Senja
itu-saat sang mentari mulai beranjak pergi menyembunyikan dirinya- bersiap
membagikan tugas mulia Sang Khaliq dengan rembulan yang siap memberikan cahaya
redupnya di malam hari. Saat angin berhembus menyibakkan rerumputan yang
menghiasi bukit-bukit dan lembah-lembah. Diatas sebuah sepeda onthel Phoenix
coklat milikku, dengan pakaian seragam sekolah yang masih melekat di tubuhku
dan tas yang masih kuselampirkan di pundakku. Saat iu pulalah kumulai mengayuh
sepasang pedal sepada antikku dengan suasana hati yang riang sambil melepas
penat yang sejak seharian penuh memberontak di pikiranku.
Kumulai
melewati bukit-bukit yang saling bersaing menjulangkankan tubuhnya yang tinggi
itu ke angkasa. Melewati sawah-sawah yang hijau sejauh mata memandang, dan
entah-tanpa kusadari dan kuyakini, ayunan pedal sepeda yang perlahan namun
pasti telah membawaku dan sepeda onthel tuaku menyusuri sepanjang sisi sungai
winongo.
Rasa
gembira yang sangat disertai suara roda yang berderit dari sepada tuaku
sepertinya telah membuatku mati rasa untuk kembali mengingat jalan menuju
pulang. Melamun-merasakan keindahan dan kenikmatan alam. Kutatap langit senja
yang mulai menguning, kehirup udara senja yang menenangkan.
Namun,
lamunan hampaku tetap saja hanya sebuah bejana tak berisi, hampa tak bermakna.
Dan entahlah tiba-tiba saja padanganku telah tertuju pada suatu titik di tepian
sungai. Kutatap perlahan-lahan, kuyakinkan sebuah titik yang semakin dekat
semakin membesar, kubuka kedua mataku lebar-lebar, dan kupastikan dengan lantang, titik yang
semula hanya sebuah satu pandangan mata ternyata semakin kudekati adalah sebuah
bayangan nyata seorang pria.
Tapi
entahlah, ada sesuatu yang menahanku untuk terus melaju, sesuatu yang
mengacaukan pikiran dan perasaanku. Sebuah bisikan hati nampaknya telah
memberitahuku ada sesuatu yang tidak asing dalam bayangan seorang pria itu.
Dalam
hati yang semakin diserbu dengan rasa penasaran, tanpa kusadari, setang sepeda
onthel tuaku telah membelok ke sisi kiri jalan berpasir yang telah kulewati.
Kudekati bayangan yang membuatku penasaran. Kupandangi dari balik tubuhnya yang
semakin kukenal. Sampai pada jarak yang membuatku semakin percaya bahwa sesosok
bayangan ini-sesosok yang membuatku sedari tadi bertanya-tanya dalam hati,
adalah seorang yang sejak lama kukenal, seorang sahabat di sekolahku, seorang
sahabat yang jarang sekali kulihatnya menyendiri seperti ini, seorang kawan
yang tak pernah sekalipun kulihat dirinya merasa sesedih ini. Mahmud Setyawan.
Itulah dia.
Mud..!!
Mahmud..!!. Sapaku padanya.
Sepersekian
detik, dia menoleh ke arahku. Bagaimana kujelaskan suasana ini. Suasana yang
tidak biasa kutemui ketika aku sedang bersamanya. Bumi seolah terangkat,
hamparan rerumputan bagikan kertas-kertas yang tertiup angin, air-air di sungai
seperti memuntahkan isinya ke hadapan kami berdua, langit-langit senja bak
hujan yang akan meruntuhkan kami.
Kusadari,
kali pertamanya, kulihat seorang sahabatku yang selalu ceria, selalu bahagia,
tidak pernah terlihat sedih, tak pernah sekalipun-selama ini-kumelihanya
seperti di sore hari ini. Sebuah pemandangan yang begitu menyedihkan telah
keluar dari tubuhnya. Wajahnya yang pucat disertai matanya yang merah menahan
air matanya telah membuatku bertanya-tanya dalam batinku ini. Apa yang tengah
terjadi padanya?, batinku.
***
Akan
kuceritakan kepada kau kawan. Tentang sebuah nilai tanggung jawab, tentang perangai
kejujuran yang dipegang teguh, dan tentang sikap kerja keras yang tak pernah
mengenal istilah berhenti.
Baiklah,
jika engkau pernah mendengar keteladanan Bung Karno yang tegas, tanggung jawab,
dan bijaksana, maka ketika engaku melihat diri Mahmud seakan seperti sebuah
replika seorang tokoh proklamator bangsa ini. Atau jika engkau setidaknya
pernah membaca sekilas biografi seorang
pemimpin revolusioner India, Mahatma Gandhi yang sederhana dan memegang teguh
nilai kejujuran, maka aku seperti melihat dia dalam diri seorang Mahmud. Atau
jika engkau berkali-kali disuguhi sebuah berita pembalap Valentino Rossi yang
selalu menyabet berbagai kompetisi adu kecepatan transportasi beroda dua itu.
Maka, jika disandingkan dengan seorang sahabatku ini-kerja keras untuk meraih
sesuatu yang diimpikannya akan terlihat pada kawaku yang satu ini.
Pagi
yang cerah disambut dengan cahaya mentari menyinari segalanya dengan semangat,
tak kenal lupa dan lelah. Kicauan burung bersiung ria seolah memperlengkap
sajian orkestra di panggung bernama bumi ini. Ketika langkahku baru saja sampai
pada ambang pintu bertuliskan XI IPA 5 yang membatasiku antara luar raungan
yang masih diselimuti udara pagi yang sejuk dan dalam ruangan kelas yang
nantinya akan memaksa oksigen yang seharunya kuhirup dengan segar digantikannya
dengan oksigen yang tecampur bermacam zat yang membuatku terpaksa mengeluarkan
sisa-sisa karbondioksida dari kurangnya tidurku semalam. Kelas yang akan
membuatku menguap sepanjang hari.
Di
dalam kelas ini, dimana aku dan Mahmud belajar tentang segala hal. Tidak memberikan
kabar yang seperti hari-hari biasanya. Ada kerumunan yang telah terjadi sebelum
pelajaran dimulai.
Salah
seorang teman sekelasku menjadi pusat perhatian dari cikal-bakal kerumunan di
pagi ini. Karena dibalut rasa penasaran pada diriku, maka kulangkahkan kakiku
pada pusat kerumunan itu. Kulihat disana, di tengah-tengah kerumunan di pagi hari
ini, seorang pria berbadan kecil, berambut ikal, dan berkulit coklat matang.
Rafli Ubaidillah itulah namanya yang telah menjadi central dari kerumunan di pagi hari ini. Atau jika saja boleh
kugambarkan secara teoritis tentang teori Heliosentris, maka kuibaratkan Rafli
adalah sebuah matahari yang telah dikelilingi oleh bermacam-macam planet di
sekitarnya-yang tak lain adalah teman-teman sekelasku-pria dan wanita. Ya,
semacam magnet yang mempunyai hubungan reversible
satu sama lain antara logam besi dan magnet itu sendiri.
Dalam
diri yang masih saja dibayangi rasa penasaran yang tinggi. Kuselipkan saja
kepalaku diantara calah-celah sempit di kerumunan itu. Aku seolah seperti
seorang peneliti yang sebelumnya telah merumuskan hipotesisnya terlebih dahulu
sebelum pada akhirnya kutemukan jawaban dari permasalah yang akan kucari. Maka
dari itu, kufokuskan pandanganku hanya pada gengaman tangan Rafli. Semakin
kupastikan dan akhirnya kusimpulkan saja bahwa apa yang pagi ini diramaikan tak
lain adalah barang yang sengaja dipamerkan di genggaman seorang teman sekelasku
sejak kelas 3 SMP dulu, barang yang tak lain adalah sebuah cinderamata kaca
yang konon diakuinya dibeli di negeri kanguru sana sebagai bukti bahwa dirinya
pernah menginjakkan kakinya disana.
***
Perkara tabiat pemer yang merasuki
diri Rafli pagi hari ini, nampaknya bukanlah perkara yang baru kali ini
terjadi. Sebagai seorang teman sekelas selama 3 tahun ini. Sudah berkali-kali
kutemui dirinya menjadi titik perhatian teman-teman lain. Tabiatnya yang seperti
itu membuat diriku dan dirinya telah terhalang sebuah tembok besar yang
membatasi. Kami berdua tidak pernah terjalin suatu pertemanan yang akrab
walaupun nasib waktu dan tempat yang kami habiskan adalah bersama-sama selama
menjadi teman sekelas.
Entahlah,
mungkin pandanganku yang mengaju pada hubungan sebab-akibat saja yang menjadi
alasannya. Sifat orang lain, sekalipun teman sekelasku, jika tidak sesuai
dengan pandanganku atau bertentangan dengan idealismeku, maka akibat yang
terjadi adalah terbangunya tembok besar yang memisahkanku dengan dia yang
memiliki sifat yang tidak sepandangan dengan jalan hidupku. Maka, wajar saja jika
jarak diantara kami bagaikan dua sisi mata uang yang tidak pernah saling
bertatapan muka.
Dalam hidup, kadangkala apa yang
tidak kita inginkan bisa jadi menjadi sesuatu yang malah didapatkan oleh kita,
ataupun sebaliknya. Itulah yang bisa kugambarkan pada seorang sahabatku,
Mahmud. Usai pagi itu, pagi yang membuat ruangan kelasku berubah menjadi tempat
pameran barang-barang Rafli. Anak –anak seperti biasnya, bel masuk berbunyi,
Rafli memasukan barang pamerannya itu ke dalam tasnya, anak-anak lain
berhamburan ke kursinya masing-masing.
Ibu Lia, Guru Fisika kami pun masuk kelas, selang
berapa menit, pelajaran pun dimulai. Kami mendapatkan ilmu baru, Termodinamika, ilmu tentang transformasi energi, perubahan keadaan,
dan kesetimbangan sekumpulan partikel yg membentuk gas, zat cair atau zat
padat, terutama yg berhubungan dengan sifat termal.
Aiih..Fisika,
selalu saja terngian-ngiang di kepalaku. Bukan kesenangan akan pelajarannya
yang membuatku terpana padanya. Kesesalan atau lebih pasnya kebencian. Entah
mengapa, setiap apapun dan siapapun yang mengajarkan fisika padaku, tidak
pernah mempan, macam ada pelet saja yang menempel pada otakku.
Selalu saja lain dengan kawanku yang satu ini.
Mahmud, sang jawara kelas selama dua tahun sekelas bersamaku. Kuperhatikan raut
wajahnya yang berubah, alis matanya yang berubah tajam, mataya yang hanya
terfokus pada papan tulis, telinganya yang dipasang macam antena parabola yang
siap menerima gelombang ilmu. Ya, Ilmu bernama Fisika.
***
Tidak ada yang benar-benar berbeda
sejauh pelajaran dimulai sampai akhir pelajaran selesai. Bel pulang sekolah pun
berbunyi di siang hari menjelang sore hari. Pukul 14.30. Anak-anak bergegas
berlarian keluar. Berebutan saling senggol kanan kiri hanya untuk sekedar keluar
ruangan kelas. Usut punya usut, seuatu hal yang tidak diinginkan terjadi. Dan
sialnya. Hal itu terjadi pada Mahmud. Saat semua anak-anak menyibukan dirinya
untuk sekedar keluar ruangan kelas, saat itu pulalah Mahmud secara tidak
sengaja telah menyenggol cinderamata milik Rafli. Sebuah hal yang tak diduga.
Preenngg..!!!. Telah jatuhnya cinderamata itu ke dasar lantai
berubin itu. Pecahan kaca telah bersebaran di lantai yang bersih itu. Dan
sepersekian detik, keributan celotehan anak-anak telah menjelma menjadi sebuah
keheningan. Membuat siapa saja yang mendengar pecahan itu bertanya-tanya.
“MAHMUUUDDD....!!,
apa yang kau lakukan, kau lihat, barang kesayanganku, barang yang tidak mudah
kau didapatkan di Indonesia. Sekarang lihatlah, engkau telah menghancurkannya.
Bagaimana engkau akan menggantinya, pergi ke luar kota saja kau tidak mampu,
uang dari mana?, apalagi ke luar negri. Aiih..!!. Aku tidak mau tahu. Kau perlu
menggantinya, entah bagaimanapun caranya, dua bulan akan kutunggu”. Bentak
rafli kepada Mahmud.
Keheniningan
yang semula mengisi ruang kelas telah berubah menjadi semacam petir
menghunuskan kilatannya di malam hari yang sunyi. Hanya suara bentakan itulah
yang membuat seisi kelas terdiam membisu.
Mahmud,
seorang yang kukenal pendiam, tidak banyak tingkah-telah terpaku di hadapannya.
Mulut membisu, telinga terbuka dengan lebarnya mendengar bentakan Rafli, wajahnya
yang terlihat layu tersiram omelan bertubi-tubi, matanya telah memerah-tampak seperti
akan mengeluarkan air mata kesedihan.
Tanpa
ada seucap kata apapun yang keluar dari mulut Mahmud, Rafli dan teman-teman
lainnya telah berlalu meninggalkan kelas seusai mengomelinya. Hanya aku dan Mahmud.
Ya, hanya kami berdua.
Secara
bergegas pula, ketika kumulai melangkahkan kaki pertama mendekatinya. Tanpa
pikir panjang, dirinya langsung mengambil posisi layaknya seorang pelari
maraton ketika pertam kali akan memulai larinya. Dengan kedua tangannya
membersihkan serpihan kaca di lantai. Maka, aku tidak akan membiarkannya
seorang diri untuk mebesihkannya.
“Mud,
sabar ya..!! seperti itulah wataknya. Sok pamer, tidak mengenal toeransi,
sombong. Aku tahu kau tidak sengaja menyenggolnya. Aiih.. tidakkah dia berpikir
sedikit saja kalau manusia pun tempat salah dan lupa. Ah..Biarkan saja dia,
jangan kau hiraukan. Jika kau perlu bantuan untuk menggantinya, aku siap
membantumu kawan”. Ucapku pada Rafli ketika kumulai mengambil posisi jongkok,
membantunya memunguti serpihan kaca.
“Ya,
makasih banyak. Sudahlah, aku tidak apa-apa. Kau benar. memang aku tidak
sengaja menyenggolnya. Biarlah aku menanggunnya. Mungkin kejadian ini mencoba
mengajariku tanggung jawab atau bahkan Tuhan mungkin punya maksud tersendiri
atas ini, mungkin saja agar Rafli diberi pelajaran bahwa sikap pamer dan
sombongnya itu hanya akan memberinya penyesalan. Tuhan memang selalu menjadi
Maha Perencana yang tak terkalahakan. Biarlah aku yang menyelesaikan urusan
ini”. Ucapnya kepadaku.
Aku
tidak pernah membayangkan kata-kata bijak itu keluar dengan alaminya dari mulut
Mahmud. Aku hanya bisa terdiam memahami dan merenungkan apa yang telah
diucapkannya kepadaku. Tanpa sepatah kata pun komentar keluar dari mulutku. Ya,
tanpa sepatah kata pun.
***
Sekarang aku tahu kawan. Ada apa
gerangan mahmud menyendiri duduk di bantaran Sungai Winongo itu. Bukankah di
awal sudah kuceritakan kepadamu kawan, bagaimana seorang Bung Karno, Mahatma
Gandhi, dan Valentino Rossi sekalipun telah berfusi menjadi satu dalam diri
Mahmud. Sikap ketegasannya, tanggung jawabnya, bijaksananya, kesederhanaanya,
kejujurannya, dan kegigihannya dalam kerja keras telah terlihat padanya.
“Kau tahu, apa yang tengah terjadi
padaku hari ini mungkin seperti apa yang telah diajarkan Ibu Lia pagi tadi.
Temodinamika. Transformasi energi, perubahan keadaan untuk mencapai
kesetimbangan. Mungkin di balik semua itu aku diberi sebuah rahasia indah oleh
Dia Sang Maha Mengetahui, agar aku bisa mengeluarkan seluruh energi yang aku
punya untuk merubah keadaanku menjadi lebih baik dari sebelumnya. Aku tidak
menyesal kawan. Selama kakiku masih bisa menopang tubuhku di atas bumi, selama
aku masih bisa menghirup udara yang diberikan Sang Khaliq kepadaku-aku tidak
akan pernah menyerah untuk menyelesaikan segala masalah yang terjadi padaku.
Tak akan. Camkan itu kawan. Akan kucoba segala hal utuk bisa menggantinya”.
Ucap Mahmud kepadaku.
Bumi
yang tadi seolah terangkat, hamparan rerumputan yang bagikan kertas-kertas yang
tertiup angin tadi, air-air di sungai yang tadi seperti memuntahkan isinya ke
hadapan kami berdua, dan langit-langit senja bak hujan yang tadinya akan
meruntuhkan kami,seolah-olah semuanya mengurungkan niatnya. Hanya sebatas mata memandang
dan mulut terkunci. Pikiranku hanya tersisi sebuah makna cerita di balik sudut
matanya yang memerah menahan tangis. Sebuah kebijakan hidup yang tak akan
pernah kulupakan sampai kapanpun. Tak akan pernah.
***
Dua bulan kemudian....
Telah
terbukti kerja keras Mahmud, dengan mencoba semua hal. Berdagang kecil-kecilan,
ikut membantu pekerjaan kuli bangunan, mencuci parabot kantin di sekolah,
membangun relasi dengan kakak kelasnya yang sekarang tinggal di luar negri,
Australia khususunya, berbagai perlombaan dia ikuti. Kerja kerasnya telah
membawa hasil. Usahanya tidak menggangu belajanya di sekolah. Barang yang dua
bulan lalu telah secara tidak sengaja ia hancurkan, kini di tangannya telah
berwujud kembali seperti sedia kala sebelum ia menghancurkannya. Tanpa orang
tuanya mengetahuinya ia berjuang sedemikian keras. Hukum alam proses dan hasil
telah terbukti padanya. Itulah seorang kawanku. Mahmud Setyawan dalam cerita di
balik sudut mata.
-Tamat-
___________________________________________________________________________
Oleh : Redza Dwi Putra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar