Akan
berbeda jadinya, andaikan engkau melihatku. Berharap setiap kali aku melihatmu,
engkau akan menerimaku. Tetapi, itu seperti menunggu angin. Awalnya, harapan
itu selalu membakar api semangant,tetapi entah mengapa semua itu telah sirna.
Tetapi, aku tidak akan berhenti hanya sampai sini.
Aduhai,
jika andaikan itu benar-benar menjadi milikku, maka kebanggaan itu selalu
berpesta di dalam jiwaku. Tetapi lagi-lagi itu seperti sudah terkubur
dalam-dalam. Sekali mencoba menemuimu kembali hanya untuk melihatmu, semangatlah
sudah memperjuangkannya. Lagi-lagi itu manjadi pengandaian yang tiada
henti-hentinya. Berlalu-lalu.
Aku
hanya berharap engkau melihatku. Kapanpun. Ah, apalagi saat jiwa ini tidak
mampu menopang ‘badai’ yang mengantam jiwaku ini. Pengaharapan itu-apa jadinya
jika itu hanya terbesit di pikiran. Pengharapan itu-apa jadinya jika hanya
ternoda di atas lembaran-lemabaran putih. Pengharapan itu-apa jadinya jika
hanya tergantung rapi di dinding-dinding.
Andaikan
engkau melihatku. Sepertinya tidak ada alasan lagi untuk sekedar melihat ke
arah yang lain. Andaikata melihat-barangkali itupun segala sesuatu yang selalu
berkaitan denganmu. Sejatinya pun, aku akan selalu berusaha melihatmu. Tak
peduli sesulit apapun jalannya.
Seribu.
Sejuta. Semiliar. setriliun. Lebih. Lebih dari itu barangkali yang pernah
terjadi di bumi yang dihamparkan ini. Orang-orang bersibuk mencarimu.
Menemukanmu. Mengharapkan engkau melihatnya. Dan lagi-lagi banyak pula yang
tidak mampu menemukanmu. Sekalipun menemukanmu, bahkan engkau tidak melihatnya.
Kecewa. Sedih. Teramat sangat memang. Bendungan yang ada di mata siapapun,
barangkali tidak kuat menahan debit yang begitu berlebihan. Maka, keluarlah
sudah. Walaupun sebagian yang lain tetap mampu menahan debit itu. Tetapi tetap
saja, awan di hatinya akan mendung.
Andaikan
engkau melihatku. Andaikan engkau melihatku saat aku memperjuangkanmu. Andaikan
engkau melihatku saat aku berpeluh menemukanmu. Andaikan engkau melihatku saat
mataku tetap terbuka saat mata yang lain tertutup dengan tenangya. Andaikan engkau
melihatku saat aku menundukan mukaku ke bumi. Andaiakan engkau melihatku saat
aku menengadahkan tangan ke atas, berharap kuasa atas Dzat Pemilik segalanya.
Manusia
memang bebas merencanakan, tetapi ingatlah rumus yang amat sederhana. Tuhanlah yang
menentukan. Beribu alasanmu merencanakan, Sang Maha Pengatur tetap saja
memiliki hak untuk menentukan. Kun
fayakuun. Sederhana saja. Sekalipun engkau amat sangat berharap dilihat
olehnya. Dan ternyata pada akhirnya dia tidak melihatmu.Tetapi Dzat Yang Maha
Perencana selalu memiliki rencana yang tiada banding. Keindahan itu. Ya,
keindahan itu-yang jauh lebih indah dari yang engkau harapkan sebelumnya pasti
akan engkau temui. Jika bukan saat ini, bersabarlah. Barangkali untuk lain
waktu. Jika bukan di tempat ini, bersabarlah. Barangkali di lain tempat.
Andaikan.
Andaikan. Dan andaikan. Selalu menjadi utopis bagi siapapun. Menjadi berbahagialah
ketika andaikan itu menjadi milikmu. Ketahuliah kawan, berharaplah setinggi
mungkin. Mintalaha kepada-Nya. Percayalah. Allah tidak akan pernah tidur. Andaikan
engkau melihatku, wahai mimpi-mimpi. (redza)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar