My Work

Cerita di Balik Sudut Mata



Senja itu-saat sang mentari mulai beranjak pergi menyembunyikan dirinya- bersiap membagikan tugas mulia Sang Khaliq dengan rembulan yang siap memberikan cahaya redupnya di malam hari. Saat angin berhembus menyibakkan rerumputan yang menghiasi bukit-bukit dan lembah-lembah. Diatas sebuah sepeda onthel Phoenix coklat milikku, dengan pakaian seragam sekolah yang masih melekat di tubuhku dan tas yang masih kuselampirkan di pundakku. Saat iu pulalah kumulai mengayuh sepasang pedal sepada antikku dengan suasana hati yang riang sambil melepas penat yang sejak seharian penuh memberontak di pikiranku.
Kumulai melewati bukit-bukit yang saling bersaing menjulangkankan tubuhnya yang tinggi itu ke angkasa. Melewati sawah-sawah yang hijau sejauh mata memandang, dan entah-tanpa kusadari dan kuyakini, ayunan pedal sepeda yang perlahan namun pasti telah membawaku dan sepeda onthel tuaku menyusuri sepanjang sisi sungai winongo.
Rasa gembira yang sangat disertai suara roda yang berderit dari sepada tuaku sepertinya telah membuatku mati rasa untuk kembali mengingat jalan menuju pulang. Melamun-merasakan keindahan dan kenikmatan alam. Kutatap langit senja yang mulai menguning, kehirup udara senja yang menenangkan.
Namun, lamunan hampaku tetap saja hanya sebuah bejana tak berisi, hampa tak bermakna. Dan entahlah tiba-tiba saja padanganku telah tertuju pada suatu titik di tepian sungai. Kutatap perlahan-lahan, kuyakinkan sebuah titik yang semakin dekat semakin membesar, kubuka kedua mataku lebar-lebar,  dan kupastikan dengan lantang, titik yang semula hanya sebuah satu pandangan mata ternyata semakin kudekati adalah sebuah bayangan nyata seorang pria.
Tapi entahlah, ada sesuatu yang menahanku untuk terus melaju, sesuatu yang mengacaukan pikiran dan perasaanku. Sebuah bisikan hati nampaknya telah memberitahuku ada sesuatu yang tidak asing dalam bayangan seorang pria itu.
Dalam hati yang semakin diserbu dengan rasa penasaran, tanpa kusadari, setang sepeda onthel tuaku telah membelok ke sisi kiri jalan berpasir yang telah kulewati. Kudekati bayangan yang membuatku penasaran. Kupandangi dari balik tubuhnya yang semakin kukenal. Sampai pada jarak yang membuatku semakin percaya bahwa sesosok bayangan ini-sesosok yang membuatku sedari tadi bertanya-tanya dalam hati, adalah seorang yang sejak lama kukenal, seorang sahabat di sekolahku, seorang sahabat yang jarang sekali kulihatnya menyendiri seperti ini, seorang kawan yang tak pernah sekalipun kulihat dirinya merasa sesedih ini. Mahmud Setyawan. Itulah dia.
Mud..!! Mahmud..!!. Sapaku padanya.
Sepersekian detik, dia menoleh ke arahku. Bagaimana kujelaskan suasana ini. Suasana yang tidak biasa kutemui ketika aku sedang bersamanya. Bumi seolah terangkat, hamparan rerumputan bagikan kertas-kertas yang tertiup angin, air-air di sungai seperti memuntahkan isinya ke hadapan kami berdua, langit-langit senja bak hujan yang akan meruntuhkan kami.
Kusadari, kali pertamanya, kulihat seorang sahabatku yang selalu ceria, selalu bahagia, tidak pernah terlihat sedih, tak pernah sekalipun-selama ini-kumelihanya seperti di sore hari ini. Sebuah pemandangan yang begitu menyedihkan telah keluar dari tubuhnya. Wajahnya yang pucat disertai matanya yang merah menahan air matanya telah membuatku bertanya-tanya dalam batinku ini. Apa yang tengah terjadi padanya?, batinku.
***
Akan kuceritakan kepada kau kawan. Tentang sebuah nilai tanggung jawab, tentang perangai kejujuran yang dipegang teguh, dan tentang sikap kerja keras yang tak pernah mengenal istilah berhenti.
Baiklah, jika engkau pernah mendengar keteladanan Bung Karno yang tegas, tanggung jawab, dan bijaksana, maka ketika engaku melihat diri Mahmud seakan seperti sebuah replika seorang tokoh proklamator bangsa ini. Atau jika engkau setidaknya pernah membaca  sekilas biografi seorang pemimpin revolusioner India, Mahatma Gandhi yang sederhana dan memegang teguh nilai kejujuran, maka aku seperti melihat dia dalam diri seorang Mahmud. Atau jika engkau berkali-kali disuguhi sebuah berita pembalap Valentino Rossi yang selalu menyabet berbagai kompetisi adu kecepatan transportasi beroda dua itu. Maka, jika disandingkan dengan seorang sahabatku ini-kerja keras untuk meraih sesuatu yang diimpikannya akan terlihat pada kawaku yang satu ini.
Pagi yang cerah disambut dengan cahaya mentari menyinari segalanya dengan semangat, tak kenal lupa dan lelah. Kicauan burung bersiung ria seolah memperlengkap sajian orkestra di panggung bernama bumi ini. Ketika langkahku baru saja sampai pada ambang pintu bertuliskan XI IPA 5 yang membatasiku antara luar raungan yang masih diselimuti udara pagi yang sejuk dan dalam ruangan kelas yang nantinya akan memaksa oksigen yang seharunya kuhirup dengan segar digantikannya dengan oksigen yang tecampur bermacam zat yang membuatku terpaksa mengeluarkan sisa-sisa karbondioksida dari kurangnya tidurku semalam. Kelas yang akan membuatku menguap sepanjang hari.
Di dalam kelas ini, dimana aku dan Mahmud belajar tentang segala hal. Tidak memberikan kabar yang seperti hari-hari biasanya. Ada kerumunan yang telah terjadi sebelum pelajaran dimulai.
Salah seorang teman sekelasku menjadi pusat perhatian dari cikal-bakal kerumunan di pagi ini. Karena dibalut rasa penasaran pada diriku, maka kulangkahkan kakiku pada pusat kerumunan itu. Kulihat disana, di tengah-tengah kerumunan di pagi hari ini, seorang pria berbadan kecil, berambut ikal, dan berkulit coklat matang. Rafli Ubaidillah itulah namanya yang telah menjadi central dari kerumunan di pagi hari ini. Atau jika saja boleh kugambarkan secara teoritis tentang teori Heliosentris, maka kuibaratkan Rafli adalah sebuah matahari yang telah dikelilingi oleh bermacam-macam planet di sekitarnya-yang tak lain adalah teman-teman sekelasku-pria dan wanita. Ya, semacam magnet yang mempunyai hubungan reversible satu sama lain antara logam besi dan magnet itu sendiri.
Dalam diri yang masih saja dibayangi rasa penasaran yang tinggi. Kuselipkan saja kepalaku diantara calah-celah sempit di kerumunan itu. Aku seolah seperti seorang peneliti yang sebelumnya telah merumuskan hipotesisnya terlebih dahulu sebelum pada akhirnya kutemukan jawaban dari permasalah yang akan kucari. Maka dari itu, kufokuskan pandanganku hanya pada gengaman tangan Rafli. Semakin kupastikan dan akhirnya kusimpulkan saja bahwa apa yang pagi ini diramaikan tak lain adalah barang yang sengaja dipamerkan di genggaman seorang teman sekelasku sejak kelas 3 SMP dulu, barang yang tak lain adalah sebuah cinderamata kaca yang konon diakuinya dibeli di negeri kanguru sana sebagai bukti bahwa dirinya pernah menginjakkan kakinya disana.
***
            Perkara tabiat pemer yang merasuki diri Rafli pagi hari ini, nampaknya bukanlah perkara yang baru kali ini terjadi. Sebagai seorang teman sekelas selama 3 tahun ini. Sudah berkali-kali kutemui dirinya menjadi titik perhatian teman-teman lain. Tabiatnya yang seperti itu membuat diriku dan dirinya telah terhalang sebuah tembok besar yang membatasi. Kami berdua tidak pernah terjalin suatu pertemanan yang akrab walaupun nasib waktu dan tempat yang kami habiskan adalah bersama-sama selama menjadi teman sekelas.
Entahlah, mungkin pandanganku yang mengaju pada hubungan sebab-akibat saja yang menjadi alasannya. Sifat orang lain, sekalipun teman sekelasku, jika tidak sesuai dengan pandanganku atau bertentangan dengan idealismeku, maka akibat yang terjadi adalah terbangunya tembok besar yang memisahkanku dengan dia yang memiliki sifat yang tidak sepandangan dengan jalan hidupku. Maka, wajar saja jika jarak diantara kami bagaikan dua sisi mata uang yang tidak pernah saling bertatapan muka.
            Dalam hidup, kadangkala apa yang tidak kita inginkan bisa jadi menjadi sesuatu yang malah didapatkan oleh kita, ataupun sebaliknya. Itulah yang bisa kugambarkan pada seorang sahabatku, Mahmud. Usai pagi itu, pagi yang membuat ruangan kelasku berubah menjadi tempat pameran barang-barang Rafli. Anak –anak seperti biasnya, bel masuk berbunyi, Rafli memasukan barang pamerannya itu ke dalam tasnya, anak-anak lain berhamburan ke kursinya masing-masing.
Ibu Lia, Guru Fisika kami pun masuk kelas, selang berapa menit, pelajaran pun dimulai. Kami mendapatkan ilmu baru, Termodinamika, ilmu tentang transformasi energi, perubahan keadaan, dan kesetimbangan sekumpulan partikel yg membentuk gas, zat cair atau zat padat, terutama yg berhubungan dengan sifat termal.
            Aiih..Fisika, selalu saja terngian-ngiang di kepalaku. Bukan kesenangan akan pelajarannya yang membuatku terpana padanya. Kesesalan atau lebih pasnya kebencian. Entah mengapa, setiap apapun dan siapapun yang mengajarkan fisika padaku, tidak pernah mempan, macam ada pelet saja yang menempel pada otakku.
Selalu saja lain dengan kawanku yang satu ini. Mahmud, sang jawara kelas selama dua tahun sekelas bersamaku. Kuperhatikan raut wajahnya yang berubah, alis matanya yang berubah tajam, mataya yang hanya terfokus pada papan tulis, telinganya yang dipasang macam antena parabola yang siap menerima gelombang ilmu. Ya, Ilmu bernama Fisika.
***
            Tidak ada yang benar-benar berbeda sejauh pelajaran dimulai sampai akhir pelajaran selesai. Bel pulang sekolah pun berbunyi di siang hari menjelang sore hari. Pukul 14.30. Anak-anak bergegas berlarian keluar. Berebutan saling senggol kanan kiri hanya untuk sekedar keluar ruangan kelas. Usut punya usut, seuatu hal yang tidak diinginkan terjadi. Dan sialnya. Hal itu terjadi pada Mahmud. Saat semua anak-anak menyibukan dirinya untuk sekedar keluar ruangan kelas, saat itu pulalah Mahmud secara tidak sengaja telah menyenggol cinderamata milik Rafli. Sebuah hal yang tak diduga.
            Preenngg..!!!. Telah jatuhnya cinderamata itu ke dasar lantai berubin itu. Pecahan kaca telah bersebaran di lantai yang bersih itu. Dan sepersekian detik, keributan celotehan anak-anak telah menjelma menjadi sebuah keheningan. Membuat siapa saja yang mendengar pecahan itu bertanya-tanya.
“MAHMUUUDDD....!!, apa yang kau lakukan, kau lihat, barang kesayanganku, barang yang tidak mudah kau didapatkan di Indonesia. Sekarang lihatlah, engkau telah menghancurkannya. Bagaimana engkau akan menggantinya, pergi ke luar kota saja kau tidak mampu, uang dari mana?, apalagi ke luar negri. Aiih..!!. Aku tidak mau tahu. Kau perlu menggantinya, entah bagaimanapun caranya, dua bulan akan kutunggu”. Bentak rafli kepada Mahmud.
Keheniningan yang semula mengisi ruang kelas telah berubah menjadi semacam petir menghunuskan kilatannya di malam hari yang sunyi. Hanya suara bentakan itulah yang membuat seisi kelas terdiam membisu.
Mahmud, seorang yang kukenal pendiam, tidak banyak tingkah-telah terpaku di hadapannya. Mulut membisu, telinga terbuka dengan lebarnya mendengar bentakan Rafli, wajahnya yang terlihat layu tersiram omelan bertubi-tubi, matanya telah memerah-tampak seperti akan mengeluarkan air mata kesedihan.
Tanpa ada seucap kata apapun yang keluar dari mulut Mahmud, Rafli dan teman-teman lainnya telah berlalu meninggalkan kelas seusai mengomelinya. Hanya aku dan Mahmud. Ya, hanya kami berdua.
Secara bergegas pula, ketika kumulai melangkahkan kaki pertama mendekatinya. Tanpa pikir panjang, dirinya langsung mengambil posisi layaknya seorang pelari maraton ketika pertam kali akan memulai larinya. Dengan kedua tangannya membersihkan serpihan kaca di lantai. Maka, aku tidak akan membiarkannya seorang diri untuk mebesihkannya.
“Mud, sabar ya..!! seperti itulah wataknya. Sok pamer, tidak mengenal toeransi, sombong. Aku tahu kau tidak sengaja menyenggolnya. Aiih.. tidakkah dia berpikir sedikit saja kalau manusia pun tempat salah dan lupa. Ah..Biarkan saja dia, jangan kau hiraukan. Jika kau perlu bantuan untuk menggantinya, aku siap membantumu kawan”. Ucapku pada Rafli ketika kumulai mengambil posisi jongkok, membantunya memunguti serpihan kaca.
“Ya, makasih banyak. Sudahlah, aku tidak apa-apa. Kau benar. memang aku tidak sengaja menyenggolnya. Biarlah aku menanggunnya. Mungkin kejadian ini mencoba mengajariku tanggung jawab atau bahkan Tuhan mungkin punya maksud tersendiri atas ini, mungkin saja agar Rafli diberi pelajaran bahwa sikap pamer dan sombongnya itu hanya akan memberinya penyesalan. Tuhan memang selalu menjadi Maha Perencana yang tak terkalahakan. Biarlah aku yang menyelesaikan urusan ini”. Ucapnya kepadaku.
Aku tidak pernah membayangkan kata-kata bijak itu keluar dengan alaminya dari mulut Mahmud. Aku hanya bisa terdiam memahami dan merenungkan apa yang telah diucapkannya kepadaku. Tanpa sepatah kata pun komentar keluar dari mulutku. Ya, tanpa sepatah kata pun.
***
            Sekarang aku tahu kawan. Ada apa gerangan mahmud menyendiri duduk di bantaran Sungai Winongo itu. Bukankah di awal sudah kuceritakan kepadamu kawan, bagaimana seorang Bung Karno, Mahatma Gandhi, dan Valentino Rossi sekalipun telah berfusi menjadi satu dalam diri Mahmud. Sikap ketegasannya, tanggung jawabnya, bijaksananya, kesederhanaanya, kejujurannya, dan kegigihannya dalam kerja keras telah terlihat padanya.
            “Kau tahu, apa yang tengah terjadi padaku hari ini mungkin seperti apa yang telah diajarkan Ibu Lia pagi tadi. Temodinamika. Transformasi energi, perubahan keadaan untuk mencapai kesetimbangan. Mungkin di balik semua itu aku diberi sebuah rahasia indah oleh Dia Sang Maha Mengetahui, agar aku bisa mengeluarkan seluruh energi yang aku punya untuk merubah keadaanku menjadi lebih baik dari sebelumnya. Aku tidak menyesal kawan. Selama kakiku masih bisa menopang tubuhku di atas bumi, selama aku masih bisa menghirup udara yang diberikan Sang Khaliq kepadaku-aku tidak akan pernah menyerah untuk menyelesaikan segala masalah yang terjadi padaku. Tak akan. Camkan itu kawan. Akan kucoba segala hal utuk bisa menggantinya”. Ucap Mahmud kepadaku.
Bumi yang tadi seolah terangkat, hamparan rerumputan yang bagikan kertas-kertas yang tertiup angin tadi, air-air di sungai yang tadi seperti memuntahkan isinya ke hadapan kami berdua, dan langit-langit senja bak hujan yang tadinya akan meruntuhkan kami,seolah-olah semuanya mengurungkan niatnya. Hanya sebatas mata memandang dan mulut terkunci. Pikiranku hanya tersisi sebuah makna cerita di balik sudut matanya yang memerah menahan tangis. Sebuah kebijakan hidup yang tak akan pernah kulupakan sampai kapanpun. Tak akan pernah.
***
Dua bulan kemudian....
Telah terbukti kerja keras Mahmud, dengan mencoba semua hal. Berdagang kecil-kecilan, ikut membantu pekerjaan kuli bangunan, mencuci parabot kantin di sekolah, membangun relasi dengan kakak kelasnya yang sekarang tinggal di luar negri, Australia khususunya, berbagai perlombaan dia ikuti. Kerja kerasnya telah membawa hasil. Usahanya tidak menggangu belajanya di sekolah. Barang yang dua bulan lalu telah secara tidak sengaja ia hancurkan, kini di tangannya telah berwujud kembali seperti sedia kala sebelum ia menghancurkannya. Tanpa orang tuanya mengetahuinya ia berjuang sedemikian keras. Hukum alam proses dan hasil telah terbukti padanya. Itulah seorang kawanku. Mahmud Setyawan dalam cerita di balik sudut mata.
-Tamat-
___________________________________________________________________________
            
Oleh : Redza Dwi Putra

Potret Kata Designed by Templateism | MyBloggerLab Copyright © 2014

Gambar tema oleh richcano. Diberdayakan oleh Blogger.