Saya
akan memulai catatan ini kembali, sebuah catatan yang sudah lama sekali rasanya
tidak ada pembaruan. Ok. Mungkin kita bisa langsung saja memulainya dengan satu
filosofi singkat bahwa manusia sejatinya adalah ‘makhluk yang buas’. Ya, buas
terhadap sesamanya, buas terhadap apa yang ada di depannya, dan mungkin saja
buas terhadap apa yang ada di pikirannya.
Mungkin
manusia sekarang ini tidak jauh berbeda dengan harimau, beruang, macan, singa,
atau apalah kalian menyebut hewan lainnya yang berkuku tajam sebagai hewan
pamangsa. Pertanyaan mendasarnya mungkin lahir dari pikiran anda yang selintas
berpresepsi adalah mengapa harus disamakan? Apa yang menyebabkan sama? Mengapa
harus binatang buas? Dan mengapa harus sebagai pemangsa?.
Ya, justru karena itulah yang menjadi sebuah titik awal mengapa tuliasan ini muncul. Baiklah, mengapa, apa, mengapa, dan mengapa di atas bisa saja kita jawab dengan suatu pemahaman awalan yang lagi-lagi sebuah bentuk pertanyaan seperti ini misalnya, “Mengapa manusia berkuku?, Apa gunanya kuku pada manusia?, Mengapa kuku manusia berbeda dengan kuku binatang?, Mengapa manusia memiliki kuku yang plural, tidak tunggal?”.
Manusia
berkuku, itu karena terkadang manusia mencakar , melukai manusia lain. Ya
kurang lebih sama seperti hewan buas pada umumnya. Guna, ya seperti binatang
buas lainnya, kuku yang dimilikinya untuk membantu dalam memangsanya, untuk
melumpuhkan lawannya. Beda, ya memang beda, kuku manusia plural, antara satu
sama lainnya dan mereka secara sadar akan memotongnya jika itu tidak terlihat
indah baginya. Lain halnya bukan dengan binatang buas. Plural, ya karean itulah
manusia tidak memilih dilahirkan sebagai makhluk yang tidak memiliki kuku
tunggal. Ya, karena kuku tunggal itulah adalah mereka yang selalu saja
dimangsa, selalu menjadi korban, selalu menjadi subyek atas tindakan pemangsa
yang sadis, selalu memberikan pertahan diri dengan menyepaknya jika ada yang meneyerang.
Lihatlah sapi, kerbau, kuda, kambing..!! bukankah demikian?.
Atas
kepluralitasan itu, manusia kadang lalai, manusia bertindak semena-mena atas
pluratitas itu. Manusia berdiri dengan seenakya diatas manusia yang
berbeda-beda, manusia selalu menyombongkan dirinya atas kekuasaan yang
dimilikinya, manusia selalu saja meng-ika kan apa yang seharusnya. Bukan ika
dalam artian menyatukan apa yang Bineka itu. Justru lebih kepada memanfaatkannya. Ya,
manusia selalu saja memanfaatkan manusia lain untuk memenuhi kepentingan
pribadinya. Itulah manusia, yang konon memiliki kuku plural seperti bintang
buas.
Lantas,
apakah itu sebagai kodrat?. Takdir?. Siapa yang salah, Dia Yang Maha
Menciptakan atau manusia yang diciptakan?. Tidak..!! Sang Maha Pencipta tidak pernah
salah. Benar. Al-haqqu min Rabbika, kebenaran
selalu dari Tuhan-Mu. Falaa takuunanna minal mumtariin, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk
orang yang ragu. Manusialah yang salah. Manusia tidak memahami arti kepluralitasannya
itu. Manusia seharusnya bukan sebagi pemangsa yang menyakiti orang lain,
berbuat semena-mena diatas pundak orang lain. Kuku yang plural bukan berarti
seperti binatang buas. Atas kepluralitasan itulah manusia dilahrikan
berbeda-beda, manusia bukan pula seperti binatang berkuku tunggal yang hanya
jadi korban, dimangsa. Atas kepluralitsaan itulah manusia harus memahami
kepentingan orang lain yang berbeda-beda, bukan memanfaatkan ke-binekaan itu
sebagai kesempatan utnuk berkuasa seenaknya. Kekuasaan dibangun atas pengertian
yang berbeda-beda lantas dipersatukan dengan pemahaman yang baik, tujuan yang
benar, kebenaran yang dapat diterima, tindakan nyata yang dipercaya. Benarlah seperti
Bineka tunggal ika, berbeda-beda tetapi
satu jua, dengan satu tujuan yang sama, tujuan yang benar, dapat diterima
khalayak umum, sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang ada.
Jangan
memanfaatkannya, mungkin Dia Yang Maha Menciptakan punya maksud lain atas kuku
yang plural itu, atas kehidupan yang berbeda-beda itu. Jangan ambil hak orang
lain, jangan main berkuasa. Benarlah seperti kata peribahasa berikut : “Belum berkuku hendak mencubit” (belum
lagi memiliki kekuasaan sudah sok main kuasa). Atau “Diberi kuku hendak mencengkram” (semakin tajam dan kuat
kekuasannya, semakin tajam dan dalam cakarannya) yang mengingatkan kaum berkuku
agar tidak main-main dalam menggunakan kuku-kuku kekuasaannya.
Sebagai
klimaks, Jangan menggunakan kuku manusia seabagai simbol kekuatan, ancaman,
bahaya, kekuasaan. Mereka yang berkuasa adalah manusia-manusia yang berkuku
tajam, bukan untukmelindungi diri seperti kuda,sapi atau kerbau, tetapi untuk
menyerang, menyakiti, bahkan membunuh yang lain. Jangan menjadi seperti
orang-orang yang sok berkuasa di jajaran atas sana yang seolah-olah seperti
manusia buas. Kebuasan manusia yang melebihi kebuasan binatang. Binatang apakah
manusia yang seperti itu?. Kuku mereka tidak lagi digunakan untuk melindungi
yang lain. Jangankan melindungi, mendengarkan saja tidak. Entahlah, mungkin
mereka harus banyak belajar dari kerbau.
Surakarta,
09 Januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar