My Work

Gerobak Harapan


 Kubuka kedua mataku dari kelelapan tidur. Kulihat di sekelilingku terbaring beberapa teman seperjuanganku di jalanan ini. Ada Antok, Doni, Indra, Bagus, Yogi, Abdan, dan teman-temanku yang lain. Jangan kau bayangkan kami bisa tidur di kasur yang empuk, kami tidur hanya beralaskan kardus, tanpa selimut dan bantal. Bersama mereka, aku telah bertahun-tahun ‘menjelajah’ bersama. Ya, menjelajah-yang kami sendiri pun tak tahu tujuan dari penjelajahan kami.
            Jika malam dan hujan tiba, kami telah menjelma menjadi makhluk parasit, si benalu yang hanya hidup menumpang di emperan-emperan toko. Tidur disana dan berteduh pun disana. Jika siang hari tiba kami semacam menjadi singa lapar yang mencari mangsa di hiruk-pikuk kota yang kejam. Itulah kami, yang kami namai diri kami sebagai ‘penjelajah jalanan’.
            Kawan, andaikan aku boleh memilih jalan hidupku, maka aku akan memilih hidup seperti kompas bagi genggaman seorang penjelajah. Jika mereka bingung mencapai arah tujuan, tak perlu resah, mereka hanya perlu melihat si benda hebat itu. Sepersekian detik sang jagoan pasti akan beraksi. Jarum-jarumnya bagaikan seorang prajurit yang siap menyerang musuh-musuh dari segala arah. Seorang panglimanya tentunya hanya ada satu, si Panglima Utara. Begitu berwibawa sekali panglima yang satu ini.
            Di mata seorang penjelajah, ketika mereka ingin berkelana menuju utara, sang panglima ini begitu baik hatinya membimbing mereka. Jika mereka ingin ke arah barat, sudah pasti mereka ikut bimbingan si prajurit barat yang baik hati. Atau jika mereka ingin berkelana menuju arah timur, maka mereka pun ikut bimbingan si prajurit timur yang juga baik hati. Semua arah, dengan bimbingan para prajurit, tak pernah lepas para penjelajah berpatuh dan berpacu pada sang panglima Utara. Si Pemimpin yang bijaksana dan baik hati.
            Lain halnya dengan aku. Kompas hanya bayangan bagiku. Aku tidak bisa melihat arah-arah tujuan hidupku, bahkan punya pun tidak. Saat ini tak bisa rasanya aku menjadi si panglima utara yang berwibawa, atau bahkan menjadi seorang prajurit yang baik hati pun tanda tanya besar bagiku. Alih-alih dengan melihat kondisiku yang saat ini, menjadi panglima dan para prajurit kompas bak memindahkan gunung ke telapak tangan. Mustahil. Ah, inilah bagian kecil kehidupanku saat ini.
            Barangkali ada satu kemungkinan, jika ada yang bersedia menjadi ‘malaikat penolong’ yang ingin membantu mengarahkanku meraih mimpi. Jika ada, mungkin nasibku bisa jadi berubah. Paling tidak menyadarkanku untuk membakar semangat hidupku untuk meraih mimpi-mimpiku. Namun, siapakah orang yang rela hati bersedia untuk itu?. Entahlah, biarlah waktu menjawabnya.
***
            Kawan, Aku bukanlah seorang penjelajah yang mencari ilmu di negeri orang. Atau bukan pula seorang penjelajah yang menggeluti karier di wilayah orang lain. Aku hanya seorang gelandangan di negeri orang. Jogjakarta.
            Di hirup pikuk kegaduhan kota ini. Aku merasa beruntung sekali bisa kenal dengan seorang bapak separuh baya. Pak Anang. Bapak penjual nasi keliling ini seperti telah menjadi malaikat penolong bagiku. Bagaimana tidak, walaupun harus hidup pas-pasan, namun kedermawanan hatinya tidak pas-pasan. Hampir setiap hari, tanpa aku meminta, dia sudah memberikan makanan untukku. Entah mengapa. Mungkin dia merasa iba terhadapku.
            “Nak, ambillah ini, makanlah..!!”, ujar pak Anang ketika ia menjajakan daganganya di dekatku saat aku bersitirahat sejenak di trotoar jalan.
            Selalu itu yang diucapkannya ketika hendak memberikan makanannya kepadaku. Awalnya aku heran, tidak meminta, tapi diberi. Tidak kukenal, namun baik hati. Ah, pikiranku masih saja dibayang-bayangi dengan hal yang tak kupercayai bahwa masih ada saja orang seperti ini di dunia. Bagaimana tidak, orang yang tak kukenal memanggilku ‘nak’. “Bukankah itu sapaan yang biasa diucapkan orang tua kepada anaknya sebagai bentuk kasih sayang?, sedangkan bapak ini, bukan siapa-siapaku. Apakah bapak ini tahu jika aku telah kehilangan kasih sayang orang tua yang telah tiada?. Entahlah”.
            “Benarkah?, jawabku tak percaya.
            “Iya, Ambillah nak. Aku tahu kau membutuhkannya. Makanlah. Tidak usah sungkan-sungkan”, tawar bapak itu kembali.
            “Tapi...Bagaimana aku membayarnya pak?. Uang di sakuku belum cukup untuk membayarnya..!!”,  lagi-lagi aku menjawab dengan bertanya balik.
            “Sudahlah nak, tidak usah kau pikirkan. Ambillah. Aku sengaja memberikannya untukmu”, jawab bapak itu.
            “Hmm..tapi pak...?”, belum sempat aku melanjutkan sanggahanku. Bapak ini sudah memberikan sepiring makanan dan segelas minuman di hadapanku.
            “Sudah..makan saja nak..!!, ujar bapak ini dengan senyum ramah kepadaku.
            Tak kupikir panjang lagi. Langsung saja kuambil dan kulahap makanan di hadapanku. Perutku sejak kemarin malam belum terisi makanan apapun, sudah berontak meminta jatahnya. Dan baru  sore ini aku bisa memenuhinya.
            Sekali-dua kali aku melirik bapak ini. Beliau terus memandangiku yang seperti singa kelaparan. Dengan senyum khasnya yang keluar dari mulutnya telah membuatku yakin bahwa bapak yang satu ini adalah orang baik-baik.
            “Terima kasih banyak pak..!!”, ujarku sambil mengembalikan piring dan gelas kepadanya seusai aku makan.
            “Ya nak, sama-sama. Sudah kenyang nak?”, tanyanya kepadaku.
            “Alhamdulillah sudah pak”.
            “Alhamdulillah. Jika kau lapar kapanpun. Bilanglah padaku. Tidak usah sungkan-sungkan. Setiap hari aku selalu jualan melewati jalan ini”, tawarnya kepadaku.
            “Ya pak, baiklah. Terima kasih banyak pak”, jawabku.
            Hanya senyum. Ya, hanya senyum keramahan sebagai jawaban atas ucapan terima kasihku. Dari balik badannya ketika ia berlalu, dalam hati kecilku aku amat sangat berterima kasih kepadanya. Dari balik tubuh ini pulalah hatiku telah terpaut dengan kedermawanan bapak ini. Ketika dia hendak berlalu, sepertinya aku bisa menduga nama bapak ini dari gerobak yang didorongnya. “Nasi rames Pak Anang”. Pak Anang, mungkin itulah nama bapak yang telah menjadi malaikat penolongku kali ini.
***
            Oh ya, aku lupa menceritakan satu hal sebab-musabab aku bisa berpetualang di ‘hutan jalanan’ ini. Baiklah.
            Ayahku-sejak aku menyandang gelar sebagai siswa SD kelas lima, beliau telah lebih dulu dipanggil oleh Yang Maha Pencipta. Sejak itulah kehidupan keluarga kami berubah drastis. Maka, sudah pasti hanya ibuku seorang diri yang harus menghidupi kami sekeluarga. Ya, termasuk aku beserta satu orang kakakku. Namun naasnya, karena kondisi kami yang serba kekurangan, telah membuat kakak sulungku depresi akut.
            Ketika itu aku masih berstatus kelas dua SMP dan kakakku kelas satu SMA. Ibuku tidak sanggup lagi membiayai sekolah kami dan pilihan terbaik ibuku adalah memberhentikkan sekolah kami.  Apa yang harus kami lakukan?. Meminta tolong kepada sanak saudara?. Ah mana mungkin, bukankah mereka pun kekurangan. Jangankan membiayai anak orang, membiayai anak sendiri pun mereka kesulitan setengah mati. Meminta tolong tetangga?. Ah, apalagi itu. Mempunyai hubungan darah pun tidak, dan mereka pun sama-sama kekurangan. Ya sudahlah, sepertinya adalah hal yang percuma jika kami meminta tolong mereka. Maka, tetap itulah pilihan terbaik bagi ibuku. Memberhentikan aku dan juga kakakku dari sekolah.
            Dalam hati kecilku, aku tetap menerima keputusan itu. Entahlah, mungkin karena aku masih belum cukup umur mengerti tentang hal itu.  Berbeda dengan kakakku. Akibat diberhentikan sekolahnya, tingkah lakunya sudah tak karuan lagi. Mungkin sebagai bentuk protesnya terhadap keadaan kami. Seringkali dia tidak pulang ke rumah. Berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Dan sekarang, entahlah, kami tidak tahu keberadaannya. Terakhir kutahu, kakaku telah terlibat dalam tindakan kejahatan penggunaan obat-obat terlarang narkoba yang telah menyeretnya kedalam kematian yang mengenaskan. Bukan main kesedihan yang menerpa ibuku bertubi-tubi. Dan itulah, ya, hal yang demikian itulah yang telah membuat ibuku terajtuh sakit dan akhrinya Sang Pemilik Alam Semesta ini pun memanggilnya.
            Hiduplah aku seorang diri. Seorang anak kecil berusia 12 tahun yang hidup sebatang kara, layaknya sebatang korek api di tengah padang pasir yang luas. Tidak punya keluarga, tidak punya harta benda. Lengkap sudah. Namun aku masih memiliki satu hal yang tidak boleh kehilangan dari diriku. Sesuatu yang telah diajarkan ayah dan ibuku selama beliau hidup bersamaku. Semangat hidup. Ya. Itulah yang tidak boleh aku kehilangannya. Apapun alasanannya.
            Jika saja aku tahu, bahwa semangat adalah sesuatu yang sangat berharga bagi siapapun. Maka, aku tidak akan pernah putus asa. Aku pun akan mencoba menaklukan tujuan hidupku, kemanapun tujuannya. Aku akan membuktikan asal- usul jiwa kita yang tak pernah lelah mengembara, menyelisik kehidupan yang penuh liku, mengarungi dunia yang penuh resiko, mencari kehidupan yang indah. Dan aku yakin, nun jauh di sana, selama semangat hidup yang telah ditanamkan ayah dan ibuku tidak pernah padam dari diriku, disanalah mimpi-mimpi indahku berada.
***
            Sore itu, kala senja bermata jingga. Sang surya mulai bersembunyi di bawah cakrawala sana, memberikan perintah kepada langit untuk mulai menguning. Sang rembulan dengan cahaya lembutnya yang belum terlalu tampak-tertawa riang saat mulai lahir di atas sana. Saat itulah aku telah dipertemukan kembali dengan malaikat penolongku, Pak Anang.
            “Bagaimana keadaanmu nak?”, sapanya kepadaku.
            “Alhamdulillah baik pak”, jawabku.
            “Sudah makan?”, tanyanya sambil membalikkan badan menyiapkan sepiring nasi dan segelas minuman.
            “Belum pak”, belum semenit setelah kujawab, bapak tua itu sudah menghidangkan sepiring nasi dan segelas minuman di hadapanku.
            “Makanlah..!!”, perintahnya kepadaku. Lagi-lagi aku terbuai akan tawarannya itu. Lantas aku memakannya dengan lahap.
            Melihat aku sedang makan, teman-teman seperjuanganku berlari ke arahku. Hal itu adalah hal yang biasa. Jika ada diantara kami yang diberi sesuatu oleh orang lain, entah itu makanan atau uang, dengan segera teman-temanku yang lain pasti segera datang menghampirinya. Kami tidak akan mengenal istilah pelit. Kami saling berbagi seberapapun itu. Kadangkala diantara kami merengek-rengek mengejar orang yang telah memberi. Namun, biasanya mereka tetap tidak memberikannya lagi. Lantas kebanyakan mereka hanya mengisyaratkan kami untuk menjauh darinya.
            Akan tetapi berbeda dengan Pak Anang ini, sekalipun teman-temanku datang menghampirinya dan mereka meminta ‘jatahnya’, dengan sigap dan baik hati beliau lalu memberinya. Ya, seperti yang terjadi sore hari ini. Dengan segala kedermawanannya beliau rela membagikan makanan dagangannya untuk diberikan kepada kami yang sedari tadi kelaparan.
            Makanlah nak..!!. Kemarilah, tak usah kau pedulikan lagi uangmu yang akan habis..!!. Ambillah ini..!!, teriaknya kepada teman-temanku yang hendak mendekatinya.
            Gembira bukan kepalang teman-temanku mendengar ucapan itu. Saling sikut menyikut, berebutan, berlari sekencang-kencangnya menuju titik bapak ini berdiri.
            Setelah beliau membagikan makan kepada kami, beliau mengajak kami untuk makan bersama di suatu sisi jalan kecil yang tidak ramai berlalu lalang kendaraan dan orang. Setelah kami makan, beliau telah bercerita banyak hal kepada kami, tentang nasihat bijak kehidupan, tentang kedermawanan, tentang perjuangan melanjutkan hidup, tentang segala hal yang tak pernah kami dapatkan sebelumnya. Termasuk kisah-kisah pribadinya di masa lalu. Tentang sejarahnya yang telah menyeretnya menjadi seorang bapak tua penjual nasi rames keliling, tentang istrinya yang telah dipanggil lebih dulu oleh-Nya, tentang seorang anak sulungnya yang juga telah meniggal akibat sakit yang tidak tertolong.
            Di penghujung cerita beliau telah menyesal, dikala dulu dirinya tidak pernah bersungguh-sungguh untuk belajar. Beliau tidak pernah berani bermimpi besar. Maka nasibnya pun tidak sebaik orang-orang yang telah bersungguh-sungguh. Ah, itulah hidup. Takdir yang tidak bisa kita duga.
            Beliau bagaikan ayah, terutama bagiku. Sangat baik hati. Senyumnya yang ramah, kedermawanan hatinya untuk bisa sekedar berbagi dengan kami, nasihat-nasihatnya yang bijak, tutur katanya yang sopan, mengingatkanku pada ayahku.
            Ya Tuhan, seandainya aku bisa meminta, maka biarlah bapak ini selalu bersamaku. Paling tidak setiap hari aku bisa mendapatkan wejangan darinya. Biarlah bapak ini menjadi malaikat penolongku, malaikat yang selalu menasihatiku, malaikat yang selalu memotivasiku dikala semangatku turun.
***
            Sejak sore hari itu, pikiranku dipenuhi memori-memori masa lalu. Tentang keluargaku. Ayah, ibu, dan kakakku. Ah, aku merasa rindu yang sangat terhadap mereka. Ingin rasanya berjumpa dengan mereka. Ya, walaupun hanya sehari, atau sejam, bahkan semenit sekalipun pun. Aku rindu dengan canda-canda mereka, aku rindu dengan nasihat-nasihat mereka, aku rindu jailannya kakakku, aku rindu dengan semangat hidup ayahku, aku rindu dengan kasih sayang ibu. Ah, aku rindu dengan semuanya.
            Hingga larut malam aku tidak bisa tidur. Semua teman-temanku dengan lelapnya tidur beralaskan kardus di emperan-emperan toko. Sedangkan aku, hanya gelisah bercampur kesedihan yang melanda pikiranku. Menatap jalanan yang sepi dengan cahaya lampu kuning yang redup menerangi sisi-sisi jalan. Mataku mulai meneteskan air yang turun membasahi pipiku. Baru kali ini aku tidak bisa tidur, sekalipun badanku lelah bukan main setelah berburu rezeki seharian. Dan di dua pertiga malam, akhirnya aku tertidur.
            Tidak seperti biasanya, saat cahaya fajar mulai mengintip di timur sana, saat ayam-ayam jago saling berkokok sekencang-kencangnya membangunkan manusia,  saat jalanan mulai dipenuhi orang yang mengendarai sepeda onthelnya menuju pasar, saat embun pagi mulai menetes di daun-daun, entah mengapa ada sesuatu yang terjadi terhadap diriku. Hal yang tidak pernah sebelumnya terjadi padaku. Pagi hari ini telah menimpaku. Tubuhku terasa dingin bukan main, aku menggigigil kedinginan. Aku bagaikan berada di kutub utara sana hanya dengan satu lapis pakaian saja. Kepalaku serasa di putar-putar, bumi ini seperti akan bermain komedi putar, perut ini bagikan gunung berapi yang akan mengeluarkan isinya. Aku terjatuh sakit. Pertama kalinya selama aku menjadi penjelajah jalanan.
            Sekali dua kali-salah satu temanku terbangun dan hanya sekedar bertanya kepadaku ‘kenapa?’, pun lantas kujawab dengan singkat, ‘badanku tidak enak’ atau kujawab ‘aku sakit’. Sayangnya respon mereka tidak begitu bagus. Mereka hanya melanjutkan tidurnya. Entahlah, sampai kapan mereka akan terbangun?. Mungkin seperti biasanya, saat para penjaga toko mulai membuka tirainya dan berteriak-teriak mengusir kami, dengan sepakan tendangannya yang cukup untuk mengusir kami segerombolan.
            Benar saja, semua teman-temanku akan terbangun disaat sang tuan pemilik toko berteriak-teriak sambil menyepak kami semua, mengusir kami dari tempatnya mencari nafkah. Lantas kami seperti biasanya bagaikan kereta shinkansen yang melaju sangat cepat. Berlari ke segala arah, tanpa mandi dan sarapan, kami segera menyerbu para pengguna jalan.
            Antok dengan ukulelenya mulai bernyanyi di perempatan. Doni dengan kencrengan tutup botol ikut menemani Antok. Indra dengan paralon yang dijadikan gendang mulai ditabuhkannya mengiringi alunan musik Antok. Di sudut yang lain, Bagus dengan muka memelasnya hanya bermodalkan plastik bungkus permen mulai meminta-minta. Yogi dengan kakinya yang pincang, memelas kasih kepada orang-orang yang lewat di pinggiran jalan. Abdan, dengan bermodalkan tepuk telapak tangannya, bernyanyi dengan suaranya yang sangat fals, mengitari warung-warung makan di pinggiran jalan.
            Sedangkan aku, hanya berjalan terseok. Menopang tubuhku yang serasa ditumpangi gajah di pundakku. Aku entah akan kemana. Biasanya aku menjadi ‘vokalis’ bersama dengan Antok, Doni, dan Indra. Namun, kali ini aku tidak bisa menyusul mereka yang bergerak segesit kereta. Sesampainya di lokasi, Antok, Doni, dan Indra pun bingung melihat salah satu personilnya tak tampak. Terpaksanya, demi mendapatkan rezeki di pagi hari, mereka tampil tanpaku.
            Dengan jalanku yang terseok-seok, aku tetap melanjutkan pekerjaanku, namun bukan menjadi ‘vokalis’ bersama ‘band jalananku’. Melainkan hanya menjadi pengemis yang meminta-minta di perempatan, hanya bermodalkan telapak tangan yang menengadah ke atas, layaknya seorang muslim berdoa. Ah, dari pagi hingga tegah hari, pendapatannku tidak seperti biasanya. Hanya segelintir uang recehan yang kudapatkan hingga tengah hari ini.
            Aku tidak kuat untuk meneruskan lagi. Tubuhku serasa diputar-putar. Hingga akhirnya kuputuskan untuk beristirahat merehatkan tubuhku yang semakin tak karuan. Kuberjalan terseok ke sisi jalan yang sepi. Jalanan yang kulalui bagaikan tubuh ular yang meliuk-liuk, penglihatanku bagaikan fatamorgana di padang pasir. Setelah berjalan beberapa meter kutemui di ujung jalan sana ada sebuah masjid yang cukup besar dengan sebuah menara yang sangat tinggi. Belum sempat aku sampai di titik lokasi, tiba-tiba tubuhku terkulai amat sangat lemah, langit-langit di atas sana seakan menimpaku. Aku terjatuh tak sadarkan diri.
***
            Kubuka kedua mataku. Aku telah sadar. Kurasakan tubuhku serasa lebih ringan dari sebelumnya. Kulirik dinding di depanku, jarum jam telah menunjukkan pukul setengah lima sore. Kulihat di sampingku ada seorang bapak tua, rambutnya putih, kulitnya coklat kehitam-hitaman, wajahnya memperlihatkan raut wajah sebagai seorang pekerja keras, baju putihnya menempel di tubuhnya yang kurus. Namun seperti ada yang ganjil dengan bapak ini. Di mukanya, saat aku melirik ke arahnya, senyumnya seperti tidak asing lagi bagiku. Senyumnya yang ramah mengingatkanku pada seseorang. Namun entah siapa. Aku semakin yakin setelah dia menyapaku dengan sapaan yang khas. Tidak salah lagi. Orang yang sekarang ada di sisiku adalah Pak Anang. Tapi bagaimana mungkin dia ada disini?. Apakah dia yang telah menolongku?.
            Aku mencoba bangkit, namun pak Anang ini mencoba menahanku dan membiarkanku tetap berbaring.
            “Bagaimana keadaanmu nak?. Apakah sudah baikan?, Makanlah ini, Bapak sudah membuatkanmu makanan”
            “Ya Pak, Alhamdulillah sudah pak”. Jawabku.
            Namun bagaimana aku menolak tawaran ini. Bukankah dia telah bersusah payah sengaja membuatnya untukku?. Tak bisa kutolak, lantas kumemakannya. Sambil makan, Pak Anang sibuk mondar-mandir kesana kemari. Membereskan kain-kain basah yang telah dipakai olehku. Kulihat di dinding yang lain telihat sebuah papan yang cukup besar. Dari papan ini aku telah tahu, bahwa pak Anang adalah seorang takmir masjid ini. Aku tidak bisa membayangkan, lagi-lagi aku berpikiran yang tidak-tidak, bagaimana mungkin seorang penjual nasi keliling bisa menjadi takmir sebuah masjid?. Bukankah selama ini orang-orang yang ada di jalanan sana adalah orang yang tidak berguna di masyarakat?, bahkan orang-orang yang dianggap remeh?.
            Tiba-tiba Pak Anang mengagetkanku dari lamunanku. Aku menyudahi makanku, lantas pak Anang memberikanku obat untuk diminum. Setelah kuminum obat itu, pak Anang memerintahku untuk shalat. Shalat?. Ya Tuhan, mengapa selama menjadi anak jalanan aku telah melupakan-Mu?. Ya Tuhan, maafkan aku yang telah khilaf. Aku berdiri di atas sajadah mengerjakan apa yang telah Sang Maha Kuasa perintahkan untuk makhluk-Nya. Aku Shalat dan dalam shalat aku menangis. Semenangis-menangisnya. Aku rindu dengan Tuhanku yang Maha Membolak-balikan keadaan, aku rindu dengan semua keluargaku, aku rindu dengan kehidupanku yang damai. Ya Tuhan, izinkanlah aku untuk berani bermimpi kembali setinggi-tingginya, izinkanlah aku meraih apa yang aku inginkan. Dan aku merasa tenang sekali setelah shalat. Sangat tenang. Tidak pernah sebelumnya aku setenang ini selama aku menjadi anak jalanan.
            Seusai shalat Pak Anang mangajakku untuk menaiki menara masjid. Ah, dari atas sini, sungguh menarik pemandangannya. Seluruh kota terlihat, bangunan-bangunan tinggi yang menjulang ke angkasa, kendaraan yang berlalu lalang, orang-orang yang memenuhi jalanan, mirip seperti formasi semut berkoloni (termasuk teman-teman jalananku). Cahaya senja yang lembut merangkul kota ini dari langit sana. Awan-awan senja yang menyembul di atas bak asap rokok yang sangat besar. Dari atas sini aku seakan melihat pusara ayah, ibu, dan kakakku. Mereka seakan melihatku di atas sini, lantas mereka menyemangatiku untuk terus melanjutkan hidup.
            Pak Anang mendekat di sisiku. Lantas dari mulutnya keluar suara yang amat lembut, nyaman untuk didengar.
            “Nak, ingatlah selalu nasihat ini..!!”. Tiga detik aku dan dia terdiam. Lantas dia melanjutkan. “Kita tidak bisa memilih bagaimana kita atau kapan kita meninggal. Kita hanya dapat memutuskan bagaimana kita hidup. Dan kita hidup dari masa kini, kita bermimpi tentang masa depan, tapi kita belajar kebenaran abadi dari masa lalu.....ingatlah nak..!!, hidup itu memberikan kita banyak pelajaran, amaaat sangat banyak, tapi tergantung kita apakah kita mau mempelajarinya ataukah tidak?....beranilah bermimpi nak..!!, engkau memang anak jalanan yang tidak punya keluarga lagi, tapi bersyukurlah engkau masih punya Allah yang masih membimbingmu ke jalan yang lurus. Berterima kasihlah nak kepada misteri, yang tetap menjadi misteri, tabir yang menutupi kita dari Sang Maha Pencipta, yang membuat kita  percaya, tentang sesuatu yang tak kelihatan. Bersyukurlah nak..!!, atas kesedihan yang engkau tempa selama ini, yang mengajarimu belas kasih sayang. Atas penderitaan, yang mengajarimu keberanian. Beranilah bermimpi..!!, jangan takut nak..!!, engkau berhak bermimpi, ya seperti orang-orang yang lain. Jangan melihat seperti apa kita hidup, tapi bagaimana kita akan hidup. Beranilah bermimpi, gapailah impianmu nak...!!”. Dia menutup kalimatnya dengat mengelus-elus rambutku, lantas dia berbalik, meninggalkanku seorang diri di atas sini.
            Ya, Tuhan ada apa dengan diriku?. Aku merasa tersentuh. Dia menutup kalimatnya dengan begitu bijak, kalimat-kalimat yang menyentuh hati, kalimat-kalimat yang membakar semangatku kembali. Dari atas sini terlihat gerobak Pak Anang. Kupandangi seluruh kota yang seakan sunyi-senyap mendengarkan nasihat bijak ini. Mataku mulai berkaca-kaca, air mataku mulai membasahi pipi. Aku kembali menangis. Ya, menangis. Kedua kalinya selama menjadi anak jalanan.
            Semuanya benar apa yang dikatakan pak Anang. Ya, tuhan, aku sangat berterima kasih kepada-Mu. Mungkin dugaanku benar. Dia akan menjadi malaikat penolongku. Paling tidak dia telah menyadarkanku banyak hal yang selama ini kulupakkan. Atau paling tidak menyadarkanku untuk berani bermimpi. Punya arah tujuan hidup. Ya, layaknya kompas di tangan penjelajah. Ayah, ibu, kakak, engkau benar, aku tidak boleh kehilangan semangat hidupku. Aku percaya nun jauh disana mimpi-mimpiku berada. Aku bejanji kan kupeluk semua mimpi-mimpiku. Itu saja.
-SEKIAN-

Potret Kata Designed by Templateism | MyBloggerLab Copyright © 2014

Gambar tema oleh richcano. Diberdayakan oleh Blogger.