Berangkat dari sebuah Ayat suci Al-Qur’an, Q.S. Al-Baqarah ayat 183 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَعَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (Q.S. Al-Baqarah 183)
Ayat yang sudah tidak asing lagi sepertinya bagi kita khususnya para kaum muslimin. Ya, ayat inilah yang telah menjadi dasar wajibnya bagi para kaum muslimin untuk melaksanakan shiyam (puasa) di bulan yang penuh ampunan, bulan penuh barokah ini, di bulan Ramadhan. Maka dari itu, untuk lebih memahaminya, marilah kita telaah maksud dari ayat ini.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
“Wahai orang-orang yang beriman”
Dari lafadz ini diketahui bahwa ayat ini merupakan ayat madaniyyah atau diturunkan di Madinah (setelah hijrah). Imam Ath Thabari menyatakan bahwa maksud ayat ini adalah : “Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, membenarkan keduanya dan mengikrarkan keimanan kepada keduanya”.
Seruan inilah yang ditunjukan kepada kita umat islam yang dengan penuh yakin kepada Allah dan Rasul-Nya penuh yakin pula terhadap segala bentuk perintah dan larangannya sebagai konsekuensi terhadap keimanann.
Dari sini, mungkin ada sebuah statement yang dinyatakan dengan sebuah pertanyaan sederhana. Mungkin akan muncul sebuah pertanyaan seperti ini, “ Lalu bagaimanakah dengan orang yang tidak memiliki iman di hatinya?” , “Apakah seruan ini akan berlaku pula baginya?”. Jika iya, bukankah di atas tadi telah disebutkan bahwa maksud ptongan ayat ini adalah orang yang telah menginkrarkan sepenuh hati rasa iman kepada Allah dan Rasul-Nya?”. Jika tidak, bagaimana dengan kewajiban puasa terhadapnya?.
Ok, seuntuk menjawab beberapa pertanyaan tadi, sepertinya ada hal yang harus kita ketahui bersama sebagai dasar dari pemahaman ayat ini yaitu apa yang dimaksudkan dengan iman itu disini.
Iman secara bahasa artinya percaya atau membenarkan. Sebagaimana dalam ayat Al Qur’an:
وَمَا أَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَنَا وَلَوْ كُنَّا صَادِقِينَ
Artinya : “Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar”.(QS. Yusuf: 17)
Secara gamblang Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjelaskan makna iman dalam sebuah Hadits :
الإيمان أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره
Artinya : “Iman adalah engkau mengimani Allah, mengimani Malaikat-Nya, mengimani Kitab-kitab-Nya, mengimani para Rasul-Nya, mengimani hari kiamat, mengimani qadha dan qadar, yang baik maupun yang buruk”
Demikianlah enam poin yang harus dimiliki oleh orang yang mengaku beriman. Maka orang enggan mempersembahkan ibadah kepada Allah semata, atau menyembah sesembahan lain selain Allah, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya. Orang yang enggan mengimanani Muhammad adalah Rasulullah atau meninggalkan sunnahnya, mengada-adakan ibadah yang tidak beliau tuntunkan, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya. Orang yang tidak percaya adanya Malaikat, tidak percaya datangnya kiamat, tidak percaya takdir, perlu pula dipertanyakan kesempurnaan imannya.
Namun jangan anda mengira bahwa iman itu sekedar percaya di dalam hati. Imam Asy Syafi’i menjelaskan:
وكان الإجماع من الصحابة والتابعين من بعدهم ممن أدركناهم أن الإيمان قول وعمل ونية ، لا يجزئ واحد من الثلاثة بالآخر
Arinya : “Setahu saya, telah menjadi ijma para sahabat serta para tabi’in bahwa iman itu berupa perkataan, perbuatan, dan niat (perbuatan hati), jangan mengurangi salah satu pun dari tiga hal ini”.
Dengan demikian tidak dapat dibenarkan orang yang mengaku beriman namun enggan melaksanakan shalat, enggan membayar zakat, dan amalan-amalan lahiriah lainnya.
Dari sinilah ada terdapat kaitan antara puasa dengan keimanan seseorang. Orang yang telah menyatakan dirinya telah masuk Islam, maka secara lahiriah maupun bathiniahnya pun harus memiliki rasa iman sepenuh hati sebagai konsekuensi logis dari keislamannya itu. Maka, orang yang sudah Islam seharusnya telah menumbuhkan keimanannya dan tidak ada alasan bagi orang yang sudah Islam terhindar dari Perintah puasa Ramadhan ini. Memang, secara tersirat arti dari seruan ayat ini adalah oarang-orang beriman. Akan tetapi, orang yang merasa masih belum beriman terhindar dari kewajiban ini. Kewajiban berpuasa ini adalah wajib bagi seluruh umat Islam. Tidak ada alasan apakah dirinya merasa belum memiliki keimanan ataukah merasadirnya telah beriman. Iman itu adalah sebuah konsekuensi yang harus ada ketika ia masuk Islam. Maka, pertanyaan di atas tadi dapat kita jawab dengan mengetahui terlebih dahulu makna iman secara lebih dalam dan makna dari seruan pada ayat ini.
كُتِبَعَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
“Telah diwajibkan atas kamu berpuasa ”
Al Qurthubi menafsirkan ayat ini: “Sebagaimana Allah Ta’ala telah menyebutkan wajibnya qishash dan wasiat kepada orang-orang yang mukallaf pada ayat sebelumnya, Allah Ta’ala juga menyebutkan kewajiban puasa dan mewajibkannya kepada mereka. Tidak ada perselisihan pendapat mengenai wajibnya”.
Namun ketahuilah, di awal perkembangan Islam, puasa belum diwajibkan melainkan hanya dianjurkan. Ibnu Katsir menjelaskan dengan panjang lebar tentang masalah ini, kemudian beliau menyatakan: “Kesimpulannya, penghapusan hukum (dianjurkannya puasa) benar adanya bagi orang yang tidak sedang bepergian dan sehat badannya, yaitu dengan diwajibkannya puasa berdasarkan ayat:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Barangsiapa di antara kamu hadir di bulan (Ramadhan) itu, wajib baginya puasa” (QS. Al Baqarah: 185).
Bertahapnya pewajiban ibadah puasa ini berjalan sesuai kondisi Aqidah umat Islam. Artinya, bahwa ketaatan seorang hamba kepada Rabb-Nya berbanding lurus dengan sejauh mana ia menerapkan tauhid.
كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
“Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian”
Imam Al Alusi dalam tafsirnya menjelaskan: “Yang dimaksud dengan ‘orang-orang sebelum kalian’ adalah para Nabi sejak masa Nabi Adam ‘Alaihissalam sampai sekarang, sebagaimana keumuman yang ditunjukkan dengan adanya isim maushul. Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid, yang dimaksud di sini adalah Ahlul Kitab.
Ayat ini menunjukkan adanya penekanan hukum, penambah semangat, serta melegakan hati lawan bicara (yaitu manusia). Karena suatu perkara yang sulit itu jika sudah menjadi hal yang umum dilakukan orang banyak, akan menjadi hal yang biasa saja.
Adapun permisalan puasa umat Muhammad dengan umat sebelumnya, yaitu baik berupa sama-sama wajib hukumnya, atau sama waktu pelaksanaannya, atau juga sama kadarnya”. Beberapa riwayat menyatakan bahwa puasa umat sebelum umat Muhammad adalah disyariatkannya puasa tiga hari setiap bulannya, sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya: “Terdapat riwayat dari Muadz, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Atha’, Qatadah, Ad Dhahak bin Mazahim, yang menyatakan bahwa ibadah puasa awalnya hanya diwajibkan selama tiga hari setiap bulannya, kemudian hal itu di-nasakh dengan disyariatkannya puasa Ramadhan. Dalam riwayat tersebut terdapat tambahan bahwa kewajiban puasa tiga hari setiap bulan sudah ada sejak zaman Nabi Nuh hingga akhirnya di-nasakh oleh Allah Ta’ala dengan puasa Ramadhan”.
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Agar kalian bertaqwa”
Kata la’alla dalam Al Qur’an memiliki beberapa makna, diantaranya ta’lil (alasan) dan tarajji ‘indal mukhathab (harapan dari sisi orang diajak bicara). Dengan makna ta’lil, dapat kita artikan bahwa alasan diwajibkannya puasa adalah agar orang yang berpuasa mencapai derajat taqwa. Dengan makna tarajji, dapat kita artikan bahwa orang yang berpuasa berharap dengan perantaraan puasanya ia dapat menjadi orang yang bertaqwa.
Imam At Thabari menafsirkan ayat ini: “Maksudnya adalah agar kalian bertaqwa (menjauhkan diri) dari makan, minum dan berjima’ dengan wanita ketika puasa” Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan dengan ringkas: “Maksudnya, agar kalian bertaqwa dari maksiat. Sebab puasa dapat mengalahkan syahwat yang merupakan sumber maksiat”.
Bertaqwa disini merupakan hadiah Allah yang diberikan kepada hamba-Nya yang telah menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan dengan penuh keikhlasan kepada-Nya. jika kita mengibaratkan, bulan Ramadhan adalah seperti sebuah kompetisi dalam pertandingan. Seseorang harus melewati beberapa tahapan sebelum akhirnya ia keluar sebagai pemenang. Ia harus melawati penyisihan yang semua peserta mengikutinya. Ia harus melewati semifinal yang pesertanya hanya orang-orang yang telah tersaring melalui penyisihan. Dan pada akhirnya, yang keluar sebagai pemenang adalah orang-orang yang telah berhasil melewati tahap final. Begitu pula dengan orang yang berpuasa di bulan Ramadhan. Tidak banyak orang yang bisa melewati final. Banyak rintangan, banyak cobaan di tengah jalan yang mnyeret orang-orang ang tidak tahan dengan berbagai cobaan. Maka taqwa inilah sebagai hadiah Allah atas Hamba-Nya yang telah berhasil melewati berbagai cobaan dalam berpuasa di bulan Ramadhan.
Mudah-mudahan kita semua termasuk orang yang pantas mendapatkan hadiah Allah atas berbagai cobaan yang menghadang kita selama kita menjalankan ibadah di bulan Ramadhan ini. Mudah-mudahan kita bisa keluar sebagai seorang pemenang dalam bulan Ramadhan ini. Mudah-mudahan kita bisa menjadi seorang yang bertaqwa terhadap Allah SWT. Aamiin..!!
Mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua. Marhaban Yaa Ramadhan. Terima kasih. Wassalam.
Surakarta, 24 juli 2012
-Redza Dwi Putra-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar