Kemanusiaan
yang adil dan beradab, seperti disebutkan dalam ideologi dasar negara Indonesia
sila kedua, memang memiliki makna yang sinergis antara satu dengan yang
lainnya. Bagaimana tidak, kemanusiaan yang merupakan sebuah esensi dan
identitas manusia yang memiliki potensi pikir, rasa, karsa, dan cipta memang seharusnya
dibarengi dengan membangun jiwa yang adil serta beradab. Adil berarti bersikap
atas suatu tindakan berdasarkan norma-norma yang objektif bukan lagi dalam
ranah subjektif, apalagi sewenang-wenang. Sedangkan beradab, lebih kepada tata
kesopanan, kesusilaan, nilai budaya, moral, atau dengan kata lain bersikap
sebaik-baiknya berdasar nilai-nilai kesusilaan atau moralitas khususnya dan
kebudayaan umumnya.
Konsekuensi
logisnya, internalisasi ideologi kemanusiaan yang adil dan beradab itulah yang
diharapkan akan mampu melahirkan suatu tatanan masyarakat yang beradab,
bermoral, dan menjunjung tinggi nilai keadilan dan kemanusiaan. Sadar atau
tidak, fakta atau opini belaka, ideologi kemanusiaan yang adil dan beradab ini
memang belum sepenuhnya terpatri dalam jiwa bangsa ini. Bukankah masih saja terlihat
dan terdengar dengan jelas mereka-mereka yang berkuasa masih saja bertindak
semena-mena kepada mereka yang lemah, tidak berdaya?. Uang rakyat dikorupsi
lah, kebijakan yang sangat kontra dengan rakyat lah, bahkan hak asasi yang direnggutlah. Dan tak
kalah hebohnya lagi, kalangan public
figure yang menyelewengkan popularitasnya hanya untuk hal-hal yang tidak
berkepentingan, yang justru malah menurunkan makna sebuah figure. Penyalahgunaan
obat-obat terlarang narkotika misalnya, penyuapan dan korupsi, hingga penyalahgunaan
jabatan hanya untuk kepentingan pribadinya.
Ya,
memang kenyataannya, negara ini selalu saja dipenuhi oleh hal-hal yang saling
bertentangan. Cara berpikir modern yang linear misalnya, matikan musuhmu kalau
kamu mau hidup, yang boleh hidup itu hanyalah yang menang, atau dengan kata
lain, yang lain itu tak punya hak hidup. Maka, wajar saja ketidakadilan dan
kebobrokan moral terjadi dimana-mana.
Idealisme Bangsa
Sadar
atau tidak, Indonesia ini sesungguhnya adalah bangsa yang besar. Wilayah yang
besar, sumber daya manusia yang besar, kekayaan yang besar, moral yang besar,
dan tak kalah besarnya pun adalah masalah yang besar.
Permasalahan yang terjadi secara
riil di negeri ini memang selalu kembali pada individu
masing-masing, lantas apa yang bermasalah dalam diri ini?. Ya, bisa jadi karena
idealisme bangsa kita yang masih belum kokoh, mudah rapuh, belum berani untuk
berdiri dengan bijaknya diatas garis kebenaran dan keadilan, belum berani
menggenggam erat idealismenya untuk menggapai cita-cita bersama sebagai warga
negara yang bermatabat dan visioner.
Prinsip
dasarnya, idealisme bangsa yang baik akan melahirkan sikap yang baik pula,
sebuah estetika bermoral di masyarakat. Sebaliknya, Idealisme bangsa yang buruk
pun bisa saja memunculkan sikap yang buruk pula, sebuah kekacauan bermoral di
masyarakat dengan menganggap yang salah menjadi benar atau benar menjadi salah.
Para penguasa yang tidak bersikap
adil, perilaku public figure yang
tidak pantas ditiru bisa jadi karena tidak adanya sinergisme antara
idealismenya dengan ideologi negara, idealismenya yang mudah rapuh, bahkan bisa
jadi tidak memiliki idealisme sama sekali.
Pertatungan Idealisme
Pertarungan
menemukan idealisme bangsa yang beradab tidak semudah membalikan telapak
tangan. Butuh suatu daya tarik tersendiri, daya tarik kemauan, daya tarik
habitual (kebiasaan), dan daya tarik perlawanan terhadap berbagai perilaku
negatif yang hendak merusak.
Tonggak
bersejarah pancasila dijadikan sebagai ideologi negara idealnya dijadikan pula
sebagai acuan dasar suatu bangsa dalam menjalani idealismenya agar cita-cita
yang diharapkan oleh masing-masing individu memiliki hubungan sinergis dengan
cita-cita suatu negara.
Beberapa
kasus yang mencoreng nama baik artis Indonesia lewat penyalahgunaan narkotika,
kasus penyelewangan uang rakyat (korupsi) yang dilakukan para petinggi-petinggi
negara, bisa menjadi pelajaran berharga bagi bangsa ini bahwa prinsip-prinsip
moral dalam bermasyarakat tak bisa lagi ditinggalkan. Koherensi individu antara
idealisme beradab, sikap realistis, dan ideologi dasar negara adalah satu
kesatuan yang saling melengkapi satu sama lain.
Ideologi
pancasila (kemanusiaan yang adil dan beradab) bukan lagi hanya sebatas retorika
belaka, melainkan sebuah kenyataan absolut yang perlu diterapkan dengan sebuah
idealisme beretika yang baik. Sikap realistis diperlukan untuk memahami dan
menginsyafi kondisi riil di lapangan. Sedangkan sikap idealis diperlukan untuk
memperbaiki atau menyempurnakan kekurangan yang terjadi dalam realita.
Sudahlah
cukup fakta yang disodorkan dan bukti nyata yang dihadirkan tentang kebobrokan
moral bangsa ini. Jangan jadikan lagi Indonesia sebagai pangsa pasar yang besar
(big market), yang justru melahirkan
kembali permasalahan-permasalahan negeri yang tak beradab. Sudah waktunya
bangsa yang bermartabat ini berobat atas penyakit kebobrokan moral yang telah
terjadi.
Sikap
realistis, idealisme beradab, serta ideologi dasar negara ketiganya bukanlah
hal yang saling kontroversial. Masing-masing darinya justru saling membutuhkan
dan tidak bisa dipisahkan. Satu kesatuan darinya justru akan memberikan nilai
progresifitas bangsa untuk menjadi warga negara yang baik.
Idealisme
beradab yang dibarengi dengan sikap realistis dan acauan terhadap ideologi
dasar negara setidaknya memberikan sebuah output
berharga tentang bagaimana manusia menempatkan dirinya sebagai makhluk
religius, makhluk sosial, dan makhluk berakal. Jangan sampai idealisme beradab
yang sejatinya mengarahkan bangsa ini pada pembentukan nilai-nilai afektif yang
baik seolah-olah hanya sebatas angan-angan utopis belaka.
Karawang, 8 Februari 2013
-Redza Dwi Putra-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar