qarraba-yuqarribu,
yang bermakna "mendekatkan". Mendekatkan disini dimaksudkan untuk
mendekatkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT, dengan melaksanakan segala
syariat dan perintah-Nya, salah satunya terimplementasi dalam mendekatkan diri
kepada sesama manusia khusunya untuk mereka yang lebih membutuhkan.
Kita
semua (umat Islam) mengetahui bahwa peringatan dari Idul Adha berbeda dengan
Idul fitri. Ya, perbedaannya terletak pada adanya ritual religius penyembelihan
hewan qurban pada Idul Adha yang tidak kita temukan pada peringatan hari raya
Idul Fitri. Akan tetapi perbedaan itu hanya bersifat objektif saja. Artinya,
hewan qurban adalah sebagai bentuk objek dari ritual yang mencirikhaskan
peringatan Idul adha. Walaupun berbeda, akan tetapi bukannya perbedaan itu yang
kita lebih tekankan. Yang terpenting adalah esensi dari bentuk ketakwaan
seorang hamba kepada Tuhan-Nya, bentuk keihkhlasan seorang hamba dalam
beribadah kepada-Nya, serta bentuk pengorbanan dan pengabdian seorang hamba
dalam berqurban.
Coba
mari kita menilik kembali ke masa lampau. Singkat cerita, pada akhirnya setelah
sekian lama mendambakan anak dan tak kunjung memiliki anak. Permohonan Nabi
Ibrahim kepada Tuhannya agar dianugrahi anak akhirnya dikabulkan juga oleh
Tuhannya. Allah SWT menganugrahinya seorang anak yang sabar yang kita kenal
dengan Nabi Ismail. Tetapi tidak sebatas itu, Allah mencoba menguji ketaatan,
ketakwaan, dan pengabdian seorang Nabi Ibrahim AS kepada-Nya. Ya, seorang anak
yang didamba-dambakannya, seorang anak yang sangat disayanginya, serta seorang
anak yang diharapkan dapat menjadi penerus dalam menyebarkan agama Allah yang tidak
disangka akan menjadi objek dari perintah Tuhannya untuk disembelih.
Pada
suatu waktu Nabi Ibrahim mendapatkan isyarat dari Allah SWT lewat mimpinya yang
untuk menyembelih putranya Ismail AS. Ketika itu pulalah nabi Ibrahim berada
dalam keadaan yang serba dilematis. Dilematis antara menuruti perintah Tuhannya
sehingga berarti dia taat menjalankan perintah-Nya yaitu mengedepankan
kecintaannya yang tinggi (al-mahabbatul ulya),
daripada menuruti hawa nafsunya yang berarti ia menolak untuk menyembelih
putranya sebagai bentuk penolakan perintah Tuhann-Nya yaitu dengan mengutamakan
kecintaannya yang rendah kepada anaknya (al-mahabbatul
adna).
Suatu
keputusan final Nabi Ibrahim adalah menomor satukan ketaatannya kepada Tuhannya
diatas kecintaannya terhadap yang lain dengan jalan menyembelih putranya Ismail
AS. Namun atas kehendak Allah SWT, pada akhirnya sang putra telah digantikan dengan
seekor hewan qurban.
Hikmah Qurban
Dimana
ada kisah disitu ada hikmah. Ya, pelajaran mendasar dari kisah nabi Ibrahim AS
yang bisa kita ambil adalah adanya bentuk pengorbanan yang sangat mendalam.
Pengorbanan demi suatu keyakinan yang kuat akan nilai kebaikan, pengorbanan
akan pengutamaan cinta kepada-Nya melebihi kecintaan kepada yang lainnya, pengorbanan
utuk kembali kepada dasar-dasar tauhid islamiyah.
Allahu Akbar, Allahu
akbar, Allahu akbar, laa ilaha illaAllah, huwaallahu akbar, Allahu akbar wa
lillahil hamd. Gema takbir, tahlil, dan tahmid yang
selalu dikumandangkan sahut-menyahut di seantero jagat akan menjadi modal dasar
bagi pengikraran seorang hamba dalam menjalankan ketakwaan. Ya, inti makna qurban
di Hari Raya Idul Adha memanglah berkorban, namun bukan sekedar mengorbankan
hewan atau menitipkan kepentingan pribadi sebagai ‘kompensasi’. Lebih dari itu,
yakni berkorban sepenuh keikhlasan hati dan jiwa untuk bisa saling berbagi demi
mencapai derajat seorang hamba yang taqwa di hadapan-Nya dengan melakasanakan
segala perintah-Nya kapanpun, dimanapun, dan selalu bersifat kontinu
(terus-menerus). Semoga keikhlasan berqurban bisa memperkuat solidaritas kita
terhadap sesama serta bisa memperkuat ketakwaan kita kepada-Nya. Aamiin.
Surakarta, 26 Oktober 2012
-Redza Dwi Putra-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar